Risalah Temuan

Bagi fungsional pemeriksa pajak yang ditempatkan di Kanwil DJP, salah satu peraturan yang sudah lama ditunggu-tunggu adalah peraturan Dirjen Pajak tentang pemeriksaan Bukti Permulaan. Konon kabarnya, peraturan ini sudah disiapkan sejak perumusan Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007.

Konsep pertama, hasil pemeriksaan Bukti Permulaan cuma ada dua, yaitu penyidikan atau case closed. Ternyata, UU KUP 2007 "memperkenalkan" Pasal 13A. Karena itu, kemudian ditambahkan bahwa hasil pemeriksaan Bukti Permulaan bisa skp Pasal 13A. Selain itu, ada "titipan" dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan bahwa terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP supaya bisa dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan. Inilah satu-satunya alasan pemeriksaan bukti permulaan bisa mengeluarkan skp berdasarkan Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Maksud saya, produk pemeriksaan Bukti Permulaan dengan alasan ini sama dengan produk Pemeriksaan Pajak di KPP.

Maka ditetapkanlah hasil pemeriksaan Bukti Permulaan [Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007] :
Pasal 12
Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan tindakan Penyidikan atau tindakan lainnya.

Pasal 13
Tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat berupa:
1. penerbitan surat ketetapan pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan terhadap :

1) Wajib Pajak yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP atas kealpaan yang pertama kali diketahui oleh Direktur Jenderal Pajak.

2) Wajib Pajak badan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang KUP, tetapi tidak ditemukan bukti permulaan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

2. pembuatan laporan kepada pihak lain yang berwenang apabila ditemukan bukti permulaan yang mengandung adanya unsur tindak pidana selain di bidang perpajakan;

3. pembuatan laporan sumir apabila Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;

4. pembuatan laporan sumir apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditemukan, Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau

5. mengirimkan risalah mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan pembuatan laporan sumir sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam hal terdapat pajak yang terutang.
Dari Peraturan Menteri Keuangan No. 202/PMK.03/2007 [PMK] ini kemudian memunculkan sesuatu yang baru yaitu risalah temuan? Apa dan bagaimana risalah temuan, tidak dijelaskan di PMK. Karena masih belum jelas, maka dijadikan alasan bahwa PMK ini belum sepenuhnya berlaku dan pemeriksa Bukti Permulaan masih mengacu ke Keputusan Dirjen Pajak No. KEP - 272/PJ/2002.

Sejak 1 September 2009 kemarin peraturan yang ditunggu-tunggu itu sudah keluar yaitu Peraturan Dirjen Pajak No. 47/PJ./2009 tentang Petunjuk Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan Terhadap Wajib Pajak Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Dibidang Perpajakan. Bagaimana sih risalah temuan?

Menurut Pasal 15 ayat (8) Peraturan Dirjen Pajak No. 47/PJ./2009 bahwa risalah temuan merupakan keterangan lain sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007. Berikut kutipan lengkapnya Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007 :
Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk :

a. risalah mengenai data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang- Undang dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

b. risalah mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan pembuatan laporan sumir dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan;

c. risalah mengenai temuan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam hal penyidikan dihentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang;

d. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Risalah temuan yang dikirim oleh unit pelaksana pemeriksaan Bukti Permulaan kemudian harus melampirkan [sesuai lampiran 45 Peraturan Dirjen Pajak No. 47/PJ./2009] :
1. Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan
2. Daftar Temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
3. Perhitungan Pajak Terhutang;
4. Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan yang terkait;
5. Penjelasan Lainnya jika dipandang perlu.

Peraturan Dirjen Pajak No. 47/PJ./2009 tentu saja tidak "menghilangkan" Nota Penghitungan. Akan tetapi nota penghitungan yang dihasilkan dari pemeriksaan Bukti Permulaan untuk :
[1] Pasal 13A, atau
[2] Wajib Pajak yang di-buper karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP.

Kalau dilihat dari segi praktisnya, pemeriksa Bukti Permulaan masih bisa mengeluarkan surat ketetapan pajak [skp] karena tiga alasan :

[1] Terbukti ada tindak pidana berupa alpa tetapi "ditemukan" untuk pertama kali;
Hasilnya berupa skp Pasal 13A dengan sanksi administrasi berupa kenaikan 200% dari pajak terutang atau pajak kurang dibayar. Pemeriksa Bukti Permulaan akan mengirim Nota Penghitungan kepada KPP terkait.

[2] Pemeriksaan Bukti Permulaan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP.
Hasilnya berupa skp dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Untuk menerbitkan skp ini, pemeriksa Bukti Permulaan akan mengirim Nota Penghitungan kepada KPP terkait.

[3] Tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana dibidang perpajakan, namun terdapat pajak yang terutang.
Hasilnya berupa skp dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Tetapi untuk menerbitkan skp ini, pemeriksa Bukti Permulaan tidak membuat Nota Penghitungan melainkan mengirim risalah temuan.

Sebenarnya, yang kedua dan yang ketiga bagi Wajib Pajak, menurut saya, sama saja. Bagaimana menurut pembaca?

Komentar

Joojo mengatakan…
yah betul mas sama saja,,,,,,,,, hanya saja mekanismenya yang berbeda yakni dlam hal pperlu tidaknya nota penghitungan........
klo menurut saya penerbitan praturan ini terkait menurunnya pendpatan pajak daerah dikarenakan adanya berbagai kebijakan seperti penghasilan tidak kena pajak, seain iu juga faktor harga komoditas yang sempat turun.......ha ini dimaksudkan unyuk melancarkan langkah ekstensifikasi dan intensifikasi pajak bukan>???

salam hngat
joni
Anonim mengatakan…
mungkin saja PER-47 ini menjadi senjata ampuh bagi pemeriksaan bukti permulaan yang sudah lama dilakukan (sebelum ada PER ini)untuk bisa menutupnya dengan menerbitkan SKP (jika indikasi pidana tidak kuat tapi ada pajak yang terutang. Pasal peralihan PER ini menggantungkan pertanyaan besar apa yang ingin disampaikan pembuat aturan ini dengan istilah "tahapan" apakah jika pemeriksaan buper yg diawali dengan dasar hukum KEP 272 trus untuk menutupnya bisa digunakan PER 47 dengan menerbitkan SKP? jika untuk menutup buper yang dasar hukum sebelumnya digunakan adalah KEP 272, maka apakah penerbitan SKP tersebut fair bagi WP jika dasar hukum penerbitan SKP adalah PER 47 dan PER 5 ?

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru