Bayar Pajak Harus Di Mana?
Pada harian “Pikiran Rakyat” tanggal 2 Juli 2008, ada surat pembaca yang mengeluhkan pelayanan di KPP Pratama. Berikut bunyi lengkap suratnya :
Membaca surat tersebut, saya mengira bahwa Pak Subagyo akan membayar PBB di KPP Pratama Majalaya. Memang banyak orang yang beranggapan bahwa kantor pajak menerima pembayaran pajak. Terutama bagi Wajib Pajak yang jarang mengurus pajak. Mungkin kewajiban perpajakannya diurus oleh orang lain, pegawainya, atau bahkan konsultan. Padahal sudah sejak lama [saya sendiri tidak tahu sejak kapan] bahwa kantor pajak tidak menerima pembayaran pajak dari Wajib Pajak. Pembayaran pajak sejak dahulu di bank persepsi atau di Kantor Pos.
Pembayaran pajak sekarang sudah on-line antara Ditjen Pajak, Ditjen Perbendaharaan, dan kantor bank yang disebut MPN. Sebenarnya bukan hanya pembayaran pajak, tapi semua penerimaan negara yang akan masuk ke APBN seperti : Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP), Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP), Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan Pajak Pertambahan Nilai Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri (SSCP), Satu hal yang perlu dicatat bahwa setiap pembayaran pajak harus tercantum Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP)/Nomor Penerimaan Potongan (NPP).
Standar KPP Pratama mengharuskan adanya kantor kas bank di setiap KPP Pratama. Di kota Bandung, setahu saya, Ditjen Pajak telah bekerja sama dengan Bank BHP untuk membuka kantor kas. Sedangkan di Jakarta, ada Bank DKI. Fungsi kantor kas bank ini sebenarnya untuk memudahkan pembayaran pajak. Sehingga pelayanan satu atap bisa terwujud. Tidak kesana–kemari.
Tetapi, bisa jadi kantor kas bank tersebut tidak buka setiap hari. Atau Wajib Pajak datang pada siang hari, dan kantor kas bank sudah tutup. Pada kasus seperti ini tentu saja kantor kas bank sudah tidak menerima pembayaran pajak. Walaupun satu atap dengan KPP Pratama, tetapi kantor kas bank tersebut independen sehingga tidak bisa dipaksa untuk buka sampai jam lima sore waktu setempat.
Kemungkinan lain, ada sebagian Wajib Pajak yang biasa “mengurus” pembayaran PBB ke oknum atau calo di KP PBB. Ini penyakit lama. Sejak pembubaran KP PBB, memang keberadaan calo sudah diminimalisir [maunya sih bilang dihilangkan]. Sistem yang dibangun di KPP Pratama memang akan menyulitkan para calo.
Wajib Pajak yang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya bisa menghubungi AR. Setiap Wajib Pajak pasti memiliki AR. Jika Wajib Pajak mau mengurus PBB, maka dapat menanyakan AR tempat objek PBB tersebut berada. AR adalah petugas KPP Pratama yang bertugas menjadi mediator. Dan petugas AR berada di Seksi Waskon [pengawasan dan konsultasi]. Silakan menghubungi seksi Waskon!
Sebenarnya ada satu standar pelayanan KPP Pratama yang belum bisa diterapkan. Mungkin ke depan akan segera disempurnakan. Pelayanan yang dimaksud fasilitas help desk. Tempat Wajib Pajak bertanya. Mirip petugas customer service [CS] di kantor bank. Di bagian depan, kantor bank yang sudah modern selalu menyiapkan petugas teller dan CS. Jika KPP Pratama sudah menyediakan semacam CS, para Wajib Pajak yang datang ke kantor pajak pasti tidak akan bingung lagi.
Semoga.
Pelayanan KPP Pratama Majalaya yang Lamban?
PADA 08 Mei 2008, saya mengajukan untuk membayar PBB di KPP Pratama Majalaya yang belum pernah saya bayar untuk rumah di Perumnas Rancaekek Kencana Kab. Bandung. Saya diberi tanda pendaftaran pelayanan PBB yang akan selesai 08 Juni 2008. Tanggal 10 Juni 2008 saya datang ke KPP Pratama Majalaya, tetapi ternyata sesudah 1 (satu) bulan berkas punya saya belum juga selesai. Saya tanyakan kepada bagian yang mengurus hal ini, ternyata tidak bisa menjawab kapan selesainya berkas punya saya. Untuk itu saya bertanya kepada Ka. KPP Pratama Majalaya.
