Subjek Pajak Dalam Negeri

Ketentuan subjek pajak dalam negeri diatur di Pasal 2 ayat (3) UU PPh 1984. Berikut bunyi lengkapnya :
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Selain Pasal 2 ayat (3) diatas, yang berkaitan dengan subjek pajak dalam negeri diatur juga di Pasal 2A ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan ayat (6). Pasal 2A UU PPh 1984 mengatur tentang saat dimulai menjadi subjek pajak.
(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

(2) Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

(5) Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.

(6) Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.


Penjelasan :
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.

Dapat terjadi orang pribadi menjadi subjek pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi subjek pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.


Catatan :
Perhatikan, baik di batang tubuh maupun di memori penjelasan tidak ada pengaturan kewarganegaraan. Beberapa teman di DJP sekalipun masih memiliki pemahaman bahwa seorang warga negara Indonesia atau WNI akan otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri yang memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Mohon digaris bawahi kalimat pertama memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a yang berbunyi, “Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.” Kalimat ini [persis sama] sudah ada di memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 1994. Inilah bukti bahwa UU PPh 1984 menganut residence prinsiple atau asas tempat tinggal atau asas domisili!

Persyaratan subjek pajak sebagai subjek pajak dalam negeri terdiri [tidak kumulatif] :
[1.] orang pribadi yang bertempat tinggal atau berniat bertempat tinggal di Indonesia
Seseorang yang tertempat tinggal di Indonesia tidak perlu diragukan lagi bahwa dia memang subjek pajak dalam negeri. Karena di Indonesia berlaku dokumen Kartu Tanda Penduduk [KTP] maka dokumen KTP membuktikan bahwa seseorang tersebut merupakan subjek pajak dalam negeri. Dokumen ini akan menjadi masalah jika kemudian yang bersangkutan tidak “menetap” di Indonesia. Maksud menetap disini adalah keberadaan yang bersangkutan di Indonesia. Kadang di Indonesia, kadang di LN. Bisa jadi orangnya tinggal di Singapur tetapi masih memiliki KTP di Jakarta. Artinya, dokumen KTP hanya formalitas tetapi pada kenyataannya [substansinya] berbeda. Untuk kasus seperti ini, perlu ada test [pengujian] lain selain KTP.

Perhatikan kalimat memori penjelasan berikut, “Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.” Niat adalah sesuatu yang abstrak. Tidak mungkin petugas pajak menanyakan setiap orang yang datang di Bandara Internasional bertanya kepada orang asing, “Apakah Saudara berniat tinggal di Indonesia?” Kemudian si petugas pajak membuat berita acara bahwa orang asing tersebut berniat tinggal di Indonesia dan dijadikan sebagai subjek pajak dalam negeri.

Atau sebaliknya dengan bertanya kepada setiap WNI yang pergi ke Luar Negeri atau berada di Luar Negeri, “Apakah Saudara berniat suatu saat akan tinggal di Indonesia kembali?” Jelas ini pekerjaan tidak perlu. Hal yang sama berlaku bagi orang yang niat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya [saat berakhirnya subjek pajak dalam negeri]. Perhatikan kalimat di memori penjelasan berikut, “Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.” Bukti-bukti yang nyata mengenai niat harus diberlakukan baik niat bertempat tinggal atau niat meninggalkan Indonesia. Karena itu, kita mesti hati-hati apa yang dimaksud dengan niat di Pasal 2A UU PPh 1984.

Contoh seseorang berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia menurut saya : Mr. Y penduduk Tokyo dan warga negara Jepang mendapat “kontrak” bekerja di Toyota Indonesia selama dua tahun. Berdasarkan kontrak tersebut, maka Mr. Y akan menjadi subjek pajak dalam negeri sejak hari pertama bertugas di Indonesia. Dalam hal pembelian tempat tinggal di Indonesia oleh orang asing menurut saya tidak bisa dijadikan syarat sebagai subjek pajak dalam negeri. Memang pembelian tempat tinggal bisa diartikan bahkan pembeli akan tinggal di Indonesia. Tetapi sangat mungkin orang Singapura yang membeli rumah atau apartemen di Indonesia hanya sekedar untuk tempat singgah atau untuk disewakan [investasi saja].

[2.] Orang pribadi yang lahir di Indonesia
Ada juga yang berpendapat bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia maka otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri. Bagi saya memang subjek pajak saya sudah ada sejak saya lahir. Mengapa? Ya logis saja karena sejak lahir sampai sekarang saya berada di Indonesia. Tidak kemana-mana! Menurut saya, aturan tentang “kelahiran” ini harus diterapkan kepada orang-orang yang seperti saya. Orang yang tidak kemana-mana.

[3.] orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Pengujian 183 hari adalah pengujian yang paling adil. Dan penerapannya harus “reciprocal” atau timbal balik. Maksud saya, jika seseorang berada di Indonesia selama 183 hari atau lebih maka dia manjadi subjek pajak dalam negeri. Tetapi jika seseorang berada di Luar Negeri selama 183 hari atau lebih maka dia menjadi subjek pajak luar negeri.

The “days of physical presence” method atau pengujian metode 183 hari terutama diterapkan bagi karyawan atau pegawai di Luar Negeri. Kenapa saya hubungkan dengan status karyawan atau pegawai? Karena banyak sekali email yang masuk dari tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri yang mempermasalahkan status subjek pajak.

Sebagai patokan, saya kutip acuan pengaturan Pasal 15 tax treaty dari OECD yang sering disebut OECD model. Berikut kutipan Pasal 15 ayat (2) OECD model:
Notwithstanding the provisions of paragraph 1, remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment exercised in the other Contracting State shall be taxable only in the first-mentioned State if:
a. the recipient is present in the other State for a period or periods not exceeding in the aggregate 183 days in any twelve month period commencing or ending in the fiscal year concerned, and
b. the remuneration is paid by, or on behalf of, an employer who is not a resident of the other State, and
c. the remuneration is not borne by permanent establishment which the employer has in the other State.

Contohnya begini : Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas pekerja ekspatriat [orang asing yang bekerja di Indoneisa] jika si pekerja tersebut berada di Indonesia 183 hari atau lebih. Sebaliknya Indonesia tidak memiliki hak pemajakan penuh jika [a] berada di Indonesia kurang dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji bukan subjek pajak dalan negeri, dan, [c] gaji bukan biaya BUT di Indonesia. Jika ketiga syarat tersebut dipenuhi maka atas objek gaji tersebut hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Luar Negeri.

Persyaratan ini tentu [seharusnya] berlaku sebaliknya atau timbal balik. Pekerja Indonesia di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia atas penghasilan gajinya jika tiga syarat tersebut terpenuhi. Atau, atas gaji yang diterima oleh tenaga kerja Indonesia [TKI] di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Indonesia jika [a] berada di Indonesia lebih dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji merupakan subjek pajak dalan negeri / Indonesia, dan, [c] gaji bukan biaya BUT di Luar Negeri.

[4.] badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
Untuk subjek pajak berbentuk badan tidak banyak memperdebatkan. Kriterianya pun cuma dua, pertama, semua badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Contoh : perseroan terbatas, firma, CV, ormas, parpol, dan badan hukum lainnya. Kedua, semua badan yang berkedudukan di Indonesia. Berkedudukan bisa diartikan tempat manajemen berada atau place of effective management di Indonesia.

Pemerintah walaupun bisa disebut badan tetapi dikecualikan sebagai subjek. Ini logika saja karena pemerintah adalah pihak yang memungut pajak. Jika pemerintah dijadikan subjek pajak maka pemerintah akan memungut pajak atas dirinya sendiri. Pajak yang merupakan penghasilan pemerintah akan dikenakan pajak lagi. Ini tidak masuk akal. Yang benar adalah pemerintah sebagai “orang” memungut pajak atas penghasilan “orang lain”. Bahkan sebagian ahli moneter menyebutkan bahwa pajak adalah aliran dana dari sektor privat ke sektor publik.

Waktu kuliah, dulu, ada diskusi : apakah Bank Indonesia subjek pajak atau bukan? Jawabannya bukan subjek pajak karena Bank Indonesia bagian dari pemerintah. Dan UU PPh pun nampaknya “selaras” kecuali UU No. 36 tahun 2008 karena di Pasal 4 ayat (1) huruf s menyebutkan bahwa surplus Bank Indonesia sebagai objek PPh. Seorang anggota tim perumus RUU PPh mengatakan pada saat sosialisasi UU PPh baru di Bandung bahwa aturan surplus Bank Indonesia hanya merespon UU Bank Indonesia. Pasal II angka 4 UU No. 3 Tahun 2004 yang menyatakan,"Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan Undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan."

salaam

Supaya lebih lengkap, baca juga Subjek Pajak Luar Negeri

Komentar

Anonim mengatakan…
Pak Raden,

terima kasih atas informasinya tentang maksud NIAT dan TEMPAT TINGGAL dalam Pasal 2 UU PPh.

kalau ada waktu, mohon dibantu untuk kasus saya di http://www.ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=1644

terima kasih,

Devi N
Anonim mengatakan…
Pak Raden,

Apakah tax-treaty antara Indonesia dan negara X, memiliki prioritas lebih tinggi dari UU PPh 1984 dan perubahannya (UU PPh 2000 dan 2008)?
Anonim mengatakan…
Pak Raden,

Jika ada tax-treaty antara Indonesia dan negara A, apakah treaty ini memiliki prioritas lebih tinggi dari UU PPh?
Anonim mengatakan…
Pak Raden,

Jika antara Indonesia dan negara A memiliki tax-treaty, apakah tax-treaty ini memiliki hirarki yang lebih tinggi dari UU PPh?
Raden Agus Suparman mengatakan…
Hirarki tax treaty lebih tinggi daripada undang-undang. Silakan baca posting Subjek Pajak Luar Negeri.
Anonim mengatakan…
Pak Raden,
masalahnya, bukan UU 36 / 2008 doang yang "karet" / "abu2", tapi tax treaty-nya juga "karet" / "abu2".
Misalnya pasal soal pekerjaan tidak-bebas alias karyawan.
Anda cermati kata2nya = shall be taxable ONLY in Indonesia ---> ini bisa diartikan 2 =
1). Indonesia HANYA akan majaki penghasilannya jikalau....otherwise Indonesia TIDAK BERHAK majaki sama sekali.

