sengketa pajak
Surat Ketetapan Pajak [skp] bukanlah keputusan final. Memang akan menjadi final jika Wajib Pajak menerima dan membayar skp tersebut. Saya berpendapat skp adalah produk "pemahaman pemeriksa pajak". Sehingga tidak ada yang pasti atas skp tersebut.
Koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak disebabkan oleh dua hal :
[1.] akuntansi
[2.] aturan pajak
Koreksi fiskal karena akuntansi maksudnya koreksi fiskal yang dilakukan karena pemeriksa menganggap : bukti tidak cukup sehingga tidak bisa dibiayakan, selisih antara pembukuan WP dan SPT (sering kali yang diambil adalah yang paling menguntungkan untuk negara), WP salah hitung (ini masalah matematis dan manusiawi), perbedaan metode pembukuan (misalnya saat pengakuan ekspor atau impor), atau yang paling sering saya gunakan : Wajib Pajak belum melaporkan semua penghasilan, dan belum melaporkan semua objek pajak.
Sedangkan koreksi fiskal karena aturan pajak berbeda dengan akuntansi. Contoh Pasal 6 ayat (1) UU PPh mengatakan :
Mungkin koreksi karena akuntansi lebih banyak diterima. Misal koreksi karena Wajib Pajak memperkecil omset. Saat diperiksa, omset sebenarnya ketahuan. Sehingga WP akan menerima hasil pemeriksaan tersebut karena memang hasil pemeriksaan berdasarkan fakta sebenarnya. Walaupun demikian tidak berarti koreksi berdasarkan akuntansi juga tidak akan jadi sengketa pajak. Apalagi jika koreksi fiskal karena aturan pajak. Lebih khusus lagi jika aturan pajak yang dijadikan dasar koreksi masuk wilayah "gray area" atau wilayah abu-abu. Sebagian ada yang menyebut multitafsir.
Banyak Wajib Pajak yang bermotif dagang. Mana yang lebih menguntungkan secara finansial, itulah yang ditempuh. Jika menurutnya hasil pemeriksaan tersebut bisa dikurangi, maka dia bisa tempuh jalur itu. Maka dicarilah kelemahan hasil pemeriksaan. Namanya juga produk manusia, tidak sempurna. Selalu ada sisi kekurangannya.
Rambut boleh sama hitam, tapi pemikiran dan pendapat bisa berbeda-beda. Aturan yang menurut pemeriksa jelas, bisa ditafsirkan lain sehingga menjadi tidak jelas. Sudut pandang atau cara memahami aturan bisa beda-beda tergantung latar belakang masing-masing. Termasuk yang menurut keumuman atau kelaziman disebut "aneh".
Sarana untuk mengurangi hasil pemeriksaan sebenarnya ada 3 jalur, yaitu normal, extraordinary, dan terbatas. Tiga istilah tersebut saya dapatkan dari Majalah Berita Pajak bulan April 2011. Istilah tersebut dikemukakan oleh orang yang kebetulan saat ini sebagai Sekretaris DJP yang sebelumnya menjadi "Tim KUP".
[a.] Jalur Normal
Jalur normal berdasarkan Pasal 25, 26, dan 27 UU KUP. Untuk lebih lengkapnya saya kutip dulu biar jelas.
Pasal 25 UU KUP mengatur proses pengajuan keberatan. Pasal 25 ayat (1) UU KUP berbunyi :
[b.] Jalur Extraordinary
Jalu extraordinary berdasarkan Pasal 36 UU KUP. Mengapa disebut extraordinary? Wah, saya juga lupa alasannya :D Tetapi kemungkinan karena pasal ini mengatur kewenangan DJP yang lebih kuat. Saya kutip dulu bunyi Pasal 36 ayat (1) UU KUP :
Wajib Pajak dapat meminta menghapus sanksi administrasi yang sudah dihitung oleh pemeriksa pajak. Jalur ini bisa diambil Wajib Pajak jika tidak melakukan proses keberatan. Artinya, dia menerima hasil pemeriksaan. Karena menerima hasil pemeriksaan, dia bayar dulu pokok pajaknya sampai lunas. Setelah lunas, dia minta pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Biasanya alasan yang sering digunakan adalah kemampuan liquiditas.
Wajib Pajak dapat meminta mengurangi hasil pemeriksaan atau membatalkan skp dan STP. Jalur ini bisa digunakan jika Wajib Pajak sudah menggunakan jalur keberatan berdasarkan Pasal 26 UU KUP. Tetapi karena kekurangan syarat formal, maka keberatan Wajib Pajak ditolak. Padahal bisa jadi materi keberatan Wajib Pajak benar. Nah untuk mewujudkan keadilan, maka dibuka pintu ini. Artinya, ini seperti proses keberatan tetapi dengan "tidak memperhatikan" syarat formal. Bedanya dengan proses keberatan, pintu Pasal 36 UU KUP tidak bisa banding ke Pengadilan Pajak. Wajib Pajak harus menerima apapun hasilnya.
[c.] Jalur Terbatas
Jalur terbatas berdasarkan Pasal 16 UU KUP. Pasal 16 UU KUP mengatur pembetulan atau koreksi ketetapan pajak. Tetapi koreksi dijalur ini terijadi karena kesalahan manusiawi. Lebih jelasnya saya kutip dulu Pasal 16 UU KUP dan penjelasannya.
Pasal 16 ayat (1) UU KUP :
Memang tiga jalur tersebut tidak mencerminkan sengketa pajak sebagaimana judul posting kali ini. Jalur yang "murni" sengketa pajak sebenarnya jalur normal yang bisa banding sampai Pengadilan Pajak dan bisa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Jalur mana yang akan dipilih oleh Wajib Pajak? Kembali ke motif dagang, mana yang lebih menguntungkan finansial si Wajib Pajak :D
Koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak disebabkan oleh dua hal :
[1.] akuntansi
[2.] aturan pajak
Koreksi fiskal karena akuntansi maksudnya koreksi fiskal yang dilakukan karena pemeriksa menganggap : bukti tidak cukup sehingga tidak bisa dibiayakan, selisih antara pembukuan WP dan SPT (sering kali yang diambil adalah yang paling menguntungkan untuk negara), WP salah hitung (ini masalah matematis dan manusiawi), perbedaan metode pembukuan (misalnya saat pengakuan ekspor atau impor), atau yang paling sering saya gunakan : Wajib Pajak belum melaporkan semua penghasilan, dan belum melaporkan semua objek pajak.
Sedangkan koreksi fiskal karena aturan pajak berbeda dengan akuntansi. Contoh Pasal 6 ayat (1) UU PPh mengatakan :
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.Sehingga, bisa jadi secara akuntansi bisa dibiayakan tetapi secara fiskal tidak bisa dibiayakan. Lebih jelas lagi dengan ketentuan Pasal 9 UU PPh yang mengatur pengeluaran yang tidak dapat dibiayakan atau tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Atau ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU PPh yang hanya membolehkan metode penilaian persediaan dengan cara "rata-rata" atau FIFO.
Mungkin koreksi karena akuntansi lebih banyak diterima. Misal koreksi karena Wajib Pajak memperkecil omset. Saat diperiksa, omset sebenarnya ketahuan. Sehingga WP akan menerima hasil pemeriksaan tersebut karena memang hasil pemeriksaan berdasarkan fakta sebenarnya. Walaupun demikian tidak berarti koreksi berdasarkan akuntansi juga tidak akan jadi sengketa pajak. Apalagi jika koreksi fiskal karena aturan pajak. Lebih khusus lagi jika aturan pajak yang dijadikan dasar koreksi masuk wilayah "gray area" atau wilayah abu-abu. Sebagian ada yang menyebut multitafsir.
Banyak Wajib Pajak yang bermotif dagang. Mana yang lebih menguntungkan secara finansial, itulah yang ditempuh. Jika menurutnya hasil pemeriksaan tersebut bisa dikurangi, maka dia bisa tempuh jalur itu. Maka dicarilah kelemahan hasil pemeriksaan. Namanya juga produk manusia, tidak sempurna. Selalu ada sisi kekurangannya.
Rambut boleh sama hitam, tapi pemikiran dan pendapat bisa berbeda-beda. Aturan yang menurut pemeriksa jelas, bisa ditafsirkan lain sehingga menjadi tidak jelas. Sudut pandang atau cara memahami aturan bisa beda-beda tergantung latar belakang masing-masing. Termasuk yang menurut keumuman atau kelaziman disebut "aneh".
Sarana untuk mengurangi hasil pemeriksaan sebenarnya ada 3 jalur, yaitu normal, extraordinary, dan terbatas. Tiga istilah tersebut saya dapatkan dari Majalah Berita Pajak bulan April 2011. Istilah tersebut dikemukakan oleh orang yang kebetulan saat ini sebagai Sekretaris DJP yang sebelumnya menjadi "Tim KUP".
[a.] Jalur Normal
Jalur normal berdasarkan Pasal 25, 26, dan 27 UU KUP. Untuk lebih lengkapnya saya kutip dulu biar jelas.
Pasal 25 UU KUP mengatur proses pengajuan keberatan. Pasal 25 ayat (1) UU KUP berbunyi :
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:Pasal 26 UU KUP mengatur hasil keberatan. Pasal 26 ayat (1) UU KUP berbunyi :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.Pasal 27 UU KUP mengatur pengajuan permohonan banding. Pasal 27 ayat (1) UU KUP berbunyi :
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
[b.] Jalur Extraordinary
Jalu extraordinary berdasarkan Pasal 36 UU KUP. Mengapa disebut extraordinary? Wah, saya juga lupa alasannya :D Tetapi kemungkinan karena pasal ini mengatur kewenangan DJP yang lebih kuat. Saya kutip dulu bunyi Pasal 36 ayat (1) UU KUP :
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
Wajib Pajak dapat meminta menghapus sanksi administrasi yang sudah dihitung oleh pemeriksa pajak. Jalur ini bisa diambil Wajib Pajak jika tidak melakukan proses keberatan. Artinya, dia menerima hasil pemeriksaan. Karena menerima hasil pemeriksaan, dia bayar dulu pokok pajaknya sampai lunas. Setelah lunas, dia minta pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Biasanya alasan yang sering digunakan adalah kemampuan liquiditas.
Wajib Pajak dapat meminta mengurangi hasil pemeriksaan atau membatalkan skp dan STP. Jalur ini bisa digunakan jika Wajib Pajak sudah menggunakan jalur keberatan berdasarkan Pasal 26 UU KUP. Tetapi karena kekurangan syarat formal, maka keberatan Wajib Pajak ditolak. Padahal bisa jadi materi keberatan Wajib Pajak benar. Nah untuk mewujudkan keadilan, maka dibuka pintu ini. Artinya, ini seperti proses keberatan tetapi dengan "tidak memperhatikan" syarat formal. Bedanya dengan proses keberatan, pintu Pasal 36 UU KUP tidak bisa banding ke Pengadilan Pajak. Wajib Pajak harus menerima apapun hasilnya.
[c.] Jalur Terbatas
Jalur terbatas berdasarkan Pasal 16 UU KUP. Pasal 16 UU KUP mengatur pembetulan atau koreksi ketetapan pajak. Tetapi koreksi dijalur ini terijadi karena kesalahan manusiawi. Lebih jelasnya saya kutip dulu Pasal 16 UU KUP dan penjelasannya.
Pasal 16 ayat (1) UU KUP :
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU KUP (bagian tengah tidak dikutip supaya tidak terlalu panjang).
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.
Pengertian ”membetulkan” pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Memang tiga jalur tersebut tidak mencerminkan sengketa pajak sebagaimana judul posting kali ini. Jalur yang "murni" sengketa pajak sebenarnya jalur normal yang bisa banding sampai Pengadilan Pajak dan bisa peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Jalur mana yang akan dipilih oleh Wajib Pajak? Kembali ke motif dagang, mana yang lebih menguntungkan finansial si Wajib Pajak :D
Komentar
mau bertanya apabila sudah menempuh jalur normal dan sudah ada keputusan pengadilan apa bisa menempuh jalur extraordinary (pasal 36) ??
terima kasih
Hidayat