TKI di luar negeri
Minggu ini hampir semua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia sedang "hajatan". Banyak KPP yang memasang tenda yang mengantisipasi lonjakan Wajib Pajak yang datang ke KPP terdekat. Dengan sistem dropbox, Wajib Pajak bisa menyampaikan SPT dimana saja, tidak perlu di KPP terdaftar tapi bisa di KPP terdekat atau ..... terjauh jika sedang dalam perjalanan. Bukan hanya di KPP, dropbox pun disediakan di pusat-pusat keramaian.
Antusias menyampaikan SPT ternyata bukan hanya Wajib Pajak Dalam Negeri. Bahkan banyak juga para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari penghidupan di negeri orang bersiap-siap menyampaikan SPT. Setidaknya ini terpantau dari beberapa email yang masuk ke saya dan banyaknya pertanyaan di milis perpajakan. Padahal berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-2/PJ/2009 tentan perlakuan PPh bagi tenaga kerja di Luar Negeri bahwa orang pribadi WNI yang bekerja di Luar Negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam 12 (dua belas) bulan merupakan subjek pajak luar negeri.
Jika sudah jelas merupakan subjek pajak luar negeri maka status orang pribadi tersebut jadi Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Administrasi perpajakan hanya menjangkau Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Kenapa? Karena memang WPLN itu seperti orang lain. Semua penduduk bumi yang jumlahnya milyaran orang merupakan subjek pajak. Setiap subjek pajak tersebut dibagi dua, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri menurut UU PPh adalah mereka yang tinggal (berada di Indonesia) selama 183 hari dalam 12 bulan. Jika kita lahir di Indonesia, maka subjek pajak sudah melekat sejak lahir karena memang berada di Indonesia terus. Hal ini diatur di Pasal 2A UU PPh.
Karena itu, saya selalu menganjurkan untuk para TKI di luar negeri untuk meminta penghapusan NPWP ke KPP terdaftar. Bukan berarti saya kontra dengan DJP tetapi memang aturan yang berlaku begitu, bahwa jika TKI bekerja di Luar Negeri lebih dari 183 hari maka jadi subjek pajak luar negeri. Artinya mereka sebenarnya sudah WPLN. Jika WPLN masih memiliki penghasilan dari Indonesia meka berlaku aturan di Pasal 26, yaitu dipotong dan disetornya PPh Pasal 26 oleh pihak pemberi penghasilan sebesar 20%. Mungkin dari kacamata umum terlihat aneh jika "orang Indonesia" menjadi WPLN dan dipotong PPh Pasal 26!
Hanya saja, banyak juga yang berpendapat bahwa "orang Indonesia" hanya bisa menghapus NPWP jika meninggal dunia. Menurut Pasal 2A UU PPh memang kewajiban subjektif dari orang pribadi subjek pajak dalam negeri akan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Untuk syarat pertama, meninggal dunia, saya yakin tidak ada perdebatan. Tetapi syarat kedua, meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya terjadi perdebatan. Salah satu yang memberatkan adalah ,"Bagaimana meyakinkan orang pribadi tersebut tidak akan kembali lagi ke Indonesia?"
Terlepas pada perdebatan tersebut, jika TKI di luar negeri tidak boleh menghapus NPWP maka saya anjurkan untuk me"non-efektif"-kan NPWP tersebut. Biasa di kantor pajak disebut NE. Status NE memang tidak menghapus NPWP tetapi ada keuntungan bagi Wajib Pajak yang tidak menyampaikan yaitu tidak diterbitkan Surat Teguran. Secara umum boleh juga dibaca bahwa WP NE boleh tidak menyampaikan SPT. Tata cara penanganan Wajib Pajak non-efektif diatur di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE - 89/PJ/2009. Silakan diunduh jika ingin membaca secara utuh.
Saya kutip aturan-aturan terkait TKI di Luar Negeri :
Tulisan ditebalkan (dibold) oleh saya karena terkait dengan TKI di Luar Negeri. Berikut syarat-syarat permohonan untuk menjadi Wajib Pajak Non Efektif ke KPP.
Antusias menyampaikan SPT ternyata bukan hanya Wajib Pajak Dalam Negeri. Bahkan banyak juga para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari penghidupan di negeri orang bersiap-siap menyampaikan SPT. Setidaknya ini terpantau dari beberapa email yang masuk ke saya dan banyaknya pertanyaan di milis perpajakan. Padahal berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-2/PJ/2009 tentan perlakuan PPh bagi tenaga kerja di Luar Negeri bahwa orang pribadi WNI yang bekerja di Luar Negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam 12 (dua belas) bulan merupakan subjek pajak luar negeri.
Jika sudah jelas merupakan subjek pajak luar negeri maka status orang pribadi tersebut jadi Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Administrasi perpajakan hanya menjangkau Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Kenapa? Karena memang WPLN itu seperti orang lain. Semua penduduk bumi yang jumlahnya milyaran orang merupakan subjek pajak. Setiap subjek pajak tersebut dibagi dua, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri menurut UU PPh adalah mereka yang tinggal (berada di Indonesia) selama 183 hari dalam 12 bulan. Jika kita lahir di Indonesia, maka subjek pajak sudah melekat sejak lahir karena memang berada di Indonesia terus. Hal ini diatur di Pasal 2A UU PPh.
Karena itu, saya selalu menganjurkan untuk para TKI di luar negeri untuk meminta penghapusan NPWP ke KPP terdaftar. Bukan berarti saya kontra dengan DJP tetapi memang aturan yang berlaku begitu, bahwa jika TKI bekerja di Luar Negeri lebih dari 183 hari maka jadi subjek pajak luar negeri. Artinya mereka sebenarnya sudah WPLN. Jika WPLN masih memiliki penghasilan dari Indonesia meka berlaku aturan di Pasal 26, yaitu dipotong dan disetornya PPh Pasal 26 oleh pihak pemberi penghasilan sebesar 20%. Mungkin dari kacamata umum terlihat aneh jika "orang Indonesia" menjadi WPLN dan dipotong PPh Pasal 26!
Hanya saja, banyak juga yang berpendapat bahwa "orang Indonesia" hanya bisa menghapus NPWP jika meninggal dunia. Menurut Pasal 2A UU PPh memang kewajiban subjektif dari orang pribadi subjek pajak dalam negeri akan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Untuk syarat pertama, meninggal dunia, saya yakin tidak ada perdebatan. Tetapi syarat kedua, meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya terjadi perdebatan. Salah satu yang memberatkan adalah ,"Bagaimana meyakinkan orang pribadi tersebut tidak akan kembali lagi ke Indonesia?"
Terlepas pada perdebatan tersebut, jika TKI di luar negeri tidak boleh menghapus NPWP maka saya anjurkan untuk me"non-efektif"-kan NPWP tersebut. Biasa di kantor pajak disebut NE. Status NE memang tidak menghapus NPWP tetapi ada keuntungan bagi Wajib Pajak yang tidak menyampaikan yaitu tidak diterbitkan Surat Teguran. Secara umum boleh juga dibaca bahwa WP NE boleh tidak menyampaikan SPT. Tata cara penanganan Wajib Pajak non-efektif diatur di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE - 89/PJ/2009. Silakan diunduh jika ingin membaca secara utuh.
Saya kutip aturan-aturan terkait TKI di Luar Negeri :
2. Wajib Pajak dinyatakan sebagai WP NE apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:a. selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak pernah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun penyampaian SPT Masa dan/atau SPT Tahunan.b. tidak diketahui/ditemukan lagi alamatnya.c. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia tetapi belum diterima pemberitahuan tertulis secara resmi dari ahli warisnya atau belum mengajukan penghapusan NPWP.d. secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha.e. bendahara tidak melakukan pembayaran lagi.f. Wajib Pajak badan yang telah bubar tetapi belum ada Akte Pembubarannya atau belum ada penyelesaian likuidasi (bagi badan yang sudah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang).g. Wajib Pajak orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Tulisan ditebalkan (dibold) oleh saya karena terkait dengan TKI di Luar Negeri. Berikut syarat-syarat permohonan untuk menjadi Wajib Pajak Non Efektif ke KPP.
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g mengajukan permohonan sebagai WP NE ke KPP, dengan melampirkan :
1) surat pernyataan sudah tidak lagi melakukan kegiatan usaha, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf d, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
2) surat pernyataan sudah tidak melakukan pembayaran, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf e, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
3) surat keterangan dalam proses pembubaran atau likuidasi dari Notaris, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf f.
4) fotokopi passpor dan kontrak kerja atau dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak berada di luar negeri lebih dari 183 hari dalam dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf g.
Komentar
suami saya pelaut kerjanya sama perusahaan asing dan selalu berlayar diluar negeri.
tapi gajinya gk pernah dipotong pajak dari perusahaannya.
itu gimana ya??artinya tetap harus pajak di indonesia?
thanks