ATAU bisa juga diartikan =
2). penghasilannya dipajaki HANYA di Indonesia jikalau....otherwise tidak cuman Indonesia yang berhak memajaki, tapi negara tempat bekerja juga berhak memajaki.

Jadi mana yang benar ? Who knows ????
Anonim mengatakan…
Pak Raden,
masalahnya, bukan UU 36 / 2008 doang yang "karet" / "abu2", tapi tax treaty-nya juga "karet" / "abu2".
Misalnya pasal soal pekerjaan tidak-bebas alias karyawan.
Anda cermati kata2nya = shall be taxable ONLY in Indonesia ---> ini bisa diartikan 2 =
1). Indonesia HANYA akan majaki penghasilannya jikalau....otherwise Indonesia TIDAK BERHAK majaki sama sekali.

ATAU bisa juga diartikan =
2). penghasilannya dipajaki HANYA di Indonesia jikalau....otherwise tidak cuman Indonesia yang berhak memajaki, tapi negara tempat bekerja juga berhak memajaki.

Jadi mana yang benar ? Who knows ????
Anonim mengatakan…
Pak Raden,
coba bapak dengarkan wawancara dengan BBC =
http://www.bbc.co.uk/indonesian/

Di bagian kanan bawah ada “Audio”,
click siaran 1100 GMT.

Di tengah2 acara radio, ada wawancara BBC dengan Melchias Markus Mekeng & Direktur Penyuluhan, Pelayanan & Humas Ditjen Pajak bpk.Djoko Slamet Surjoputro. Perhatikan komentar2 kedua Bapak tersebut.

Bapak Melchias ngomong kita2 WNI di luar negeri musti bayar pajak atas gaji kita di luar negeri, tapi pak Djoko ngomong kita2 WNI di luar negeri tidak akan dipajaki incomenya di luar negeri.

Saya jadi bingung, mana yang benar ?
Raden Agus Suparman mengatakan…
Untuk rhomailama, bahasa hukum memang begitu. Tax treaty bisa diibaratkan seperti flow chat, jika ya, maka ... jika tidak maka ...
jika memenuhi syarat ... maka ... jika tidak maka ...
yang penting kita fokus ke syarat tersebut.

"shall be taxable only" artinya kewenangan tersebut 100% di negara sumber atau negara domisili, tergantung bagaimana syarat yang dipenuhi. Bandingkan dengan bunyi, misalnya tentang royalti, bunga, dan deviden, biasanya berbunyi "may be taxed by both Contracting States".

Nah kalau yang terakhir berarti negara sumber dan negara domisili memiliki kewenangan tapi dibatasi.
Raden Agus Suparman mengatakan…
Saya jadi bingung, mana yang benar ?

Yang benar pasti undang-undang atau peraturan yang berlaku. Kita mesti mengacu ke undang-undang. Karena itu, untuk tulisan di blog ini saya berusaha menyebutkan sumber peraturan yang menjadi acuan.
Anonim mengatakan…
sedih sekali pak Raden punya Dirjen Pajak kok ngga logis kalo bikin peraturan....andaikan Pak Raden Dirjen Pajak.....ahhhhh saya dukung sepenuhnya !!!! Dan teman2 WNI perantauan senasib sepenanggungan pasti setuju dengan saya untuk mendukung pak Raden nggantiin Darmin.
Pak Melchias tu pasti ngga punya anak/saudara yang kerja di luar negeri. Coba kalau punya, saya mau liat apa masih berani dia lantang bikin unintelligent comments such as "ya malah kita usulkan naik 5 juta tuh !" ( ya lah wong dianya gratis fiskal luar negeri beserta sekeluarganya dibiayai rakyat )...dan "ya WNI bekerja di luar negeri ya harus dikenai pajak" ( coba kalo anaknya WNI kerja di luar negeri, saya mau liat apa komentarnya )....
Sory pak Raden....jadi emosi nih sama wakil2 rakyat yang seenak udelnya sendiri bikin UU nyekik leher rakyat :-(
Saya sendiri paleng ngga daftar NPWP....males peraturan ngga jelas gitu....saya mustinya pulang indo mau njenguk orang tua akhir desember ini, tapi saya batalin sebab situasi tak menentu :-(
Anyway terima kasih ya Pak Raden, saya juga mewakili teman2 WNI di luar negeri lainnya....pak Raden sudah mau bersusah2 tulus hati membantu kita2 untuk menyelidiki & menganalisa UU pajaknya ....thanks a ton ! :-)
semoga saja akhir semuanya ini bisa merupakan happy ending....sedih sekali kalo musti dipaksa secara tidak langsung pindah kewarganegaraan gara2 mau dihabisin sama dirjen pajak :-(
Diana Putri mengatakan…
Informasi mengenai subyek pajak dalam negri pada artikel ini dapat menambah informasi setiap pembacanya. Thanks sudah share.

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru