Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

Audit Plan

Gambar
Pemeriksaan yang baik tentu saja harus dipersiapkan dengan baik. Sesuai amanat Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2010 bahwa pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik. Salah satu penjabaran dari persiapan pemeriksaan adalah membuat audit plan yang dilakukan oleh supervisor. Audit plan atau rencana pemeriksaan diatur di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-126/PJ/2010 . Seperti kata pepatah "gagal merencakan sama dengan merencanakan kegagalan". SE-126/PJ/2010 mengatur lebih rinci bagaimana rencana pemeriksaan dibuat oleh KPP. Berikut rangkuman dan catatan saya berdasarkan urutan pekerjaan : [1.] Kepala UP2 membuat Nota Dinas Penunjukkan Supervisor yang disertai dengan Daftar Berkas Wajib Pajak Yang Dipinjamkan Dalam Rangka Pemeriksaan antara lain berisi : SPT tahun pajak yang akan diperiksa, Laporan Keuangan minimal 2 tahun sebelumnya, profil Wajib Pajak, Laporan Hasil Pemeriksaan tahun sebelumnya, data dari pihak ketiga ,

Tim Asistensi Analisis Risiko

Gambar
Seorang pegawai Wajib Pajak mengeluh kepada forum tentang "ancaman" yang dilontarkan oleh petugas AR dari KPP tempat ia mendaftar. Si petugas menghimbau kepada Wajib Pajak untuk membetulkan SPT yang telah dilaporkan karena pajak terutangnya masih dibawah benchmark. Jika tidak melakukan pembetulan SPT, si petugas mengancam akan melakukan pemeriksaan. Bagi sebagian Wajib Pajak, tindakan petugas tersebut bisa dianggap "ancaman". Mereka takut jika perusahaan tempat ia bekerja diperiksa. Walaupun memang ada prosedur untuk itu, tetapi tidak serta merta keinginan petugas AR dapat terlaksana. Tidak semua usulan pemeriksaan bisa disetujui oleh Kepala KPP. Salah satu tim yang menilai kewajaran dari usulan pemeriksaan oleh AR adalah Tim Asistensi Analisis Risiko. Tim ini dibentuk berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-120/PJ/2010 . Tim Asistensi Analisis Risiko terdiri dari : a. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi; b. Kepala Seksi Pemeriksaan; c. Pe

Penyerahan Di Luar Daeran Pabean

Gambar
Menurut saya ini salah satu "angin surga" bagi Wajib Pajak. Ini juga termasuk materi yang sering menjadi perdebatan. Tentu saja pihak fiskus lebih memilih mengenakan PPN. Sebaliknya Wajib Pajak menghindar. Tetapi dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-130/PJ/2010 ini perbedaan tersebut menjadi tidak ada. Dalam prakteknya, pengusaha kita sering jual beli, ekspor-impor barang yang keberadaan barang tersebut sebenarnya tidak pernah masuk ke wilayah pabean Indonesia. Misalnya beli dari Singapur langsung di jual ke Hongkong. Tapi penjual dan pembeli sama-sama berada di Jakarta. Sebenarnya tidak ada perubahan baik di batang tubuh maupun di penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 dengan UU PPN sebelumnya. Saya baca, persis sama. Tetapi penerapannya jadi beda. Inilah kesimpulan SE-130/PJ/2010 : Ada tiga syarat yang harus terpenuhi agar penyerahan barang dikenai Pajak Pertambahan Nilai yaitu: 1) barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak

PPh Pasal 22 Impor dan Badan tertentu

Gambar
Berikut ini adalah rangkuman dari Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Dibidang Lain. Pemungut PPh Pasal 22 adalah : [1]. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang; [2]. bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang; [3]. bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP); [4]. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS); [5]. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan i

Pemeriksa Pajak Kini

Gambar
Salam gemuruh! Lain dulu, lain sekarang. Dunia "persilatan" sudah terbalik-balik. Dulu, pemeriksa pajak itu seperti "pendekar sakti mandraguna". Tak terkalahkan! Apalagi sebelum berlaku sistem self assessment . Konon kabarnya, jika sudah keluar jurus "pokoknya", Wajib Pajak dibuat tidak berkutik [saya sendiri tidak mengalami zaman "UU pokoknya"]. Ini bagian cerita dari mulut ke mulut. Beralih ke zaman UU KUP, pemeriksa pajak sudah mulai berubah. "UU pokoknya" sudah mulai ditinggalkan walaupun penafsiran dalam suatu peraturan lebih dominan kepada si pemeriksa pajak itu sendiri. Mungkin saja pada "zaman jahiliah" ini Wajib Pajak tetap merasa ada "arogansi" pemeriksa pajak. Sampai dengan tahun 2010 ini, masih ada yang melaporkan pemeriksa pajak yang arogan. Walaupun saya yakin arogansi sekarang jauh lebih sopan daripada "zaman jahiliah". Pada zaman reformasi sekarang, pemeriksa pajak tentu saja lebih pro

Kehadiran WP dalam Closing Conference

Gambar
"Closing Conference" adalah istilah lain yang sering dipergunakan dalam pemeriksaan pajak untuk Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Penggunaan judul "Closing Conference" semata-mata supaya lebih singkat saja! Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui. Ini definisi resmi menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 . Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan merupakan salah satu prosedur pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh pemeriksa pajak. Bahkan jika pemeriksaan pajak dilakukan TANPA Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan maka produk dari pemeriksaan tersebut dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP. Setidaknya ada dua poin yang harus diperhatikan dalam Pembahasan Akhir Hasil P

Faktur Pajak Pedagang Eceran

Gambar
DJP telah mengeluarkan surat edaran baru terkait dengan faktur pajak untuk pedagang eceran (PE). Surat ederan dengan nomor SE-137/PJ/2010 ditandatangani tanggal 13 Desember 2010. Sebenarnya SE-137/PJ/201 0 menyampaikan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-58/PJ/2010 . Menurut PER-58/PJ/2010 , pedagang ecaran atau PKP PE adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut : a. melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya; b. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan c. pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual langsung menyerahkan Barang Kena Pajak atau pembeli langsung membawa Barang Kena Pajak yang dib

Nota Retur dan Nota Pembatalan

Gambar
Retur adalah pengembalian barang. Dokumen yang menyatakan retur disebut nota retur. Hampir sama dengan nota retur, hanya saja nota retur untuk penjualan barang sedangkan untuk jasa disebut nota pembatalan. Jadi nota pembatalan adalah dokumen yang menyatakan bahwa suatu jasa batal dilaksanakan. Nota retur atau nota pembatalan bisa mengurangi pajak keluaran bagi pihak penjual atau pemberi jasa. Syaratnya : nota tersebut dibuat oleh pembeli atau penerima jasa dan memuat informasi nama, alamat, dan NPWP. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2010 bahwa : [a.] Jika ada pengembalian BKP, pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual. [b.] Jika ada pembatalan penyerahan JKP, Penerima Jasa harus membuat dan menyampaikan nota pembatalan kepada Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak. [c.] Nota retur dan nota pembatalan paling sedikit harus mencantumkan : nama, alamat dan NPWP Pembeli BKP atau Penerima JKP. [d.] Jika nota

Untuk Pemain Faktur Pajak

Gambar
DJP "menengarai" ada Wajib Pajak tertentu yang memang dengan sengan memanfaatkan kelemahan dari sistem PPN. Walaupun bentuknya selembar kertas yang ditandatangani oleh bagian accounting, sebenarnya faktur pajak sama dengan uang kertas! Faktur pajak bisa mengurani PPN terutang. Bahkan bisa "menarik" uang negara melalui mekanisme restitusi. Benar bahwa setiap permohonan restitusi wajib diperiksa oleh DJP. Tetapi yang melakukan pemeriksaan adalah [sebagian besar] pemeriksa pajak yang selalu berpikir positif. Pemeriksa pajak lebih sering berada pada tataran formalitas. Artinya, jika formalitas sudah dipenuhi maka restitusi disetujui untuk dikeluarkan. Permasalahan muncul jika formalitas berbeda dengan substansi. Formalitasnya ada jual beli, tetapi pada kenyataannya tidak ada penyerahan barang. Dulu DJP menyebut faktur pajak fiktif. Kemudian karena dipermasalahkan di pengadilan, maka disebut faktur pajak bermasalah. Tetapi istilah sekarang adalah "faktur pajak

