PER-43/PJ/2010

Saya kira, ini adalah peraturan perpajakan yang paling ditunggu oleh pemeriksa pajak. Selama bertahun-tahun [bahkan mungkin puluhan tahun] DJP hanya bisa mengeluh. Pada masa Dirjen Pajak Hadi Poernomo, beredar kabar akan diperiksa 750 perusahaan modal asing [PMA] yang selama 5 tahun selalu rugi. Tapi hasilnya tidak terdengar. Ada juga kabar bahwa 70% PMA tidak bayar pajak karena menyatakan rugi. Kerugian tersebut diindikasikan melakukan transfer pricing. Iwan Piliang bahkan mengabarkan bahwa transaksi transfer pricing setiap tahun mencapai ribuan trilyun rupiah. Fantastis!

Kenapa DJP terkesan membiarkan transfer pricing? Salah satu alasannya karena belum adanya peraturan anti-transfer-pricing. Memang Pasal 18 ayat (3) UU PPh sudah memberikan kewenangan kepada DJP untuk menentukan kembali penghasilan kena pajak. Berikut bunyi Pasal 18 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1994 :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Prakteknya, peraturan diatas tidak bisa dijalankan. Para pemeriksa pajak yang melakukan pemeriksaan pajak sering kali merasa "tidak memiliki kewenangan" untuk melakukan koreksi transfer pricing karena tidak ada peraturan pelaksana tentang transfer pricing. Memang ada KEP-01/PJ.7/1993 dan SE-04/PJ.7/1993 tetapi kedua jarang dipakai. Dan tidak populer di kalangan pemeriksa pajak waktu itu. Mungkin karena sosialisasi tentang transfer pricing tidak ada.

Di amandemen 2008, UU No. 36 Tahun 2008, Pasal 18 ayat (3) mengalami perubahan dengan merinci metode-metode untuk menentukan harga transfer. Bunyi Pasal 18 ayat (3) UU PPh menjadi :
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode lainnya.


Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) tersebut kemudian dikeluarkan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Mudah-mudahan peraturan ini bisa dipakai oleh para pemeriksa pajak untuk melakukan koreksi transfer pricing. PER-43/PJ/2010 ini merinci lebih rinci, apa yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak, dan apa kewenangan DJP. Disamping itu, Diklat Transfer Pricing sekarang rutin diadakan setiap tahun sehingga semakin banyak petugas pajak yang melek masalah transfer pricing.

Aturan yang menarik perhatian saya justru ada di kewajiban Wajib Pajak untuk membuat dokumentasi transfer pricing, yaitu di Pasal 18 Perdirjen No. PER-43/PJ/2010 yang secara lengkap berbunyi :
(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.

(2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

(3) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup :
a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran Iingkungan usaha;

b. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;

c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha;

d. pembanding yang terpilih; dan

e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak.

(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih.


Menurut saya, aturan ini adalah aturan baru yang secara khusus menyebutkan kewajiban membuat dokumentasi dasar penentuan transfer pricing. Jika dokumentasi tersebut tidak dibuat, maka DJP berwenang menghitung ulang besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana disebutkan di Pasal 20 ayat (3), yang berbunyi :
Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.

Jika Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberikan penjelasan dan dokumentasi transfer pricing, maka pemeriksa pajak tentu akan melakukan koreksi atau menghitung ulang besarnya penghasilan atau pengurangan.

Untuk menghindari ketidakpastian di pihak Wajib Pajak, menurut saya, Wajib Pajak lebih baik melakukan APA (advance pricing agreement) dengan DJP. Dengan melakukan APA, tidak ada kekhawatiran lagi dilakukan koreksi fiskal oleh pemeriksa pajak dan tidak akan terjadi sengketa pajak karena harga-harga yang dipakai oleh Wajib Pajak sudah disepakati oleh DJP. Ketentuan tentang APA diatur di Pasal 18 ayat (3a) UU PPh dan Pasal 23 Perdirjen No. PER-43/PJ/2010. Hanya saja, prosedur APA sampai sekarang belum diatur. Mungkin nantinya akan dibuat dalam bentuk surat edaran(?).

Salaam

Komentar

Anonim mengatakan…
sudah H-2 masih aktif nih ..nulis artikel ..salut ya pak..:)
Anonim mengatakan…
mohon maaf ya mas ini sedikit pendapat kami :

bahwa sampai saat ini belum ada hasil riset yang menunjukkan berapa kerugian negara atas praktek transfer pricing seperti dilansir oleh Iwan Piliang sebesar Rp. 1.300 triliun.

apakah nilai itu benar? ini patut dipertanyakan dari segi keakuratan datanya.

mohon kiranya Bapak Raden Suparman dapat lebih cermat dalam mengutip pendapat seseorang yang belum tentu kebenarannya dan ini disampaikan dalam ruang yang dapat dibaca oleh publik.

jika terdapat perkataan kami yang kurang sopan, kami mohon maaf.

demikian. terima kasih.
Raden Agus Suparman mengatakan…
Benar, saya sendiri sebenarnya menyangsikan data 1300 trilyun rupiah tersebut. Saya tidak mengerti, bagaimana sumber Pak Iwan yang disebut Simarmata tersebut mendapat data. Tetapi Pak Iwan mengutip seorang pejabat yang kompeten. Siapa pejabat tersebut?

Mungkin karena si pejabat tidak mau diekspos, maka namanya disamarkan. Secara jurnalistik, seorang narasumber memang boleh dirahasiakan.
Anonim mengatakan…
mas coba dilihat disini, kenapa ada tulisan yang sama persis ya

http://pajak.soup.io/post/75490859/PER-43-PJ-2010
Anonim mengatakan…
Pak saya mau tanya,

ada tidak peraturan yang menyatakan bentuk transfer pricing report yang di submit ke kantor pajak harus disajikan dalam bahasa indonesia.

terima kasih
Anonim mengatakan…
Mas dikoreksi sedikit dalam paragraf akhir seharusnya Pasal 18 ayat (3a) UU PPh.


qmoenk
Raden Agus Suparman mengatakan…
terima kasih mas atas koreksinya

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru