pemungut PPN
Dalam sistem perpajakan kita, dikenal dua istilah withholding taxes yaitu pemotongan dan pemungutan. Walaupun ada yang bilang bahwa pemungutan bukan withholding tax tetapi "khusus" di Indonesia tetap saya anggap withholding tax. Pemotongan dilakukan terhadap penghasilan yang sudah diterjadi atau saat subjek pajak menerima penghasilan, contohnya PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Sedangkan pemungutan dilakukan terhadap transaksi yang belum jadi penghasilan tetapi masih cost. Contoh pemungutan pajak adalah PPh Pasal 22 Impor dan PPN.
Bukankah PPN dipungut saat terjadi jual beli? Benar. Tetapi sistem PPN yang berlaku di Indonesia, setiap penjual mungut PPN pembeli. Jadi yang dipungut adalah PPN saat terjadi pembelian, cost. Dan PPN yang telah dipungut tersebut tidak peduli apakah atas barang yang dibeli tersebut dijual (artinya jadi penghasilan) atau "dibuang" (misalnya tidak laku-laku).
Secara umum, penjual memang ditetapkan sebagai pemungut PPN. Tetapi ada kondisi tertentu yang menjadikan pembeli justru yang mungut dari penjual (mestinya motong dong ya?). Kebalikan dari keumuman sistem pemungutan PPN. Pembeli yang memungut PPN biasa disebut "Pemungut". Akibatnya, rekanan / suplier Pemungut PPN selalu kelebihan PPN dan selalu meminta restitusi.
Contoh, PT A adalah rekanan bendahara Satker X. Saat beli barang di pasar, PT A telah dipungut PPN oleh penjual. Kemudian barang yang dibeli tersebut dijual ke bendahara Satker X (sebagai penyedia barang). Atas transaksi penjualan ke bendahara Satker X, PT A tidak memungut PPN tetapi justru dipungut oleh bendahara Satker X. Sehingga atas barang yang sama telah terjadi dua kali pemungutan PPN (dua kali dibayar oleh PT A), yaitu saat beli dan saat jual. Karena itu, laporan PT A pasti menyatakan lebih bayar PPN dan dapat meminta restitusi ke KPP terdaftar.
Sekarang, siapa saja Pemungut PPN? Sampai dengan Juli 2012 ini terdapat 3 Pemungut PPN, yaitu:
[a.] Bendahara Pemerintah
Penetapan bendaharawan pemerintah sebagai Pemungut PPN ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003.
Prakteknya, bendaharawan pemerintah di Satuan Kerja (Satker) tertentu akan langsung meminta membuat SSP dari rekanan atau penyedia barang dan jasa. SSP dibuat oleh penyedia barang dan jasa saat (bersamaan) dengan pembuatan faktur tagihan ke bendaharawan. Nanti atas PPN tersebut disetorkan oleh bendaharawan melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPPN).
Tetapi ada beberapa transaksi yang dikecualikan bendaharawan, yaitu:
[1.] pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
[2.] pembayaran untuk pembebasan tanah;
[3.] pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
[4.] pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT (PERSERO) PERTAMINA;
[5.] pembayaran atas rekening telepon;
[6.] pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; atau
[7.] pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
[b.] KKS Migas, dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa / Pemegang Ijin Usaha Panas Bumi
Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKS Migas) dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi sebagai Pemungut PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.03/2010. Sama seperti bendaharawan, KKS Migas juga melakukan pemungutan atas setiap transaksi pembelian atau pemakaian jasa. Pengecualian atas transaksi diatas juga berlaku bagi KKS Migas atau Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, kecuali pembebasan lahan. Artinya, kalau KKS Migas membeli lahan (tanah) dari pihak lain maka tetap dipungut PPN.
[c.] BUMN
Penjunjukkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai Pemungut PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2012.
Pengecualian atas pemungutan mirip dengan transaksi yang sudah disebutkan diatas. Hanya ada "variasi" di nilai minimal pembayaran. Secara lengkap saya kutip dari Pasal 5 (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.03/2012, yaitu PPN tidak dipungut oleh BUMN dalam hal:
[1.] pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
[2.] pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
[3.] pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
[4.] pembayaran atas rekening telepon;
[5.] pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
[6.] pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Faktur Pajak wajib dibuat oleh rekanan BUMN / KKS Migas / Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi pada saat:
[1.] penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
[2.] penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
[3.] penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
Bukankah PPN dipungut saat terjadi jual beli? Benar. Tetapi sistem PPN yang berlaku di Indonesia, setiap penjual mungut PPN pembeli. Jadi yang dipungut adalah PPN saat terjadi pembelian, cost. Dan PPN yang telah dipungut tersebut tidak peduli apakah atas barang yang dibeli tersebut dijual (artinya jadi penghasilan) atau "dibuang" (misalnya tidak laku-laku).
Secara umum, penjual memang ditetapkan sebagai pemungut PPN. Tetapi ada kondisi tertentu yang menjadikan pembeli justru yang mungut dari penjual (mestinya motong dong ya?). Kebalikan dari keumuman sistem pemungutan PPN. Pembeli yang memungut PPN biasa disebut "Pemungut". Akibatnya, rekanan / suplier Pemungut PPN selalu kelebihan PPN dan selalu meminta restitusi.
Contoh, PT A adalah rekanan bendahara Satker X. Saat beli barang di pasar, PT A telah dipungut PPN oleh penjual. Kemudian barang yang dibeli tersebut dijual ke bendahara Satker X (sebagai penyedia barang). Atas transaksi penjualan ke bendahara Satker X, PT A tidak memungut PPN tetapi justru dipungut oleh bendahara Satker X. Sehingga atas barang yang sama telah terjadi dua kali pemungutan PPN (dua kali dibayar oleh PT A), yaitu saat beli dan saat jual. Karena itu, laporan PT A pasti menyatakan lebih bayar PPN dan dapat meminta restitusi ke KPP terdaftar.
Sekarang, siapa saja Pemungut PPN? Sampai dengan Juli 2012 ini terdapat 3 Pemungut PPN, yaitu:
[a.] Bendahara Pemerintah
Penetapan bendaharawan pemerintah sebagai Pemungut PPN ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003.
Prakteknya, bendaharawan pemerintah di Satuan Kerja (Satker) tertentu akan langsung meminta membuat SSP dari rekanan atau penyedia barang dan jasa. SSP dibuat oleh penyedia barang dan jasa saat (bersamaan) dengan pembuatan faktur tagihan ke bendaharawan. Nanti atas PPN tersebut disetorkan oleh bendaharawan melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPPN).
Tetapi ada beberapa transaksi yang dikecualikan bendaharawan, yaitu:
[1.] pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
[2.] pembayaran untuk pembebasan tanah;
[3.] pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
[4.] pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT (PERSERO) PERTAMINA;
[5.] pembayaran atas rekening telepon;
[6.] pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; atau
[7.] pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
[b.] KKS Migas, dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa / Pemegang Ijin Usaha Panas Bumi
Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (KKS Migas) dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi sebagai Pemungut PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.03/2010. Sama seperti bendaharawan, KKS Migas juga melakukan pemungutan atas setiap transaksi pembelian atau pemakaian jasa. Pengecualian atas transaksi diatas juga berlaku bagi KKS Migas atau Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi, kecuali pembebasan lahan. Artinya, kalau KKS Migas membeli lahan (tanah) dari pihak lain maka tetap dipungut PPN.
[c.] BUMN
Penjunjukkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai Pemungut PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2012.
Pengecualian atas pemungutan mirip dengan transaksi yang sudah disebutkan diatas. Hanya ada "variasi" di nilai minimal pembayaran. Secara lengkap saya kutip dari Pasal 5 (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.03/2012, yaitu PPN tidak dipungut oleh BUMN dalam hal:
[1.] pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
[2.] pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
[3.] pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero);
[4.] pembayaran atas rekening telepon;
[5.] pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
[6.] pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Faktur Pajak wajib dibuat oleh rekanan BUMN / KKS Migas / Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi pada saat:
[1.] penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
[2.] penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
[3.] penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan.
Komentar
[1.] pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;'
Tanya nih Pak : berarti transaksi satu juta pas (1.000.000,-) tidak dikenai PPN kan???
[1.] pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;'
Tanya nih Pak: 'Yang dikenakan PPN mulai dari 1.000.000,- (satu juta atau mulai dari 1.000.001 pak?'
Koq bisa ya masing - masing oknum pemeriksa (BPKP atau BPK) punya pengertian yang berbeda2 atas batasan PPN ini.. kita kan jadi bingung..
ga perlu heran.
kita beli permen di Alfamart itu sudah kena PPN.
silakan perhatikan lagi.
maksud sya juga nanyanya dalam konteks aturan pemungutan sebagai pemungut pak.. bukan sebagai 'pembeli biasa'.. kebetulan saya betugas sebagai pembantu bendahara di instansi pemerintah.. kerjaan sya ya membuat dan menyetorkan SSP berdasarkan kwitansi yang dikeluarkan bendahara..
Jadi secara aturannya.. yang benar yang mana nih pak ? 1.000.000,- atau 1.000.001 baru dipungut PPN nya???
artinya, kewajiban pemungutan oleh bendahara baru terjadi jika kuitansi sekurang-kurangnya Rp.1.000.001,00
rekenan Pertamina diharuskan PKP harus posisi Pertamina sebagai pemungut.
pada saat beli, PKP dipungut oleh pemungut.
pada saat jual, PKP dipungut oleh pemungut.
dampaknya akan lebih bayar karena mekanisme PK-PM tidak jalan.
Kelebihan ini bisa dikompensasi atau direstitusi.
terserah PKP.
dibiarkan juga bisa.
Pemungut PPN tentu berbeda dengan Pemungut PPh 22.
Harus lihat transaksinya dulu apakah objek PPh Pasal 22 atau bukan.
bendahara pungut PPN 10% dari harga beli.
jika bendahara beli barang/jasa senilai 500 maka dia wajib pungut PPN sebesar 50.
karena itu, biasanya rekanan bendahara selalu lebih bayar karena dia dua kali mengkreditkan PPN, yaitu saat beli dan saat jual.
Saat beli dia bayar ke penjual, saat jual dia dipungut oleh bendahara
Kalau BUMN(pemungut PPN) menjual ke Bendaharawan(Pemungut PPN), siapa yg mungut ya?
Tks...
baik cabang maupun pusat bisa PKP.
jika cabang dan pusat masing-masing sudah PKP maka masing-masing tetap lapor.
K3S itu pada umumnya pusat.
tapi jika ada K3S yang cabang dan PKP maka tetap wajib lapor SPT PPN
kalau tidak direstitusi memang jadi dobel.
makanya semua rekanan pemerintah pasti minta restitusi.
silakan pelajari prosedur restitusi