1. Adakah standar operasi pekerjaan di tempat yang Bapak/Ibu pimpin?
2. Kalau ada, pernahkah dicek apakah standar pelayanan tersebut telah dipatuhi?
3. Apakah sudah dicantumkan di tempat yang jelas mengenai lama pelayanan dan sanksi yang dikenakan jika tidak tercapai?
4. Memangnya susah ya kalau kita mau bayar?
Perlu diketahui bahwa untuk menuju ke sana, saya sudah meluangkan waktu dan biaya (sebagaimana yang datang dari pacet). Kalau hal ini terjadi di saat digembar-gemborkan bahwa kita harus hemat dan efisien, ternyata realisasinya tidak ada, maka akan terjadi biaya ekonomi yang tinggi. Kapan kita akan bangkit kalau pelayanan publik tidak memberi contoh?
Subagyo, Ir.
Jln. Cikutra Baru XI No. 54
Bandung 40124
Telf. 022-70780548
Membaca surat tersebut, saya mengira bahwa Pak Subagyo akan membayar PBB di KPP Pratama Majalaya. Memang banyak orang yang beranggapan bahwa kantor pajak menerima pembayaran pajak. Terutama bagi Wajib Pajak yang jarang mengurus pajak. Mungkin kewajiban perpajakannya diurus oleh orang lain, pegawainya, atau bahkan konsultan. Padahal sudah sejak lama [saya sendiri tidak tahu sejak kapan] bahwa kantor pajak tidak menerima pembayaran pajak dari Wajib Pajak. Pembayaran pajak sejak dahulu di bank persepsi atau di Kantor Pos.
Pembayaran pajak sekarang sudah on-line antara Ditjen Pajak, Ditjen Perbendaharaan, dan kantor bank yang disebut MPN. Sebenarnya bukan hanya pembayaran pajak, tapi semua penerimaan negara yang akan masuk ke APBN seperti : Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP), Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP), Surat Setoran Cukai atas Barang Kena Cukai dan Pajak Pertambahan Nilai Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri (SSCP), Satu hal yang perlu dicatat bahwa setiap pembayaran pajak harus tercantum Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank (NTB)/Nomor Transaksi Pos (NTP)/Nomor Penerimaan Potongan (NPP).
Standar KPP Pratama mengharuskan adanya kantor kas bank di setiap KPP Pratama. Di kota Bandung, setahu saya, Ditjen Pajak telah bekerja sama dengan Bank BHP untuk membuka kantor kas. Sedangkan di Jakarta, ada Bank DKI. Fungsi kantor kas bank ini sebenarnya untuk memudahkan pembayaran pajak. Sehingga pelayanan satu atap bisa terwujud. Tidak kesana–kemari.
Tetapi, bisa jadi kantor kas bank tersebut tidak buka setiap hari. Atau Wajib Pajak datang pada siang hari, dan kantor kas bank sudah tutup. Pada kasus seperti ini tentu saja kantor kas bank sudah tidak menerima pembayaran pajak. Walaupun satu atap dengan KPP Pratama, tetapi kantor kas bank tersebut independen sehingga tidak bisa dipaksa untuk buka sampai jam lima sore waktu setempat.
Kemungkinan lain, ada sebagian Wajib Pajak yang biasa “mengurus” pembayaran PBB ke oknum atau calo di KP PBB. Ini penyakit lama. Sejak pembubaran KP PBB, memang keberadaan calo sudah diminimalisir [maunya sih bilang dihilangkan]. Sistem yang dibangun di KPP Pratama memang akan menyulitkan para calo.
Wajib Pajak yang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya bisa menghubungi AR. Setiap Wajib Pajak pasti memiliki AR. Jika Wajib Pajak mau mengurus PBB, maka dapat menanyakan AR tempat objek PBB tersebut berada. AR adalah petugas KPP Pratama yang bertugas menjadi mediator. Dan petugas AR berada di Seksi Waskon [pengawasan dan konsultasi]. Silakan menghubungi seksi Waskon!
Sebenarnya ada satu standar pelayanan KPP Pratama yang belum bisa diterapkan. Mungkin ke depan akan segera disempurnakan. Pelayanan yang dimaksud fasilitas help desk. Tempat Wajib Pajak bertanya. Mirip petugas customer service [CS] di kantor bank. Di bagian depan, kantor bank yang sudah modern selalu menyiapkan petugas teller dan CS. Jika KPP Pratama sudah menyediakan semacam CS, para Wajib Pajak yang datang ke kantor pajak pasti tidak akan bingung lagi.
Semoga.
Komentar