Penghentian Penyidikan
Secara umum, proses penyidikan dapat dihentikan dengan alasan :
[1] tidak terdapat cukup bukti;
[2] peristiwanya telah daluwarsa;
[3] tersangka meninggal dunia;
[4] nebis in idem.
Tetapi khusus penyidikan yang dilakukan olen PPNS di DJP ada dua tambahan lagi alasan proses penyidikan dapat dihentikan, yaitu:
[5] bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, dan
[6] kepentingan penerimaan negara.
Penghentian penyidikan dengan alasan "kepentingan penerimaan negara" diatur secara khusus di Pasal 44B UU KUP. Berikut bunyi lengkap Pasal 44B UU KUP [amandemen 2007]:
Tindak lanjut dari Pasal 44B UU KUP adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.03/2009. Wajib Pajak atau tersangka dapat meminta penghentian penyidikan dengan mengirim surat permohonan kepada Menteri Keuangan dan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak disertai pernyataan sebagai berikut :
Pada satu kesempatan, seorang jaksa senior mengutarakan keheranannya dengan Pasal 44B ini. Beliau membaca pasal tersebut berulang-ulang dari berbagai sumber untuk memastikan bahwa yang dibaca tidak salah ketik. Menurutnya, aturan ini salah! Mengapa yang menghentikan proses penyidikan harus Jaksa Agung? Padahal masih dalam proses penyidikan, sedangkan Kejaksaan Agung dalam hal ini berfungsi sebagai penuntut bukan penyidik.
Pada kesempatan tersebut, tidak ada seorang pun yang dapat menjawab. Termasuk saya. Bahkan sampai sekarang saya juga masih bertanya: kenapa harus Jaksa Agung yang menghentikan penyidikan? Padahal, semua SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan] selalu dikeluarkan oleh lembaga penyidik.
Ada yang bisa membantu?
Silakan ...............
[1] tidak terdapat cukup bukti;
[2] peristiwanya telah daluwarsa;
[3] tersangka meninggal dunia;
[4] nebis in idem.
Tetapi khusus penyidikan yang dilakukan olen PPNS di DJP ada dua tambahan lagi alasan proses penyidikan dapat dihentikan, yaitu:
[5] bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, dan
[6] kepentingan penerimaan negara.
Penghentian penyidikan dengan alasan "kepentingan penerimaan negara" diatur secara khusus di Pasal 44B UU KUP. Berikut bunyi lengkap Pasal 44B UU KUP [amandemen 2007]:
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
Tindak lanjut dari Pasal 44B UU KUP adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.03/2009. Wajib Pajak atau tersangka dapat meminta penghentian penyidikan dengan mengirim surat permohonan kepada Menteri Keuangan dan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak disertai pernyataan sebagai berikut :
Pada satu kesempatan, seorang jaksa senior mengutarakan keheranannya dengan Pasal 44B ini. Beliau membaca pasal tersebut berulang-ulang dari berbagai sumber untuk memastikan bahwa yang dibaca tidak salah ketik. Menurutnya, aturan ini salah! Mengapa yang menghentikan proses penyidikan harus Jaksa Agung? Padahal masih dalam proses penyidikan, sedangkan Kejaksaan Agung dalam hal ini berfungsi sebagai penuntut bukan penyidik.
Pada kesempatan tersebut, tidak ada seorang pun yang dapat menjawab. Termasuk saya. Bahkan sampai sekarang saya juga masih bertanya: kenapa harus Jaksa Agung yang menghentikan penyidikan? Padahal, semua SP3 [Surat Perintah Penghentian Penyidikan] selalu dikeluarkan oleh lembaga penyidik.
Ada yang bisa membantu?
Silakan ...............
Komentar