Prinsip Keadilan PPh

Dibagian penjelasan umum perubahan keempat UU PPh 1984 disebutkan prinsip perpajakan yang dianut secara universal. Lebih lengkap bunyi penjelasan tersebut:
Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut:
a. lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
d. lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi; dan
e. lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing

dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Kabarnya, sejak Adam Smith menyusun buku An Inquiry into the Natura and Causes of the Wealth of Nations telah disarankan bahwa perpajakan harus berlandaskan prinsip Equality [keadilan], Certainty [kepastian], Convenience [kemudahan], dan Economy [efesien]. Kali ini saya [hanya] akan membahas masalah prinsip keadilan [equality].

Banyak yang mempertanyakan sistem keadilan yang dianut oleh UU PPh. Bahkan bagi sebagian orang, pajak merupakan kedzoliman yang nyata [terutama jika mengetahui hasil pemeriksaan pajak dari pemeriksa he .. he..]. Bagi sebagian lain merasa bahwa pajak penghasilan tidak adil. Lantas bagaimana keadilan dipraktekkan di PPh?

Pajak Penghasilan dikenakan kepada Wajib Pajak SEBANDING dengan kemampuannya untuk membayar. Atau sering juga disebut ability to pay. Ada juga yang menyebut daya pikul. Kata “sebanding” dalam perpajakan [bukan hanya PPh] diwujudkan dengan tarif yang menggunakan persentase tertentu. Karena menggunakan tarif persentase maka Wajib Pajak yang berpenghasilan besar akan membayar pajak lebih besar sebaliknya Wajib Pajak yang berpenghasilan kecil akan membayar pajak lebih kecil. Bahkan pada batas tertentu, Wajib Pajak yang berpenghasilan kecil tidak bayar PPh.

Ada lagi yang menyebutkan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Apa yang dimaksud dengan keadilan horizontal dan keadilan vertikal? Supaya lebih jelas saya kutip syarat-syarat keadilan [dikutip dari buku-nya Prof. R. Mansury yang berjudul Pajak Penghasilan Lanjutan] :

[a.] syarat keadilan horizontal :
[a.1.] Definisi Penghasilan : semua tambahan kemampuan ekonomis, yaitu semua tambahan kemampuan untuk dapat menguasai barang dan jasa, dimasukkan dalam pengertian objek pajak atau definisi penghasilan.

[a.2.] Goblality : semua tambahan kemampuan itu merupakan ukuran dari keseluruhan kemampuan membayar atau “the global ability to pay”, oleh karena itu harus dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak.

[a.3.] Nett income : yang menjadi ability to pay adalah jumlah netto setelah dikurangi semua biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan itu.

[a.4.] Personal Exemption : untuk Wajib Pajak orang pribadi suatu pengurangan untuk memelihara diri Wajib Pajak [di UU PPh 1984 disebut PTKP atau penghasilan tidak kena pajak].

[a.5.] Equal treatment for the equals : jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama, dikenakan pajak dengan tarif pajak sama, tanpa membedakanjenis-jenis penghasilan atau sumber penghasilan.

[b.] syarat keadilan horizontal:
[b.1.] Unequal treatment for the unequals : yang membedakan besarnya tarif adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis, bukan karena perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan.

[b.2.] Progression : apabila jumlah penghasilan seorang Wajib Pajak lebih besar, dia harus membayar pajak lebih besar dengan menerapkan tarif pajak yang prosentasenya lebih besar.

Mudah-mudahan sekarang pembaca menjadi jelas definisi keadilan menurut pajak berbeda dengan definisi keadilan menurut hukum pidana atau perasaan manusia. Memang di dunia ini keadilan itu tergantung siapa dan posisi apa. Contoh pertanyaan yang sering saya dapatkan, “Apakah adil jika toko saya dikenakan pajak sedangkan toko sebelah tidak?” Pertanyaan seperti ini karena si Wajib Pajak sedangkan diperiksa sedangkan tetangganya tidak. Padahal menurut undang-undang yang berlaku, tidak ada pengecualian, semua harus dikenakan pajak. Walaupun tidak diperiksa oleh petugas pajak bukan berarti toko sebelah boleh tidak dikenakan pajak!


Komentar

Anonim mengatakan…
Hmm. Memang dalam pajak dikenal azas keadilan, tapi belum tentu semua orang merasa diperlakukan adil :)
He..he... Bingung kan? Just comment saja kok.
Salam.
zizima mengatakan…
Sebelumnya saya mohon maaf.. ya saya ingat ketika kuliah mendapat materi tentang teori adam smith yang mengharuskan 4 prinsip yang diterapkan di pajak, tapi yang saya pertanyakan adalah mengenai:
Certainty [kepastian], Convenience [kemudahan], dan Economy [efesien].
Kepastian: peraturan yang sering berubah terus terang membingungkan.
kemudahan: heeem.. saya rasa sangat tidak mudah bagi orang awam untuk mengisi SPT meskipun sudah ada buku petunjuknya.
Efisien: ??? saya rasa ada banyak contoh ya.
Mohon maaf, bukan memojokkan pajak, hanya sebuah sudut pandang saja :)
ChepiCahyadi mengatakan…
Konteks kekinian mungkin Keadilan pph pp 46, agak menggelitik jika ditilik dari pengenaannya berdasarkan peredaran bruto, bukan dari netto ato phkp. Penjual mobil bekas atau penjual pulsa kadang memiliki peredaran bruto tinggi tapi margin keuntungan sangan rendah. Kedepan pp 46 dapat dijabarkan lebih detail dan rijit

-salam pak raden-
Raden Agus Suparman mengatakan…
mudah-mudahan.
Kabarnya PP 46 akan direvisi

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru