Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2007

PPh Pasal 23

Gambar
PPh Pasal 23 adalah jenis kredit pajak ke tiga. Masih banyak lagi jenis kredit pajak tetapi PPh Pasal 23 adalah yang paling banyak mengalami perubahan tarif dan jenis-jenis penghasilan. Penyebabnya adalah kewenangan yang diberikan UU PPh 1984 kepada Direktur Jenderal Pajak di Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984, yaitu “Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak” Jenis jasa lain, penghasilan itulah yang sering berubah-ubah, kadang ditambah, kadang dikurangi. Bagi Wajib Pajak sendiri seharusnya tidak menjadi masalah apakah penghasilan yang dia terima dipotong PPh Pasal 23 atau tidak. Hanya saja, kebanyakan Wajib Pajak tidak mengetahui jika PPh Pasal 23 yang dipotong oleh fihak lain itu dapat dikreditkan di SPT PPh Tahunan. Jika kita tahu sedikit saja tentang tax planning maka pemotongan PPh Pasal 23 itu bisa menguntungkan. Jenis penghasilan apa sajakah yang dipotong PPh Pasal 23?

PPh Pasal 22

Gambar
Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain [ Pasal 22 ayat (1) UU PPh 1984 ] Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah bendaharawan pemerintah dan badan – badan tertentu : a. bendaharawan pemerintah , termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang. Tarif pemungutan PPh Pasal 22 oleh bendaharawan pemerintah adalah 1,5% dari pembelian . b. badan-badan tertentu , baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor, atau kegiatan usaha di bidang lain. Tarif pemungutan PPh Pasal 22 yang berkenaan dengan kegiatan impor ada dua, yaitu : 2,5% dari harga impor untuk im

Formula Menghitung PPh Pasal 21

Gambar
PPh Pasal 21 adalah salah satu pajak penghasilan yang memiliki banyak rumus berdasarkan profesi, keadaan, dan jenis penghasilan. Formula-formula dibawah ini, mudah-mudahan, dapat membantu cara menghitung PPh Pasal 21 terutang. Tetapi sebelum ke formula, saya jelaskan dulu singkatan yang digunakan : PB = penghasilan bruto, total semua penghasilan yang diterima. BJ = biaya jabatan, 5% dari penghasilan tetapi maksimal Rp. 108 ribu per bulan. BP = biaya pensiun, 5% dari pensiunan tetapi maksimal Rp. 36 ribu per bulan. IP = iuran pensiun, sesuai yang dibayarkan ke Dana Pensiun. Tarif Pasal 17 = tarif progresif berdasarkan Pasal 17 UU PPh 1984 Penghasilan Teratur yang diterima oleh Pegawai Tetap (PB – (BJ + IP) – PTKP) x Tarif Pasal 17 Upah yang Diterima oleh Tenaga Harian Lepas di atas Rp. 110.000/hari tetapi tidak lebih dari Rp. 1.100.000/bulan (PB – Rp. 110.000) x 5% Upah yang Diterima oleh Tenaga Harian Lepas tidak lebih dari Rp. 110.000/hari namun lebih dari Rp. 1.100.000/

PPh Pasal 21

Gambar
Ini adalah bagian pertama dari kredit pajak. Kredit pajak adalah pajak yang telah kita bayar kepada negara . Kredit pajak seharusnya merupakan kebanggaan sebagai warga negara terhadap negaranya. PPh Pasal 21 merupakan PPh yang dipotong oleh majikan. Pada awalnya, pasal ini diperuntukkan hanya untuk pegawai, karyawan, atau Wajib Pajak yang berstatus bukan bos atau majikan. Tetapi pada perkembangannya, kalangan profesi juga sering menggunakan pasal ini. Misalnya, seorang konsultan memberikan konsultasi kepada kliennya. Pembayaran yang diterima oleh konsultan tersebut dipotong PPh Pasal 21 terlebih dahulu sebelum diterima konsultan. Jadi, siapa yang dianggap “majikan”? UU PPh 1984 memberikan tugas kepada pemberi penghasilan berikut untuk memotong PPh Pasal 21 : a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaj

Norma Penghitungan

Gambar
Tidak semua Wajib Pajak tentu memiliki kemampuan untuk membuat pembukuan. Justru pada umumnya, pengusahan kita mayoritas masih pada taraf usaha kecil. Mereka sangat mungkin tidak memiliki kemampuan membuat pembukuan. Selain itu, para profesional yang memiliki praktek profesi sendiri mungkin saja tidak memiliki pembukuan. Nah, bagi mereka yang tidak mau membuat pembukuan, Direktorat Jenderal Pajak telah membuat Norma Penghitungan. Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal : a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar. Norma penghitungan disusun sedemiki

PPh Terutang

Gambar
Penghasilan Kena Pajak adalah dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 dengan semua biaya, kecuali biaya yang dikecualikan, dan PTKP bagi WP OP. Penghasilan disini tentu saja bukan penghasilan final, dan bukan penghasilan bukan objek. Pemisahan ini sengaja saya ulang-ulang karena jika digabung akan merugikan wajib pajak itu sendiri. Penggabungan penghasilan final dan bukan objek dengan penghasilan kena pajak akan membuat PPh terutang lebih tinggi daripada seharusnya. Dan, beberapa wajib pajak masih saja melakukan kesalahan ini. Jadi formulanya sebagai berikut: Penghasilan – Biaya – PTKP = Penghasilan Kena Pajak PPh Terutang = Penghasilan Kena Pajak x Tarif Sedangkan tarif yang berlaku, saat ini, terbagi dua macam, yaitu untuk WP OP dan untuk WP badan. Berikut perbedaannya : Tarif PPh terutang utang WP OP : sampai dengan Rp 25.000.00

PTKP

Gambar
PTKP adalah singkatan dari penghasilan tidak kena pajak. Sebelum kenakan tarif progresif, penghasilan neto dikurangi dulu dengan PTKP. PTKP berlaku hanya untuk wajib pajak orang pribadi ( WP OP ). Untuk wajib pajak badan seperti : perseroan terbatas, CV, yayasan, lembaga, dan badan lain, tidak dapat menggunakan PTKP. PTKP sebenarnya ditujukan untuk penghasilan minimum yang dapat dinikmati oleh wajib pajak untuk tetap hidup walaupun sederhana. Istilah yang berkembang di perburuhan adalah UMK atau upah minimum kabupaten. Karena itu, per teori, PTKP tidak boleh lebih kecil daripada UMK. Beberapa tahun yang lalu, PTKP sempat berada dibawah UMK. Kemudian, DJP memberikan keringanan dengan “ PPh ditanggung pemerintah ”. Maksudnya, pajak penghasilan atas selisih antara PTKP dan UMK dibebaskan. Pajak yang benar-benar terutang hanya untuk yang diatas UMK. Tetapi sejak tahun 2005, PTKP dinaikan menjadi Rp. 12.000.000 per WP OP. Dan tahun 2006, PTKP dinaikan lagi menjadi Rp. 13.200.000! De

Penyusutan, Amortisasi, dan Alokasi Biaya

Gambar
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi. Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Contoh : pada bulan April 2007 wajib pajak menyewa sebuah kantor untuk jangka waktu lima tahun sebesar Rp.60 juta. Maka biaya sewa tahun 2007 hanya sebesar Rp.60 juta x (9/60) atau sebesar Rp.9 juta saja. Walaupun demikian, tidak ada larangan jika wajib pajak melakukan amortisasi atas biaya sewa tersebut. Larangan hanya untuk pembebanan sekaligus. Metode untuk penyusutan dan amortisasi untuk keperluan pajak sebagai berikut : a). Garis Lurus (GL), yaitu dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi h

Biaya Tapi Bukan Biaya

Gambar
Untuk menghitung penghasilan neto, wajib pajak harus mengelompokkan tiga penghasilan, yaitu : penghasilan final , bukan objek , dan penghasilan dengan tarif umum. Caranya, kumpulkan dan hitung semua penghasilan. Kemudian, identifikasi apakah penghasilan tersebut merupakan penghasilan final? Jika ya, maka harus disisihkah. Sisanya, identifikasi lagi, apakah ada penghasilan bukan objek? Jika ada maka sisihkan. Nah sisanya merupakan penghasilan yang dikenakan tarif progresif. Sebelum dikenakan tarif, penghasilan-penghasilan tersebut dikurangi dulu dengan biaya-biaya yang terjadi. Pada dasarnya semua biaya komersial boleh dibiayakan (dikurangkan dari penghasilan bruto), kecuali biaya-biaya berikut : a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, ata

Penghasilan yang Dikecualikan

Gambar
Tidak semua penghasilan merupakan objek PPh. UU PPh 1984 mengecualikan beberapa penghasilan yang tidak dikenakan PPh. Pengecualian ini diatur di Pasal 4 ayat (3) UU PPh 1984. Berikut ini merupakan penghasilan-penghasilan yang bukan objek PPh : a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; a. 2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. warisan; c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. penggantian at

Penghasilan Final

Gambar
Pajak Penghasilan Final (PPh Final) merupakan salah satu cara pemerintah menarik pajak dari wajib pajak dengan cara yang sederhana. Disebut sederhana karena wajib pajak dapat menghitung pajak dengan sekali hitung yaitu, penghasilan bruto kali tarif. Tidak ada tarif progresif, tidak ada biaya yang harus dikurangkan, dan tidak dapat dikreditkan di SPT Tahunan. Sekali bayar PPh Final, beres urusan. Keuntungan PPh Final, yaitu : sederhana, dan mudah dilakukan oleh orang awam sekalipun. Sedangkan kerugiannya berkaitan dengan rasa keadilan. Tidak ada istilah rugi bagi PPh Final. Juga tidak ada tarif progresif sehingga semua membayar dengan tarif yang sama, baik non pengusaha maupun bagi pengusaha konglomerat. Berikut ini adalah penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh Final : a). Penghasilan yang diterima/diperoleh dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek, terdiri dari tarif 0,1% untuk saham bukan pendiri; dan tarif 0,6% untuk saham pendiri. b). Penghasilan yang diterima/dipe

Penghasilan Lain-lain

Gambar
Penghasilan lain-lain adalah penghasilan selain : (a) imbalan dari pekerjaan, (b) penghasilan dari usaha dan kegiatan, dan (c) penghasilan dari modal. Penghasilan lain-lain contohnya : hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; keuntungan karena pembebasan utang; keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; dan iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha. Hadiah adalah semua penerimaan penghasilan yang diterima karena suatu kegiatan, pekerjaan, atau undian. Contoh : seorang pegawai mendapat bonus karena pegawai tersebut melampaui target yang telah ditetapkan. Seorang atlet menerima hadiah uang, rumah, dan bonus lain karena prestasi yang dia raih. Seseorang tiba-tiba mendapatkan lotre, atau mengikuti undian tertentu dan mendapatkan hadiah yang dijanjikan penyelenggara

Penghasilan dari Modal

Gambar
Penghasilan dari modal biasa disebut passive income . Modal dapat berupa harta bergerak atau tidak bergerak. Penghasilan dari modal biasa disebut bunga, royalti, deviden, sewa, atau keuntungan dari penjualan aktiva ( capital gain ). Bunga adalah penghasilan berkaitan dengan utang. Termasuk dalam pengertian bunga adalah premium, diskonto, atau penghasilan lain karena jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. Royalti adalah penghasilan karena penggunaan hak atas kekayaan intelektual. Royalti berkaitan dengan pemakaian merk, logo, nama, dan paten. Pengarang lagu menerima imbalan atas pemakaian lagu. Pengarang novel menerima imbalan atas penjualan novel karangannya. Pemilik merk menerima royalti atas pemaka

Penghasilan dari Usaha dan Kegiatan

Gambar
Penghasilan dari usaha ini sudah jelas sebagai objek PPh. Penghasilan konotasinya adalah hasil dari usaha. Umumnya usaha disini adalah kegiatan manufaktur atau pabrikasi, perdagangan barang, dan jasa. Untuk mempermudah identifikasi usaha dan kegiatan, Direktorat Jenderal Pajak telah membuat klasifikasi kegiatan usaha (disingkat KLU), yang terdiri dari 18 kategori kegiatan usaha ekonomi, yaitu : Kode A Kategori Pertanian, Perburuan dan Kehutanan; Kode B Kategori Perikanan; Kode C Kategori Pertambangan dan Penggalian; Kode D Kategori Industri Pengolahan; Kode E Kategori Listrik, Gas dan Air; Kode F Kategori Konstruksi; Kode G Kategori Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil, Sepeda Motor, serta Barang-barang Keperluan Pribadi dan Rumah Tangga; Kode H Kategori Penyediaan Akomodasi dan Penyediaan Makan Minum; Kode I Kategori Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi; Kode J Kategori Perantara Keuangan; Kode K Kategori Real Estat, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan; Kod

Imbalan Pekerjaan

Gambar
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini [Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh 1984] Kelompok objek PPh yang pertama di UU PPh 1984 adalah imbalah yang berkaitan dengan pekerjaan. Pekerjaan dibagi dua, yaitu pekerjaan bebas, dan pekerjaan tidak bebas. Hubungan pekerjaan bebas adalah setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Tidak ada majikan atau boss . Contoh pekerjaan bebas adalah : praktek dokter, notaris, aktuaris, konsultan, pengacara, dan akuntan. Sedangkan hubungan pekerjaan tidak bebas ( dependent servises ) adalah tidak setara. Pemberi penghasilan posisinya sebagai boss atau majikan, sedangkan penerima penghasilan posisinya sebagai karyawan atau pegawai. Apapun namanya, dan bentuknya, imbalan sehubungan dengan pekerjaan ini adalah objek PPh. N

Objek Pajak Penghasilan

Gambar
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan (seperti: memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau barang tak gerak, menempati rumah tertentu), perbuatan (seperti: melakukan penyerahan barang karena perjanjian), maupun peristiwa (seperti: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak). Tetapi objek pajak yang menjadi sasaran PPh adalah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh1984, yang lengkapnya berbunyi, “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun,...” Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (a) tambahan kemampuan ekonomis. Bahw

Subjek Pajak

Gambar
Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri adalah: a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia; b. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; c. orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; d. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; e. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian ‘badan’ adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapu n, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, erkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, embaga, bentuk usaha tetap d

Visi, Reformasi, dan Modernisasi III

Gambar
Awal tahun 2007, Direktorat Jenderal Pajak mulai dengan restrukturisasi organisasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (KPDJP) yang tidak lagi berdasarkan jenis pajak, namun lebih berdasarkan pada fungsi. Selain itu, ada 3 (tiga) Direktorat baru yang memiliki fungsi menjaga dan memelihara transformasi birokrasi dalam tubuh DJP yaitu: Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi, Direktorat Transformasi Proses Bisnis, dan Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur. Dalam bahasa yang lain, sekarang DJP memiliki tiga direktorat yang bertugas menjaga modernisasi agar tetap menuju visi DJP. Memang, walaupun kita telah menetapkan visi, jika tidak ada pengawasan dalam perjalanan organisasi, pengalaman yang sudah-sudah, visi tinggal visi. Mungkin sudah nalurinya jika organisasi itu cuma mengakomodasi kebutuhan saat itu. Ada sih reorganisasi, tapi itu juga untuk menyesuaikan kebutuhan saat itu, bukan kebutuhan yang (mungkin akan dibutuhkan) dimasa

Visi, Reformasi, dan Modernisasi II

Gambar
Kode etik alias code of conduct adalah hal baru di DJP. Pada prakteknya ini seperti pembeda antara yang sudah modern dengan yang belum modern. Jika di kantor yang belum modern pegawai biasa memainkan ketetapan pajak, maka di kantor yang sudah modern penetapan pajak berdasarkan keadaan yang sebenarnya, ketetapan yang seharusnya. Seorang teman yang sudah di kantor modern bilang, modernisasi membuat pegawai menjadi individulistis. Sebelumnya, jika makan bareng teman-teman biasa mentrakir, sekarang tidak lagi. BM, bayar masing-masing. Dulu memang orang pajak sering royal. Penghasilan yang luar biasa membuat gaya hidup juga luar biasa. Luar biasa jika dihubungkan dengan pangkat dan jabatan yang dipegang. Kode etik benar-benar menjadi benteng. Jika bos meminta iuran untuk dana taktis, maka seorang pegawai bisa bilang, “sudah ada kode etik pak”. Begitu juga jika ada wajib pajak yang menawarkan sesuatu untuk kolusi maka pegawai yang sudah modern bisa bilang, “Maaf, tolong bantu aku agar

Visi, Reformasi, dan Modernisasi I

Gambar
Menjadi Model Pelayanan Masyarakat Yang Menyelenggarakan Sistem danManajemen Perpajakan Kelas Dunia, Yang Dipercaya dan DibanggakanMasyarakat. Visi DJP diatas pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 2000-an. Mungkin tahun 2002, saya sendiri tidak tahu persis. Begitu saya baca, kata-kata “Manajemen Perpajakan Kelas Dunia” terasa menggelikan. Kelas dunia? Ah, bercanda kamu! Apalagi ditambah “dipercaya dan dibanggakan”. Apanya yang dibanggakan? Visi itu ditempel hampir disetiap kantor. Visi DJP, masing-masing kantor juga membuat visi dan misi sendiri-sendiri. Bahkan visi dan misi itu, dicetak sebagai footer untuk setiap surat keluar. Visi itu, saya yakin,hanya akan mengundang cibiran pembacanya saja. Mereka mungkin bilang, “visi dimana .. kenyataan dimana .. bagaikan bumi dan langit ...” Terus terang saya juga begitu awalnya. Lembaga ini sebenarnya seperti kapal “butut” yang sudah tidak layak. Mungkin jika diibaratkan bus kota, seperti bus PPD reguler. Tidak laik jalan, penump

Organisasi Direktorat Jenderal Pajak

Gambar
Organisasi Direktorat Jenderal Pajak pada mulanya merupakan perpaduan dari beberapa unit organisasi yaitu : Jawatan Pajak yang bertugas melaksanakan pemungutan pajak berdasarkan perundang-undangan dan melakukan tugas pemeriksaan kas Bendaharawan Pemerintah; Jawatan Lelang yang bertugas melakukan pelelangan terhadap barang-barang sitaan guna pelunasan piutang pajak Negara; Jawatan Akuntan Pajak yang bertugas membantu Jawatan Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan pajak terhadap pembukuan Wajib Pajak Badan; dan Jawatan Pajak Hasil Bumi (Direktorat Iuran Pembangunan Daerah pada Ditjen Moneter) yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi dan pajak atas tanah yang pada tahun 1963 dirubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada tahun 1965 berubah lagi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pa

Sistem Administrasi Perpajakan Modern

Gambar
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat Wajib Pajak diperlukan adanya perbaikan administrasi perpajakan. Reformasi administrasi perpajakan juga dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam mengawasi pelaksanaan ketentuan perpajakan yang berlaku dengan prinsip-prinsip Good Governance . Dengan sistem administrasi perpajakan modern, didukung dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dan berkualitas serta mempunyai kode etik kerja diharapkan akan tercipta prinsip Good Corporate Governance yang dilandasi transparansi, akuntabel, responsif, independen dan adil. Hal ini pada gilirannya akan mendukung Visi Direktorat Jenderal Pajak yaitu Menjadi Model Pelayanan Masyarakat yang Menyelenggarakan Sistem dan Manajemen Perpajakan Kelas Dunia yang Dipercaya dan Dibanggakan oleh Masyarakat Dalam sistim baru ini dimana organisasi dirancang berdasarkan fungsinya akan memungkinkan pemberian pelayanan prima karena adanya Staf Pendukung Pelayanan khusu

Modernisasi DJP

Gambar
Modernisasi! Inilah jualan kita. Begitulah kira-kira komitmen para petinggi DJP kala itu. Modernisasi adalah harga mati untuk menampung semua aspirasi yang dibebankan pada DJP. Para pengusaha yang sering bersinggungan langsung dengan DJP sering mengeluhkan ketidakprofessionalan pejabat pajak. Masyarakat secara umum selalu bingung dengan peraturan perpajakan yang selalu berubah. Pemerintah berharap, adanya kemandirian pembiayaan pembangunan. Jangan ngutang terus. Tapi tekanan yang paling terasa adalah desakan dari IMF yang menginginkan adanya perubahan yang menyeluruh dalam sistem perpajakan di Indonesia. Mereka tentu saja sangat khawatir jika uang yang telah dipinjam oleh Indonesia dihapus begitu saja karena Indonesia dianggap bangkrut. Untuk menampung semua aspirasi itu, dibentuklah Tim Modernisasi. Setelah mengadakan kunjungan ke beberapa negara yang dijadikan acuan oleh IMF, maka Tim Modernisasi kemudian merumuskan desain-desain yang akan diimplementasikan di DJP. Salah satu h