Sale and leaseback

Gambar
Ini merupakan perdebatan lama. Perlakuan PPN atas transaksi sale and lease back berubah-ubah, tergantung konseptor di kantor pusat :-) walaupun peraturan menteri keuangan yang mengatur masalah leasing tidak pernah berubah. Dulu ada surat yang begitu sakti yang sering digunakan oleh para pemeriksa pajak untuk mengenakan transaksi sale and leaseback. Surat dengan nomor S-813/PJ.53/2005 pada angka 5 huruf a berbunyi : Dalam transaksi sale and lease back dengan hak opsi antara PT ABC dengan perusahaan leasing: - penyerahan hak atas alat berat (BKP) yang dijual oleh PT ABC kepada perusahaan leasing (transaksi sale) termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, dan sepanjang Pajak Masukan atas perolehan alat berat tersebut oleh PT ABC dapat dikreditkan,dikenakan PPN; dan - penyerahan hak atas alat berat yang telah menjadi milik perusahaan leasing kepada PT ABC (transaksi lease back dengan hak opsi) termasuk dalam pengertian penyerahan BKP yang terutang PPN, sedangkan penyerahan jasanya (j

Laporan Tersendiri

Gambar
Seorang widyaiswara Pusdiklat Perpajakan di Kemanggisan pada penghujung tahun 1994, waktu itu saya sebagai siswa DPT Khusus Ajun Akuntan, mengatakan [kurang lebih] seperti ini, "Undang-undang perpajakan kalau dibaca berulang-ulang bukannya tambah jelas tetapi tambah bingung." Mendengar kalimat seperti itu, biasa saja karena tentu untuk para ajun akuntan yang baru lulus tidak mengerti apa yang membuat bingung. Tetapi kalimat tersebut teringat kembali ketika saya menyimak diskusi di milis berkaitan dengan "SPT Pembetulan" versus "Laporan Tersendiri" sebagaimana diatur di Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU KUP. Kesimpulan yang saya dapat dari diskusi tersebut adalah : Pertama , maksud dari Pasal 8 ayat (1) adalah SPT Pembetulan . Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Pembetulan sepanjang belum dilakukan pemeriksaan. Sesuai penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU KUP bahwa pemeriksaan dimulai sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak diterima Wajib Pajak atau

PM atas BKP yang dibebaskan

Gambar
Kemarin seorang teman pemeriksa menanyakan masalah pengkreditan pajak masukan [PM] atas ekspor barang kena pajak (BKP) yang dibebaskan. BKP tersebut menurut peraturan dibebaskan dari PPN. Menurutnya, sebagian teman-temannya berpendapat bahwa atas PM BKP yang dibebaskan boleh dikreditkan asal penyerahannya ekspor. Tetapi jika penjualannya lokal, maka atas PM BKP tersebut tidak boleh dikreditkan. Saya berpendapat bahwa perlakuan tersebut salah. Seharusnya, PM atas BKP yang dibebaskan tidak boleh dikreditkan baik untuk tujuan ekspor maupun penjualan lokal. Jika dibebaskan maka PPN tidak terutang. PPN terutang itu tarifnya bisa 10% atau 0%. Jangan terpengaruh pada tarif 0% seolang-olah tidak terutang. Selain itu, bahwa jika BKP tersebut dibebaskan maka sebenarnya atas penjualan BKP tersebut masih terdapat PPN. Sedangkan ekspor bertujuan "melucuti" PPN yang terkandung di BKP. Kemudian saya cek ke UU PPN. Ternyata di Pasal 16B UU PPN dengan jelas bahwa atas penyerahan BKP yan

EWS

Gambar
Faktur Pajak tidak sah adalah salah satu masalah dalam sistem administrasi perpajakan kita. Ada segelintir orang yang memanfaatkan kelemahan sistem Pajak Keluaran Pajak Masukan (PKPM) dari Pajak Pertambahan Nilai. Setiap Wajib Pajak yang sudah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut PPN dari pembeli (disebut PK). Sebaliknya pada saat dia membeli dia juga dipungut PPN oleh penjual (disebut PM). Setiap masa pajak, seroang PKP wajib melaporkan kewajiban berapa PK yang dia pungut dan berapa PM yang dia bayar. Fisik dari PKPM tersebut adalah faktur pajak. Faktur pajak tersebut seharusnya mencerminkan keadaan sebenarnya, yaitu merupakan dokumen dari transaksi jual beli yang dilakukan oleh PKP. Tetapi dalam kasus faktur pajak tidak sah, faktur pajak dibuat tidak ada transaksi jual beli tetapi yang ada transaksi jual beli dokumen faktur pajak. Hal ini disebut faktur pajak yang dibuat tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya! Bagi para pelaku penerbit faktur pajak t

BAPN

Gambar
Sejak Menteri Keuangan mengumumkan rencana reorganisasi DJP, sebenarnya yang paling bertanya-tanya adalah pegawai DJP sendiri. Kenapa? Karena rencana perombakan tersebut belum dibicarakan secara matang di DJP itu sendiri. KONON kabarnya, sebelum diberitakan di media, pimpinan DJP sendiri baru membicarakan kemungkinan-kemungkinan dan belum mengambil kesimpulan. Berita yang kemudian berkembang, ternyata bahwa DJP bukan dirombak dalam arti dipecah dua, tetapi hanya mengurangi kewenangan pembuatan kebijakan. Selanjutnya, fungsi membuat aturan dan kebijakan perpajakan akan dipegang oleh BKF . Kemungkinan, nanti akan ada " boyongan " pegawai DJP dan DJBC ke Pusat Kebijakan Pendapatan Negara di BKF. Kalau orang-orang pembuat kebijakan pendapatan negara sudah dikumpulkan dalam satu wadah di Badan Kebijakan Fiskal, maka tidak ada salahnya para pelaksana kebijakan tersebut juga disatukan dalam Badan Administrasi Pendapatan Negara atau disingkat BAPN. Badan ini merupakan gabu

Gaji untuk Keluarga

Gambar
Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 ini cukup membingungkan. Saya sampai mengulang-ulang bacaan pasal demi pasal. Tetapi setelah saya cari file sosialisasi perubahan UU PPh, baru mengerti. Coba baca kalimat-kalimatnya : Pasal 2 (1) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan, atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya kepada perusahaan di luar negeri tersebut. (2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai dari perusahaan di luar negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja. (3) Biaya atau pengeluaran lainnya yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan luar

140/PMK.03/2010

Gambar
Bagi para tax planner , salah satu cara untuk menghindari pembayaran pajak adalah dengan melakukan treaty shopping . Menurut Prof Gunadi, , treaty shopping biasanya dilakukan dengan mendirikan suatu badan dengan tujuan khusus ( special purpose vehicle/SPV ) di salah satu negara mitra P3B, atau dengan berbagai cara lainnya sebagai suatu saluran ( conduit ) atas penghasilan yang diperoleh di negara mitra lainnya. Pada tanggal 11 Agustus 2010 telah keluar Peraturan Menteri Keuangan No. 140/PMK.03/2010 tentang Penetapan Wajib Pajak Sebagai Pihak Yang Sebenarnya Melakukan Pembelian Saham atau Aktiva Perusahaan Melalui Pihak Lain Atau Badan Yang Dibentu Untuk Maksud Demikian ( Special Purpose Company ) Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Dengan Pihak Lain dan Terdapat Ketidakwajaran Penetapan Harga. Hemm, judulnya cukup panjang. Tapi maksud PMK ini adalah penetapan WP yang sebenarnya melakukan transaksi. Memang, untuk keperluan penghindaran pajak, kadang sebuah transaksi diputer dulu. Seo

PER-43/PJ/2010

Gambar
Saya kira, ini adalah peraturan perpajakan yang paling ditunggu oleh pemeriksa pajak. Selama bertahun-tahun [bahkan mungkin puluhan tahun] DJP hanya bisa mengeluh. Pada masa Dirjen Pajak Hadi Poernomo, beredar kabar akan diperiksa 750 perusahaan modal asing [PMA] yang selama 5 tahun selalu rugi. Tapi hasilnya tidak terdengar. Ada juga kabar bahwa 70% PMA tidak bayar pajak karena menyatakan rugi. Kerugian tersebut diindikasikan melakukan transfer pricing. Iwan Piliang bahkan mengabarkan bahwa transaksi transfer pricing setiap tahun mencapai ribuan trilyun rupiah. Fantastis! Kenapa DJP terkesan membiarkan transfer pricing? Salah satu alasannya karena belum adanya peraturan anti-transfer-pricing. Memang Pasal 18 ayat (3) UU PPh sudah memberikan kewenangan kepada DJP untuk menentukan kembali penghasilan kena pajak. Berikut bunyi Pasal 18 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1994 : Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan u

Jangka Waktu Pemeriksaan

Gambar
Apakah jangka waktu pemeriksaan merupakan sarana administratif atau untuk kepastian hukum? Saya berusaha untuk menjawab dua sisi jangka waktu pemeriksaan. UU KUP tidak mengatur berapa lama pemeriksaan harus diselesaikan. Pembatasan 12 bulan hanya khusus digunakan untuk pemeriksaan SPT Lebih Bayar. Pasal 17B ayat (1) UU KUP berbunyi : Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Jadi pembatasan 12 bulan sebenarnya untuk kepastian hukum, apakah permintaan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak diterim atau ditolak. Kalau SPT Wajib Pajak menyatakan Lebih Bayar tetapi Wajib Pajak tidak meminta pengembalian kelebihan pe

RI-Malaysia Ubah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Gambar
Jakarta ( ANTARA News ) - Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat memberlakukan Protokol Perubahan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara kedua negara. Tjiptardjo melalui Surat Edarannya yang diperoleh di Jakarta, Senin, menyebutkan, penandatanganan Pertukaran Piagam Pengesahan Protokol Perubahan P3B itu telah dilaksanakan pada 15 Juli 2010 di Putrajaya, Malaysia. Berdasarkan Pasal 7 Protokol Perubahan P3B itu, saat berlaku (enter into force) adalah tanggal 15 Juli 2010 dan Protokol Perubahan P3B itu berlaku secara efektif terhadap pajak-pajak yang dipungut atas jumlah yang dibayarkan atau dikreditkan pada atau setelah tanggal 1 September 2010. Protokol perubahan P3B antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang telah ditandatangani di Kuala Lumpur Malaysia pada 12 September 1991, telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2010 tanggal 17 Mei 2010 tentang Pengesahan Pr

Dirjen Pajak Belum Sepakat Zakat Kurangi Pajak

Gambar
Jakarta (ANTARA News ) - Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo menyatakan bahwa dirinya belum sepakat dengan wacana atau usulan agar pembayaran zakat dapat dikurangkan sebagai pengurang pembayaran pajak. "Ini akan menimbulkan pengurangan berganda atau dobel pengurangan sehingga penerimaan pajak akan menurun sangat tajam," kata Mochamad Tjiptardjo di Kantor Pusat Ditjen Pajak Jakarta, Kamis malam. Menurut dia, wacana pembayaran zakat sebagai pengurang pembayaran pajak merupakan masalah sensitif sehingga harus diverifikasi dan diklarifikasi dengan sejelas-jelasnya. Ia menjelaskan, berdasarkan UU tentang Perpajakan (UU tentang Pajak Penghasilan/PPh) sebenarnya sudah ada ketentuan mengenai pembayaran zakat sebagai salah satu pengurang penghasilan bruto sehingga juga mengurangi penghasilan kena pajak (PKP). "Pembayaran zakat melalui badan-badan yang sudah resmi ditunjuk menangani zakat merupakan pengurang penghasilan bruto sehingga pendapatan yang kena pajak ju

DPR desak peningkatan tax ratio

Gambar
JAKARTA: Fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah menaikkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) hingga 13% atau naik 1% dari target pemerintah dalam RAPBN 2011 sebesar 12%. Juru Bicara Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam mengatakan pemerintah perlu mengeluarkan terobosan baru agar tax ratio pada 2011 bisa mencapai 13%. "Ini sebenarnya bisa tercapai kalau pemerintah menghapuskan mafia perpajakan dan menurunkan tingkat penggelapan yang dilakukan perusahaan asing," katanya dalam rapat paripurana DPR hari ini. Dalam RAPBN 2011, pemerintah menargetkan tax ratio hanya sebesar 12% atau naik 1% dari APBN Perubahan 2010 sebesar 11,9%. Tidak hanya itu, FPKS juga meminta pemerintah untuk menindaklanjuti hasil temuan BPK dalam laporan audit LKPP 2009 yang menyebutkan adanya potensi penerimaan pajak sebesar Rp38,6 triliun yang belum dioptimalkan oleh Ditjen Pajak. Lurens Bahang Dama, juru bicara dari Fraksi PAN, juga menghendaki pemerintah menaikkan

Ditjen Pajak Tindak WNA Penggelap Pajak

Gambar
Jakarta ( ANTARA News ) - Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan bahwa pihaknya menindak warga negara asing yang telah memungut pajak namun tidak menyetorkannya kepada negara. "Boleh saja orang asing, investor asing datang ke sini untuk investasi, tapi kalau dia nakal ya akan kita tindak," kata Tjiptardjo di Gedung DPR Jakarta, Selasa. Ia menyebutkan, pihaknya telah melakukan proses hukum terhadap warga negara Amerika Serikat yang telah melakukan tindak pidana perpajakan itu. "Nama perusahaannya PT SI, yang bersangkutan sudah divonis 3 tahun 6 bulan," jelas Tjiptardjo. Menurut dia, kasus perpajakan di mana pelakunya adalah warga negara asing merupakan kasus yang sebelumnya belum pernah terjadi. "Ini belum pernah terjadi. Kasusnya, perusahaan itu memungut pajak tapi tidak disetor ke negara. Jenis pajaknya PPN, PPh21, tapi tidak distor ke negara, yang mungut warga negara asing lagi," katanya. Ia mengingatkan, boleh saja orang

Penyidikan kasus pajak perusahaan jalan terus

Gambar
JAKARTA: Direktorat Jenderal Pajak menyatakan penanganan kasus penyidikan pajak terhadap beberapa perusahaan masih terus berlangsung meski saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tengah melakukan audit investigasi dan audit kinerja terhadap otoritas pajak itu. Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan untuk kasus pajak PT Permata Hijau Sawit (PHS) berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan. "Kalau kasus PT Wilmar, masih bukti permulaan dan belum ada kabar," katanya saat ditemui di gedung DPR hari ini. Khusus untuk penanganan kasus PT Asian Agri Group (AAG), jelasnya, saat ini sudah satu tersangka yang berkasnya telah masuk tahap penuntutan atau P21. "Trus yang dua lagi akan menyusul," ujarnya. Adapun penanganan kasus tiga perusahaan milik Bakrie Group, Tjiptardjo menuturkan penanganan masih dalam proses penyidikan untuk PT Kaltim Prima Coal dan PT Bumi Resource Tbk. "Kalau AI [Arutmin Indonesia] masih bukti permulaan juga karena mas