Politik NPWP
Konon kabarnya, suatu waktu di awal tahun 2000an, Dirjen Pajak "kena" sentil para politisi di Senayan. Saya yakin politisi tersebut tidak mengerti perpajakan. Tetapi supaya tetap dapat mengeluarkan kritikan kepada DJP, maka "ditembaklah" masalah jumlah NPWP. Waktu itu memang NPWP yang sudah terdaftar masih sekitar dua jutaan.
Angka dua juta tentu sangat kecil dibandingkan dengan jumlah pendudukan Indonesia. Sehingga "ditembaklah" Pak Dirjen Pajak. Kira-kira begini kritikan yang dilontarkan anggota dewan yang terhormat, "Ngapain saja sih kerja DJP? Masa Wajib Pajak yang terdaftar cuma 1% dari jumlah penduduk?"
Ya, tentu saja yang dimunculkan adalah angka 1% dibandingkan dengan jumlah pegawai DJP yang mencapai tiga puluh ribuan. Karena itu, kemudian DJP memiliki "proyek" jumlah Wajib Pajak terdaftar [yang memiliki NPWP] sebanyak sepuluh juta. Bahkan untuk mencapai target tersebut, NPWP ditetapkan secara jabatan. Penetapan NPWP tersebut tidak dilakukan di tingkat KPP tapi langsung dari kantor pusat. Akibatnya, seorang tetangga saya yang bekerja dengan penghasilan sebesar UMR dikirimi NPWP.
Pada hari Selasa kemarin, Dirjen Pajak yang baru telah berjanji untuk menambah jumlah Wajib Pajak baru sebanyak delapan juta. Padahal, tahun 2008 yang lalu, DJP justru baru selesai mengadakan "hajatan" berupa sunset policy. Dan pada akhir tahun terbukti orang berbondong-bondong untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Saking antusiasnya, program sunset policy kemudian diperpanjang. Dan Wajib Pajak yang terdaftar di Januari 2009 dianggap sama dengan orang yang terdaftar di Desember 2008 sehingga diperbolehkan membuat SPT Sunset Policy.
Berita yang muncul kemudian kesuksesan program Sunset Policy. Tidak ada yang mempertanyakan [setidaknya saya belum menemukan] korelasi antara penambahan NPWP dengan penambahan penerimaan. Pada program Sunset Policy, adakah korelasi penambahan NPWP dengan peningkatan penerimaan pajak? Jika ada, seberapa besar?
Sebenarnya, jika kita berpatokan kepada efesiensi atau "berkacamata" dengan teori administrasi, bahwa Wajib Pajak yang sedikit tapi membayar pajak akan lebih disukai daripada Wajib Pajak banyak tetapi tidak membayar pajak. Contoh : pegawai tetap yang bekerja di satu pemberi kerja, sebenarnya tidak perlu diberi atau diwajibkan memiliki NPWP. Mengapa? Karena kewajiban perpajakan para pekerja tersebut telah dilakukan oleh para majikan.
Jadi, menurut saya, target penambahan NPWP selalu bernuansa politik.
Cag.
Angka dua juta tentu sangat kecil dibandingkan dengan jumlah pendudukan Indonesia. Sehingga "ditembaklah" Pak Dirjen Pajak. Kira-kira begini kritikan yang dilontarkan anggota dewan yang terhormat, "Ngapain saja sih kerja DJP? Masa Wajib Pajak yang terdaftar cuma 1% dari jumlah penduduk?"
Ya, tentu saja yang dimunculkan adalah angka 1% dibandingkan dengan jumlah pegawai DJP yang mencapai tiga puluh ribuan. Karena itu, kemudian DJP memiliki "proyek" jumlah Wajib Pajak terdaftar [yang memiliki NPWP] sebanyak sepuluh juta. Bahkan untuk mencapai target tersebut, NPWP ditetapkan secara jabatan. Penetapan NPWP tersebut tidak dilakukan di tingkat KPP tapi langsung dari kantor pusat. Akibatnya, seorang tetangga saya yang bekerja dengan penghasilan sebesar UMR dikirimi NPWP.
Pada hari Selasa kemarin, Dirjen Pajak yang baru telah berjanji untuk menambah jumlah Wajib Pajak baru sebanyak delapan juta. Padahal, tahun 2008 yang lalu, DJP justru baru selesai mengadakan "hajatan" berupa sunset policy. Dan pada akhir tahun terbukti orang berbondong-bondong untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Saking antusiasnya, program sunset policy kemudian diperpanjang. Dan Wajib Pajak yang terdaftar di Januari 2009 dianggap sama dengan orang yang terdaftar di Desember 2008 sehingga diperbolehkan membuat SPT Sunset Policy.
Berita yang muncul kemudian kesuksesan program Sunset Policy. Tidak ada yang mempertanyakan [setidaknya saya belum menemukan] korelasi antara penambahan NPWP dengan penambahan penerimaan. Pada program Sunset Policy, adakah korelasi penambahan NPWP dengan peningkatan penerimaan pajak? Jika ada, seberapa besar?
Sebenarnya, jika kita berpatokan kepada efesiensi atau "berkacamata" dengan teori administrasi, bahwa Wajib Pajak yang sedikit tapi membayar pajak akan lebih disukai daripada Wajib Pajak banyak tetapi tidak membayar pajak. Contoh : pegawai tetap yang bekerja di satu pemberi kerja, sebenarnya tidak perlu diberi atau diwajibkan memiliki NPWP. Mengapa? Karena kewajiban perpajakan para pekerja tersebut telah dilakukan oleh para majikan.
Jadi, menurut saya, target penambahan NPWP selalu bernuansa politik.
Cag.
Komentar
Korelasinya? Bisa jadi bahan disertasi tuh mas.... di Unpad?