Itjen Lebih Superior


Auditor dimanapun harus diletakkan lebih sederajat daripada auditee (pihak terperiksa). Setidaknya, ini pemahaman saya. Auditor harus diberikan kekuasaan untuk mengakses semua informasi dan meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang ada. Bahkan untuk internal auditor, harus lebih maju lagi, yaitu harus mencegah penyimpangan. Internal audit sering juga disebut kepatuhan internal. Karena berada di posisi intern, maka kepatuhan internal bisa “mendeteksi” potensi penyimpangan dan berusaha mencegahkan.

Inspektorat Jenderal (Itjen) adalah auditor internal bagi sebuah lembaga. Kementrian Keuangan sebagai lembaga penting di Republik ini memiliki Itjen. Auditee atau pihak terperiksa adalah unit-unit eselon satu di Kementrian Keuangan seperti DJP. Karena merupakan posisinya sebagai auditor, maka Itjen Kemenkeu bisa memeriksa setiap berkas yang ada di DJP.

Sebelum “rezim” Dirjen Pajak Hadi Poernomo, Itjen bisa memeriksa Kertas Kerta Pemeriksaan (KKP) dan Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP). Karena memiliki kewenangan untuk mangaudit KKP dan LHP termasuk SPT Wajib Pajak, maka dulu banyak pemeriksaan ulang berasal dari hasil pemeriksaan Itjen. Saya sendiri beberapa kali melakukan pemeriksaan ulang berdasarkan rekomendasi hasil pemeriksaan Itjen. Seharusnya, menurut UU KUP sekarang, pemeriksaan ulang hanya bisa dilakukan jika ada data baru.

Setelah Hadi Poernomo menjadi Dirjen Pajak, DJP lebih “aman” dari jangkauan Itjen Kemenkeu. Ada sebuah surat yang dipegang oleh temen-temen di lapangan bahwa Itjen termasuk “orang lain”. Hanya DJP yang bisa mengakses berkas Wajib Pajak termasuk KKP dan LHP. Dasarnya adalah rahasia jabatan sebagaimana dimaksud di Pasal 34 UU KUP. Sejak itu, Itjen seperti macan kehilangan gigi. Itjen Kemenkeu hanya memeriksa anggaran atau penggunaan APBN oleh DJP. Tidak lagi melakukan pemeriksaan berkas Wajib Pajak.

Terkait dengan majalah Tempo minggu ini,  posisi Itjen sebagai kepatuhan internal, bukan sebagai auditor yang melakukan pemeriksaan berkas KPC. Sebagai internal auditor, jika dipandang ada kekeliruan prosedur, maka Itjen tentu memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi. Domain internal auditor dalam hal ini sebatas prosedur-prosedur. Bukan kepada materi. Tetapi dalam kasus KPC, Wajib Pajak berusaha "meminjam" tangan Itjen untuk mempercepat proses. Materi dari hasil pemeriksaan sendiri saya yakin tidak dipengaruhi oleh Itjen Kemenkeu.

Dulu, sebelum reformasi DJP para Wajib Pajak bisa lebih longgar untuk mempengaruhi hasil pemeriksaan. Tetapi setelah reformasi DJP banyak hal berubah. Walaupun saya yakin tidak 100% berubah. Namanya juga manusia. Tetapi dalam kasus KPC, saya menduga pemeriksa termasuk yang tidak bisa dipengaruhi sehingga Wajib Pajak harus meminjam tangan Itjen Kemenkeu. Jika si pemeriksa pajak bisa dipengaruhi, kenapa harus berpanjang tangan meminta tangan Itjen Kemenkeu?

salaam hormat.

Komentar

Unknown mengatakan…
Sepertinya memang sekarang Itjen, Kitsda lebih powerfull daripada pihak atau bagian yang memberikan reward. Mereka sudah siap2 mencaplok siapapun he he he
Unknown mengatakan…
Yang sudah siap-siap mencaplok dan menghukum jauh lebih powerfull daripada yang siap-siap memberikan penghargaan
Raden Agus Suparman mengatakan…
Betul mas. Saya menduga masyarakat tidak sadar bahwa DJP juga tidak "sakti-sakti" amat karena ada yang lebih "superior" daripada DJP. Inilah maksud posting ini, mengingatkan he he he heh.

Kasus KPC merupakan salah satu kasus yang jelas pengaruh Itjen walaupun mungkin saja pada kasus ini Itjen tidak secara langsung mempengaruhi atau menentukan materi pemeriksaan. Tetapi pada ending-nya hasil pemeriksaan menguntungkan Wajib Pajak. Ini terkait juga dengan strategi Wajib Pajak :D
Joojo mengatakan…
"Hanya DJP yang bisa mengakses berkas Wajib Pajak termasuk KKP dan LHP. Dasarnya adalah rahasia jabatan sebagaimana dimaksud di Pasal 34 UU KUP"

waduh selain tunjangan jabatan ada juga ya rahasia jabatan??

ada dua hal yang menjadi erhatian saya,
1. hukum dan peraturan masih belum berpihak pada transparansi dan tidak menjamin kesejahtaraan rakyat, termasuk hukum dan peraturan internal yang menyangkut lembaga (ebagaimana dimaksud di Pasal 34 UU KUP)

2. masih ada saja manipulasi prosedural (Tetapi dalam kasus KPC, Wajib Pajak berusaha "meminjam" tangan Itjen untuk mempercepat proses.)

*maklum pak bro komentar orang awam sebagaimana isebutkan diatas "Saya menduga masyarakat tidak sadar bahwa DJP juga tidak "sakti-sakti" amat karena ada yang lebih "superior" daripada DJP" hehe klo ada salah kata mohon di perbaiki (tar kena uu ite lagi wkwk)
subtu mengatakan…
Dalam kasus tersebut, menurut saya Itjen bertindak tidak secara seimbang dan proporsional. Mungkin karena ada konflik kepentingan dengan Wajib Pajak sehingga seakan2 Itjen jadi "perpanjangan tangan" WP.
Saya tidak tahu apakah waktu Itjen melakukan tindak lanjut pengaduan KPC, sudah melakukan konfirmasi2 kepada pihak2 tarkait (fiskus dan WP).
Kalau konfirmasi ke fiskus sudah dilakukan (dan fiskus menjelaskan secara adil kepada tim Itjen tanpa ditemboli pasal 34), seharusnya Itjen bisa bertindak (merekomendasikan) sesuatu yang lebih adil dan seimbang.
Anonim mengatakan…
kasian juga ya para pegawai pajak ternyata...
Raden Agus Suparman mengatakan…
Pak Joni, silakan baca dulu bunyi Pasal 34 UU KUP. Komentar anda memperlihatkan ketidaktahuan maksud rahasia jabatan di perpajakan.
subtu mengatakan…
Apa pendapat Pak Parman mengenai pasal 34 bagi Itjen?
soalnya yang saya dengar dari media masa, selama ini Itjen tidak bisa berperan karena adanya tembok ini.
Raden Agus Suparman mengatakan…
Pasal 34 UU KUP hanya mengatur data WP. Artinya, terkait dengan kepatuhan internal lain, maka Itjen tentu bisa berperan. Contoh tentang prosedur yang dilanggar, kode etik, termasuk pengawasan atas penggunaan APBN oleh unit di DJP. Kalo Itjen atau lembaga pengawas "menghitung ulang" hasil pemeriksaan, kemudian ditemukan kesalahan hitung menurut VERSI Itjen, maka temuan tersebut "diadili" dimana?

Menurut saya, untuk sengketa pajak tetap harus di jalur pengadilan pajak. Hakim yang dapat melakukan koreksi skp. Bukan "sesama" auditor!
Anonim mengatakan…
ya, idealnya setiap fiskus yang salah hasil pemeriksaannya tidak perlu dikoreksi Itjen, karena fiskus berkuasa penuh terhadap wajib pajak, tapi cukup diterapkan sanksi kepegawaian, sedangkan Itjen hanyalah macan ompong!

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru