Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2008

Pembayaran komisi dan jasa lain

Gambar
Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya. Contoh kasus Pembayaran lisensi, franchise dan royalti : Contoh 1 : PT. A, perusahaan komputer, memberikan lisensi kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal di negara X untuk memasarkan program komputernya dengan membayar royalti 20% dari penjualan bersih. Selain itu PT. A juga memasarkan program komputernya melalui PT. B di negara B (ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal dan membayar royalti 15% dari penjualan bersih. Perlakuan perpajakan : Oleh karena program komputer yang dipasarkan PT. B sama dengan yang dipasarkan PT. X, atas dasar matching transaction method untuk tujuan perpajakan maka royalti di PT. B juga harus 20%. Kalau kondisi yang sama tidak diperoleh maka perlu diadakan penyesuaian. Pendekatan demikian disebut c

Pembebanan bunga shareholder loan

Gambar
Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham ( shareholder loan ) : Contoh : H Ltd di Hongkong memiliki 80% saham PT. C dengan modal yang belum disetor sebesar Rp. 200 juta. H Ltd juga memberikan pinjaman sebesar Rp. 500 juta dengan bunga 25% atau Rp. 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat yang berlaku adalah 20%. Perlakuan perpajakan : (a) Penentuan kembali jumlah utang PT. C. Pinjaman sebesar Rp. 200 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT. C yang dapat diakui adalah sebesar Rp. 300 juta ( RP. 500 juta - Rp. 200 juta ). (b) Perhitungan Pajak Penghasilan. Bagi PT. C pengurangan biaya bunga yang dapat dibebankan adalah Rp. 60 juta (20% x Rp. 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan kena pajak. Selisih Rp. 65 juta (Rp. 125 juta - Rp. 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan Pajak Penghasilan Pas

Penerapan tarif PPh Jasa Konstruksi

Gambar
Beberapa pertanyaan masih dikirimkan di saya berkaitan dengan penerapan PPh atas Jasa Konstruksi, terutama tentang apa dokumen yang menunjukkan kualifikasi penyedia jasa konstruksi dan penerapannya dengan tarif. Uraian dibawah ini merupakan jawaban saya yang lebih lengkap. PEMBAGIAN JASA KONSTRUKSI Jasa Konstruksi dibagi tiga, yaitu Jasa Pelaksana Konstruksi, Jasa Perencanaan Konstruksi, dan Jasa Pengawasan Konstruksi. Pasal 4 No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menyebutkan : (1) Jenis usaha jasa konstruksi terdiri dari usaha perencanaan konstruksi, usaha pelaksanaan konstruksi, dan usaha pengawasan konstruksi yang masing-masing dilaksanakan oleh perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. (2) Usaha perencanaan konstruksi memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagianbagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi. (3) Usaha

Withholding Taxes

Gambar
Kami adalah perusahaan yang bergerak di luar konstruksi tp pada saat ini mendapat pekerjaan konstruksi per bulan dengan nilai 80.000.000 ( delapan Puluh Juta ). Yang ingin saya tanyakan adalah sbb : 1. Apakah saat saya menagih harus menyertakan PPpn dan pph 23 ? 2. Apakah saat menagih hanya total nilai tagihan saja ? 3. Apakah hanya pph 23 saja ? 3. Untuk proyek yang sedang sedang berjalan pph 23 dibayarkan langsung oleh pemakai jasa. Demikian email yang masuk pagi ini. Saya tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kesan saya, penanya belum paham mekanisme perpajakan kita. Karena itu, selain dibalas langsung, saya posting jawaban yang lebih lengkap. Pembahasan lebih difokuskan kepada mekanisme withholding taxes [sering juga disebut potput]. Withholding taxes merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang banyak diterapkan di negara lain. Sistem ini memiliki keunggulan karena pajak dibayar pada saat penghasilan diterima. Jika penghasilan disudah dit

Kekurang-wajaran overhead cost

Gambar
Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurang-wajaran alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost ) : Contoh : Pusat perusahaan ( Head Office ) di luar negeri dari BUT di Indonesia sering mengalokasikan biaya administrasi dan umum (overhead cost) kepada BUT tersebut. Biaya yang dialokasikan tersebut antara lain adalah : a. Biaya training karyawan BUT di Indonesia yang diselenggarakan kantor pusat di luar negeri; b. Biaya perjalanan dinas direksi kantor pusat tersebut ke masing-masing BUT; c. Biaya administrasi/manajemen lainnya dari kantor pusat yang merupakan biaya penyelenggaraan perusahaan; d. Biaya riset dan pengembangan yang dikeluarkan kantor pusat. Perlakuan perpajakan : Alokasi biaya-biaya tersebut diatas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang diperoleh masing-masing BUT dan bukan merupakan duplikasi biaya. Biaya kantor pusat yang boleh dialokasikan kepada BUT tidak termasuk bunga atas penggunaan dana kantor pusat, kec

Kekurang-wajaran harga pembelian

Gambar
Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurang-wajaran harga pembelian : Contoh : H Ltd Hongkong memiliki 25 % saham PT. B. PT. B mengimpor barang produksi H Ltd dengan harga Rp. 3.000 per unit. Produk tersebut dijual kembali kepada PT. Y (tidak ada hubungan istimewa) dengan harga Rp. 3500 per unit. Perlakuan perpajakan : Pada contoh tersebut di atas, pertama-tama dicari harga pasar sebanding untuk barang yang sama, sejenis atau serupa atas pembelian/impor dari pihak yang tidak ada hubungan istimewa atau antar pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa (sama halnya dengan kasus harga penjualan). Apabila ditemui kesulitan, maka pendekatan harga jual minus dapat diterapkan, yaitu dengan mengurangkan laba kotor ( mark up ) yang wajar ditambah biaya lainnya yang dikeluarkan Wajib Pajak dari harga jual barang kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila laba yang wajar diperoleh adalah Rp. 750,- maka harga yang wajar untuk perpajakan atas pembe

Kekurang-wajaran harga penjualan

Gambar
Berikut ini adalah kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurangwajaran harga penjualan. Contoh 1 : PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang PT. A ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 160,- per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp. 200,- per unit. Perlakuan Perpajakan : Dalam contoh tersebut, harga pasar sebanding ( comparable uncontrolled price ) atas barang yang sama adalah yang dijual kepada PT. X yang tidak ada hubungan istimewa. Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp. 200,- per unit. Harga ini dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan dan/atau pengenaan pajak. Kalau PT. A adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), ia harus menyetor kekurangan PPN-nya (dan PPn BM kalau terutang). Atas kekurangan tersebut dapat diterbitkan SKP dan PT. A tidak boleh menerbitkan faktur pajak atas kekurangan tersebut, sehingga tidak merupakan kredit pajak bagi PT. B. C

SE - 04/PJ.7/1993

Gambar
Terus terang, saya mengetahui adanya prinsip material di UU PPh sejak kuliah di UI khususnya dari Pak R. Mansury. Prinsip materialitas disebutkan di Pasal 4 ayat (1) UU PPh dengan kata-kata "dengan nama dan dalam bentuk apapun". Menurutnya, kata-kata tersebut adalah istilah lain dari [ the substance over-form priciple ].Tetapi ada yang bertanya, "Dimana kata-kata substance over-form dalam peraturan perpajakan kita disebutkan?" Nah, ternyata ada di SE - 04/PJ.7/1993 tentang PETUNJUK PENANGANAN KASUS-KASUS TRANSFER PRICING (SERI TP - 1) Berikut kutipan asas material dimaksud: Perlu ditegaskan pula bahwa Transfer Pricing dapat terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan kita menganu

Hubungan Istimewa

Gambar
Pasal 18 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000 : Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Selanjutnya, yang dimaksud hubungan istimewa diatur lebih lanjut di Pasal 18 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2000 : a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak lang

Piutang Tidak Tertagih

Gambar
Kemarin pagi ada email yang menanyakan persyaratan Piutang Tidak Tertagih menurut perpajakan. Memang peraturan perpajakan lebih ketat tentang Piutang Tidak Tertagih. Piutang hanya boleh dibiayakan jika benar-benar sudah tidak dapat ditagih. Bukan hanya sekali dua kali ditagih dan tidak bayar, terus dicatat sebagai Piutang Tidak Tertagih. Tidak! Inilah persyaratan Piutang Tidak Tertagih menurut SE - 08/PJ.42/1999 yang sampai sekarang masih berlaku : a) Wajib Pajak telah membebankan piutang tak tertagih tersebut sebagai kerugian perusahaan dalam Laporan Keuangan Komersial; dan (b) menyerahkan nama debitur dan jumlah piutang tak tertagih tersebut kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN); dan (c) mengumumkan daftar nama tersebut dalam suatu penerbitan; dan (d) menyerahkan Daftar Piutang Tak Tertagih Yang Dihapuskan yang mencantumkan nama, alamat, NPWP dan jumlahnya, serta dokumen lain yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pajak. Lebih l

Cash Basis di PPh Konstruksi

Gambar
Berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, Direktur Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. SE-05/PJ.03/2008. Seperti yang telah disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 menyiratkan cash basis . Ternyata, di Surat Edaran No. SE-05/PJ.03/2008 lebih jelas. Berikut kutipannya : 5. Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada butir 1: a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran , dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak. 6. Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada butir 5 adalah: a. jumlah pembayaran , tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam butir 2; atau b. jumlah penerimaan pembayaran , tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam

SE-45/PJ/2008

Gambar
Beberapa waktu yang lalu telah diposting [catatan] adanya ketentuan Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2008. Nah pada akhir Agustus [ditetapkan tanggal 28 Agustus 2008] lalu telah dikeluarkan Surat Edaran No. 45/PJ/2008. Berkaitan dengan Surat Edaran No. 45/PJ/2008 saya catat ketentuan lanjutan tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Pada intinya isi Surat Edaran No. 45/PJ/2008 berkaitan dengan proses pemberian ijin dan setelah ada ketetapan dari Kanwil DJP baik permohonan penggunaan nilai buku diterima maupun ditolak. Catatan saya berkaitan dengan pencatatan harta yang dialihkan, penyusutan, offset piutang-hutang, dan lainnya. Silakan … Pencatatan harta yang dialihkan: a. Dalam hal pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku tidak mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak,