Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2009

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Gambar
Pasal 4 ayat (3) huruf n UU PPh 1984 [amandemen 2008] berbunyi: bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Berdasarkan kewenangan tersebut kemudian Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 247/PMK.03/2008 . Berikut ringkasan yang saya buat: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial [BPJS] adalah : [a.] Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); [b.] Perusahaan Perseroan (Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); [c.] Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); [d.] Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); dan/atau [e.] badan hukum lainnya yang dibentuk untuk menyelenggarakan Program JaminanSosial. Sedangkan Wajib Pajak penerima penghasilan yang dikecualikan adalah : (1) Wajib Pajak ata

Beasiswa

Gambar
Untuk mendorong Wajib Pajak memberikan beasiswa bagi warga negara Indonesia maka pemerintah telah menetapkan bahwa beasiswa bukan penghasilan bagi penerimanya. Dasar hukumnya ada di Pasal 4 ayat (3) huruf l UU PPh 1984 [amandemen 2008] yang berbunyi : beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Berdasarkan kewenangan tersebut, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008 tentang Bea Siswa Yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan. Berikut kutipan Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008 : Pasal 1 (1) Penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. (2) Ketentuan sebag

Hibah, Bantuan, dan Sumbangan

Gambar
Sebenarnya ada beberapan penerimaan yang bisa disebut penghasilan oleh definisi Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 tetapi oleh undang-undang sendiri ditetapkan sebagai bukan penghasilan yang diatur di Pasal 4 ayat (3) UU PPh 1984. Pada posting kali ini akan diurang "penghasilan" yang berkaitan dengan hibah, bantuan, dan sumbangan sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008 . Berikut adalah kutipan langsung sebagai dasar hukum : Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [amandemen 2008] : Yang dikecualikan dari objek pajak adalah : a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ket

fasilitas bagi perusahaan terbuka

Gambar
Bagi perusahaan yang sudah terbuka ( listing di bursa saham) sekarang sudah bisa menikmati fasilitas Pajak Penghasilan berupa tarif yang lebih rendah 5% dari tarif pajak pada umumnya. Pada tanggal 30 Desember 2008 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka . Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 ini tarif yang di UU No.17 Tahun 2000 sebesar semula 30% menjadi 25% . Tarif Ini tentu hanya berlaku untuk tahu pajak 2008. Sejak tahun pajak 2009, berlaku UU PPh baru dengan tarif tunggal sebesar 28%. Dan sejak tahun 2010 tarif PPh Badan turun lagi menjadi hanya 25% saja. Nah bagi perseroan terbuka maka tarif pajak untuk : -> tahun 2009 sebesar 23% [yaitu 28% - 5%] dan -> tahun 2010 sebesar 20% [yaitu 25% - 5%]. Bahkan di UU No. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2009, penurunan ta

cash basis bagi penjual tanah

Gambar
Mulai tanggal 1 Januari 2009 terhadap penghasilan yang diterima oleh pengembang atas penjualan rumah sederhana [RS] dan rumah susun sederhana [RSS] terutang Pajak Penghasilan sebesar 1% FINAL. Pengembang yang saya maksud adalah semua penjual yang USAHA POKOKnya jual beli tanah dan atau bangunan. Jika pengembang tersebut menjual RS dan non-RS maka berlaku dua tarif. Satu tarif 5% berlaku bagi siapapun penjual tanah dan/atau bangunan, satunya lagi 1% khusus berlaku untuk pengembang dan produk RS & RSS. Pengertian RS & RSS sama antara PPh dan PPN karena mengacu ke Peraturan Menteri Perumahan Rakyat. Artinya, RS dan RSS selain bebas PPN juga PPh-nya hanya 1% . Kewajiban perpajakan atas penghasilan yang berasal dari penjualan tanah dan/atau bangunan sangat sederhana karena hanya satu tarif [flat, katakanlah 5%] dan dari bruto. Dasar pengenaan PPh ini adalah CASH BASIS artinya tarif tersebut tinggal dikalikan dengan jumlah uang yang diterima oleh penjual. Berikut bunyi lengkap

Daftar Objek PPh Pasal 23

Gambar
Sebelum tahun 2009, saat terutang PPh Pasal 23 adalah saat dibayar atau terutang. Mana yang lebih cepat. Sejak tahun 2009 terjadi perubahan saat terutang dikarenakan pengakuan beban biaya dalam pembukuan (akhir tahun buku) tidak menjadikan timbulnya kewajiban pembayaran atau hak atas suatu penghasilan. Karena itu, sekarang PPh Pasal 23 terutang saat : [1.] dibayarkan, [2.] disediakan untuk dibayarkan, atau [3.] telah jatuh tempo pembayarannya mana yang lebih dulu terjadi. Besarnya tarif PPh Pasal 23 ada dua yaitu : 15% dan 2%. Jenis penghasilan yang menggunakan tarif 15 % dari jumlah bruto terdiri dari : [1.] dividen [2.] bunga [3.] royalti [4.] hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Sedangkan penghasilan [jenis jasa] yang menggunakan tarif 2% dari jumlah bruto terdiri dari : [1.] Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan atau bangunan; [2.] jasa

Pemeriksaan khusus

Gambar
Pemeriksaan Khusus berdasarkan instruksi dari Kepala Kantor Wilayah DJP dilakukan apabila terdapat hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan yang dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP yang perlu ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus. Pemeriksaan Khusus berdasarkan instruksi dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dilakukan dengan alasan sebagai berikut: a. Terdapat hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan yang dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan yang perlu ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus. b. Sebab lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak yang antara lain karena adanya permintaan dari Wajib Pajak tertentu, antara lain: 1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara; 2) Wajib Pajak yang akan melakukan Rapat Umum Pemegang Saham; 3) Wajib Pajak yang kepemilikannya akan dialihkan; atau 4) Wajib Pajak akan melakukan IPO atau Emisi Saham/Obligasi. c. Terdapat hasil a

Penyegelan

Gambar
Penyegelan dilakukan untuk memperoleh atau mengamankan data, atau catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan [Pasal 1 ayat (1) PER-54/PJ/2008] Penyegelan dilakukan dalam hal [SE-11/PJ.04/2008] : [a.] Wajib Pajak atau kuasanya tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak, yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak; [b.] Wajib Pajak atau kuasanya menolak membantu kelancaran Pemeriksaan yang antara lain berupa tidak memberi kesempatan

Flowchart Fiskal Luar Negeri

Gambar
Dibawah ini terdapat daftar kantor pajak yang dapat melayani fiskal luar negeri. Jika di Bandara mengurus fiskal luar negeri mengantri, lebih baik datang langsung ke kantor pajak. Silakan  diperbesar.

Pemeriksaan Rutin

Gambar
Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakannya atau karena diwajibkan oleh Undang-Undang KUP. Begitulah pengertian pemeriksaan rutin menurut SE-10/PJ.04/2008. Prakteknya, pemeriksaan rutin ini lebih banyak pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan [SPT] Wajib Pajak yang menyatakan lebih bayar atau SPT LB. Demi undang-undang, terhadap SPT LB wajib diperiksa, dan dalam jangka waktu dua belas bulan sejak SPT tersebut diterima oleh kantor pelayanan pajak, maka harus diterbitkan surat ketetapan pajak. Pemeriksaan rutin dilakukan terhadap : [1.] Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar; [2.] Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan Rugi Tidak Lebih Bayar [3.] Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan menyampaikan SPTTahunan PPh untuk bagian tahun pajak atau tahun

Kebijakan Pemeriksaan Tahun 2009

Gambar
Hampir setiap tahun, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan petunjuk pelaksana bagi para pemeriksa pajak baik pemeriksa fungsional maupun non fungsional. Petunjuk yang dimaksud adalah sebuah Surat Edaran yang dikeluarga Direktur Jenderal Pajak. Biasanya ‘judul’ dari surat edaran tersebut adalah Kebijakan Pemeriksaan. Sebagai contoh : 1. SE-02/PJ.7/2005 tentang Kebijakan Pemeriksaan Berdasarkan Kriteria Seleksi 2. SE-03/PJ.7/2005 Kebijakan Pemeriksaan Rutin 3. SE-01/PJ.7/2006 tentang Kebijakan Umum Pemeriksaan Pajak 4. SE-10/PJ.7/2006 tentang Penegasan Atas Pembahasan Hasil Pemeriksaan 5. SE-02/PJ.04/2007 tentang Kebijakan Pemeriksaan Khusus, dan 6. SE-04/PJ.04/2007 tentang Rencana Pemeriksaan Nasional dan Kebijakan Umum Pemeriksaan tahun 2007. Sejak Januari 2009, surat edaran tersebut diatas sudah tidak berlaku dan diganti dengan SE-10/PJ.04/2008 tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Surat edaran ini terdiri dari lima bagian yait

Bukan Subjek Pajak

Gambar
Sesuai dengan kelaziman “diplomasi” antar negara bahwa ada organisasi Internasional dan pejabat organisasi tersebut yang ditetapkan sebagai bukan subjek Pajak. Bahkan khusus kantor perwakilan negara seperti kantor kedutaan besar dianggap sebagai negara lain. Misalkan Kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said Jakarta dianggap sebagai “wilayah hukum Malaysia” sehingga berlaku peraturan perundang-undangan Malaysia, bukan peraturan Indonesia. Karena itu sangat wajar jika para pejabat Kedutaan Besar tersebut bukan subjek pajak Indonesia tapi subjek pajak Malaysia. Berkaitan dengan organisasi Internasional, maka tidak semua organisasi tersebut otomatis dikecualikan sebagai subjek pajak PPh. Organisasi internasional mana yang dikecualikan, ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penetapan Menteri Keuangan terbaru dikeluarkan pada bulan Desember 2008 kemarin dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK. 03/2008. Berikut ini adalah dasar hukum pengecualian subjek pajak dan lampiran P

Perpanjangan Sunset Policy

Gambar
Perpanjangan Sunset Policy dengan Perpu semula “dinyatakan” TIDAK MUNGKIN! Pada tanggal 5 Desember 2008, Dirjen Pajak di Auditorium Gedung Keuangan Negara Bandung [pengarahan ke pegawai pajak yang kebetulan saya hadir] mengatakan bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu tentang perpanjangan sunset policy tidak memungkinkan karena alasan diterbitkanya Perpu harus “keadaan memaksa” atau keadaan darurat yang jika Perpu tersebut tidak diterbitkan akan menimbulkan kekacauan pada negara. Pernyataan senada juga dikemukakan pada hari yang sama, tetapi di tempat yang berbeda [Hotel Savoy Homann] pada acara Sosialisasi Sunset Policy dengan WP Besar di Kanwil Jabar I. Hal yang terakhir saya ketahui dari Berita Pajak No. 1626 halaman 37. Tetapi pada kenyataannya sunset policy tetap diperpanjang hingga tanggal 28 Februari 2009 dengan dikeluarkannya PERPU No. 5 Tahun 2008 . Inti dari Perpu ini adalah mengganti kata-kata di Pasal 37A ayat (1) dari : “paling lama dalam jangka

Pekerja Indonesia di Luar Negeri

Gambar
Ini adalah kabar yang baik bagi para pekerja Indonesia yang bekerja di Luar Negeri. Telah keluar Peraturan Direktur Jenderal Pajak No PER-2/PJ/2009 . Menurut bagian “menimbang” dari Perdirjen ini bahwa peraturan ini dikeluarkan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas perlakuan Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang merupakan Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Saya menggarisbawahi kata-kata “memberikan kepastian hukum”. Inilah jawaban “keresahan” para pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Memang sudah seharusnya ketentuan perpajakan kita konsisten bahwa aturan 183 hari itu berlaku baik bagi setiap orang yang berada di Indonesia maupun orang yang berada di luar Indonesia. Jika berada di Indonesia 183 hari atau lebih maka menjadi subjek Pajak dalam negeri. Sebaliknya, jika berada di luar negeri 183 hari atau lebih maka menjadi subjek Pajak luar negeri. Inti dari

NPWP Keluarga

Gambar
Banyak yang belum paham jika keluarga dalam peraturan perpajakan kita khususnya UU PPh 1984 memandang sebagai satu entitas, keluarga sebagai satu kesatuan yang utuh. Karena itu, jika ada istri yang pisah harta dengan suami maka harus dibuktikan dengan akta notaris. Dan karena pisah harta, maka NPWP antara suami dengan istri juga terpisah. Tetapi, jika tidak ada keinginan dan bukti akta notaris maka keluarga: suami, istri, anak dan tanggungan lainnya, merupakan satu entitas. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-83/PJ/2008 secara tegas menyebutkan sebagai berikut : Dalam rangka meningkatkan tertib administrasi dalam pemberian NPWP kepada anggota keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis ... Karena itu, pada dasarnya satu keluarga satu NPWP. Berkaitan dengan Fiskal Luar Negeri yang membebaskan pembayaran Fiskal bagi pemilik NPWP maka mungkin ada anggota keluarga yang tidak "memiliki NPWP" pergi ke luar negeri dengan kepentingan tertentu. Maka anggota keluarga tersebut sebenar

Perubahan PER-53/PJ/2008

Gambar
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran, Pengecualian Pembayaran Dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri, telah dirubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 1/PJ/2009 . Berikut ini adalah kutipan dari SE-01/PJ/2009 sebagai penjelasan dari perubahan tersebut. Karena saya kesulitan mengatur marjin, maka perincian atau penomorannya sedikit ada perubahan. Oh ya, yang saya tampilkan hanya dari point satu dari surat edaran tersebut. Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 1/PJ/2009 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran, Pengecualian Pembayaran Dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri, yang menambah ketentuan baru dalam Pasal 8 huruf b, dengan ini disampaikan penjelasan sebagai berikut:

Distributor Rokok

Gambar
Kudus menyebut dirinya sebagai kota kretek. Memang di daerah kudus aroma tembakau tercium dimana-mana, terutama saat dipagi hari. Dan di Kudus juga ada musium rokok kretek. Sebagian besar perekonomian warga ditopang oleh industri rokok kretek. Dan dari industri rokok kretek di Kudus telah lahir keluarga super kaya bukan hanya skala Indonesia tapi masuk super kaya ukuran dunia, yaitu keluarga "DJARUM KUDUS". Penghasilan yang diterima oleh perusahaan distributor rokok berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 ditetapkan sebagai penghasilan final. Berikut kutipannya Pasal 7 ayat (2) : Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penyerahan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 dapat bersifat final berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Sedangkan Pasal 1 butir 5 berbunyi : Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor

Fiskal Luar Negeri

Gambar
Ketentuan Fiskal Luar Negeri diatur di Pasal 25 ayat (8) UU PPh 1984. Bunyi lengkapnya seperti ini : Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri, wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 25 itu sendiri merupakan bagian dari cicilan pajak tahun berjalan. Cicilan pajak yang wajib disetor setiap bulan oleh Wajib Pajak ke Kas Negera disebut PPh Pasal 25. Tetapi ada cicilan pajak yang sifatnya insidentil [maksudnya kadang-kadang] yang dibayar pada waktu kita akan berangkat ke luar negeri. Jika dulu, semua perjalanan wajib bayar Fiskal Luar Negeri [darat, udara, dan laut] maka sekarang perjalanan ke luar negeri lewat darat tidak perlu bayar fiskal. Jadi pembayaran fiskal "dicegat" di bandar udara dan pelabuhan laut. Sekarang tarif Fiskal Luar Negeri menjadi Rp.2.500.000,00 [dua juta lima ratus rupiah] yang sebelumnya ada

Pengecualian Fiskal Luar Negeri

Gambar
Pembaca yang budiman :-) sebelum pergi ke luar negeri di tahun 2009 ini sebaiknya baca dulu daftar berikut apakah termasuk orang yang harus bayar Fiskal Luar Negeri atau bukan, kecuali bagi mereka yang sudah memiliki NPWP. Berikut ini adalah daftar "fihak-fihak" yang tidak perlu bayar Fiskal Luar Negeri saat pergi ke Luar Negeri dengan pesawat udara atau laut. Karena males ngulang ngetik saya buatkan dalam bentuk gambar dulu biar bisa 'ditayangkan' di posting ini. Saya kutif dari SE-86/PJ/2008 . Karena di ORTAX belum nongol, maka saya simpan saja di WordPress.com supaya bisa di unduh. Untuk membacanya mungkin bisa dengan klik di gambar [saya coba pakai Opera bisa], atau di Zoom menjadi lebih besar, atau di unduh saja dari arsip WordPress.com

Bebas Fiskal dengan modal materai

Gambar
Seorang bibi (adik dari ibu mertua) tiba-tiba bertanya masalah NPWP. Saya kaget karena dia terkesan “bersemangat” untuk membuat NPWP. Berbanding terbalik dengan orang lain yang terkena ektensifikasi petugas pajak. Padahal dia hanyalah seorang pedagang kecil di pasar tradisional. Saya yakin tidak pantas mendapatkan NPWP. Mendapatkan NPWP memang mudah. Tetapi pemilik NPWP memiliki konsekuensi setidaknya dua hal : pertama wajib membuat SPT setiap tahun dan denda bagi yang tidak membuat [baik lupa maupun ketidaktahuan atau disengaja] SPT Tahunan sebesar Rp.1.000.000,00. Konsekuensi kedua, NPWP tidak bisa dihapus keculai orang tersebut meninggal dunia. Memang bisa menjadi tidak efektif atau non efektif, tetapi prosedur untuk mendapat status itu tidak mudah. Selidik punya selidik, ternyata sang bibi tersebut mau diajak bibi yang lain melancong ke Malaysia. Nah, supaya bebas bayar Fiskal Luar Negeri, maka si bibi yang ngajak tersebut menganjurkan supaya si bibi yang diajak “mengurus” men