Subjek pajak luar negeri
Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984
Pasal 2A ayat (3)dan ayat (4) UU PPh 1984 :
Penjelasan :
Catatan :
Mengapa harus ada “pemisahan” antara subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri? Karena ada perbedaan kewajiban! Saya ringkaskan perbedaan kewajiban subjek pajak dalam negeri vs subjek pajak luar negeri dari memori penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh 1984 sebagai berikut;
1. Subjek pajak dalam negeri : dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia [biasa disebut world wide income atau comprehensive liability to tax atau full tax liability]; dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum; dan wajib menyampaikan SPT Tahunan.
2. Subjek pajak luar negeri : dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia; dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan atau flat; dan TIDAK wajib menyampaikan SPT Tahunan.
Karena UU PPh 1984 menganut residence prinsiple, maka tempat tinggal dan “kehadiran fisik” menjadi persyaratan. Pada catatan tentang subjek pajak dalam negeri, saya menyebutkan bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki dokumen KTP maka yang bersangkutan merupakan subjek pajak dalam negeri. Tetapi ada kalanya dokumen formalitas tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya. Pada contoh yang saya berikan, bisa jadi orang yang memiliki rumah dan KTP di Jakarta tetapi tinggal di Singapura. Karena itu perlu pengujian lebih lanjut.
Saya kutip dua paragrap memori penjelasan Pasal 2 ayat (6) UU PPh 1984 tentang tempat tinggal :
Saya ulangi : penentuan tempat tinggal tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Praktek yang terjadi dilapangan sangat mungkin seseorang yang secara formal bertempat tinggal di Indonesia tetapi pada kenyataannya orang tersebut “berada” di luar negeri. Jadi, dimana tempat tinggalnya?
Jawaban saya kembali ke metode 183 hari. Jika seseorang berada di luar negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di luar negeri. Sebaliknya jika seseorang berada di dalam negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di dalam negeri. “Tempat” yang dimaksud bisa rumah milik, rumah sewa, apartemen, atau tempat tinggal lainnya.
Walaupun demikian, sebenarnya sudah ada semacam “konvensi” diantara administrator pajak di dunia bahwa jika terjadi dual residence [orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan] maka penyelesaiannya dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya. Kriteria dimaksud adalah
[1]. Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak dan keluarga tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence;
[2]. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada. Untuk mengukur pusat kepentingan seseorang, dapat dipakai ukuran jumlah harta atau jumlah penghasilan, mana yang lebih besar;
[3]. Kebiasaan berdiam (habitual abode). Pengujian ini berdasarkan “di negara mana” seseorang lebih banyak berada. Ini berbeda dengan metode 183 hari karena lebih banyak di sini bisa jadi kurang dari 183 hari. Contoh: 100 hari tentu lebih banyak daripada 95 hari;
[4]. Status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak;
[5]. Prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure atau MAP) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.
Nah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Luar Negeri silakan mengukur sendiri, kira-kira penduduk mana. Penduduk maksudnya penduduk untuk kepentingan perpajakan. Walaupun demikian, pengujian diatas adalah pengujian pada umumnya. Pengujian yang lebih pasti tentu harus mengacu ke tax treaty karena tidak semua tax treaty yang ditandatangani oleh Indonesia mengadopsi pengujian diatas. Di tax treaty masalah “penduduk” biasanya di tempatkan di Pasal 4 tentang Fiscal Residence. Nah cari deh di situh apakah kita masuk penduduk negara A atau penduduk negara B.
Kedudukan treaty lebih tinggi daripada undang-undang. Treaty adalah perjanjian antar negara dan yang dimaksud tax treaty biasanya perjanjian bilateral atau perjanjian antara dua negara. Karena tax treaty mengatur hal-hal yang lebih khusus, maka tax treaty “menganulir” [mengalahkan] ketentuang-ketentuan di undang-undang. Ketentuan khusus mengalahkan ketentuan umum.
Untuk dapat menggunakan tax treaty kita harus menggunakan surat keterangan domisili (SKD) atau Certificate of Residency. Seperti KTP di Indonesia, certificate of residency (COR) merupakan bukti “kependudukan” seseorang untuk kepentingan perpajakan. Karena itu, menurut saya, COR lebih kuat sebagai bukti.
Walaupun begitu, kemungkinan untuk penduduk ganda [dual residence] masih mungkin. Misal si A memiliki COR di Singapura tetapi KPP bilang si A wajib NPWP. Jika sudah begini, sebaiknya serahkan ke pejabat yang berwenang (Competent Authority) dan meminta dilakuan pengujian terakhir yaitu (mutual agreement procedure atau MAP)!
Contoh Surat Keterangan Domisili [diteken oleh pejabat yang berwenang] yang dikeluarkan oleh USA [diambil dari SE-68/PJ/2008]
Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal 2A ayat (3)dan ayat (4) UU PPh 1984 :
(3) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
(4) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
Penjelasan :
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat orang pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia dan berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Catatan :
Mengapa harus ada “pemisahan” antara subjek pajak dalam negeri dengan subjek pajak luar negeri? Karena ada perbedaan kewajiban! Saya ringkaskan perbedaan kewajiban subjek pajak dalam negeri vs subjek pajak luar negeri dari memori penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPh 1984 sebagai berikut;
1. Subjek pajak dalam negeri : dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia [biasa disebut world wide income atau comprehensive liability to tax atau full tax liability]; dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum; dan wajib menyampaikan SPT Tahunan.
2. Subjek pajak luar negeri : dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia; dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan atau flat; dan TIDAK wajib menyampaikan SPT Tahunan.
Karena UU PPh 1984 menganut residence prinsiple, maka tempat tinggal dan “kehadiran fisik” menjadi persyaratan. Pada catatan tentang subjek pajak dalam negeri, saya menyebutkan bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia dan memiliki dokumen KTP maka yang bersangkutan merupakan subjek pajak dalam negeri. Tetapi ada kalanya dokumen formalitas tidak merepresentasikan keadaan sebenarnya. Pada contoh yang saya berikan, bisa jadi orang yang memiliki rumah dan KTP di Jakarta tetapi tinggal di Singapura. Karena itu perlu pengujian lebih lanjut.
Saya kutip dua paragrap memori penjelasan Pasal 2 ayat (6) UU PPh 1984 tentang tempat tinggal :
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok, atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Saya ulangi : penentuan tempat tinggal tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Praktek yang terjadi dilapangan sangat mungkin seseorang yang secara formal bertempat tinggal di Indonesia tetapi pada kenyataannya orang tersebut “berada” di luar negeri. Jadi, dimana tempat tinggalnya?
Jawaban saya kembali ke metode 183 hari. Jika seseorang berada di luar negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di luar negeri. Sebaliknya jika seseorang berada di dalam negeri 183 hari atau lebih maka orang tersebut bertempat tinggal di dalam negeri. “Tempat” yang dimaksud bisa rumah milik, rumah sewa, apartemen, atau tempat tinggal lainnya.
Walaupun demikian, sebenarnya sudah ada semacam “konvensi” diantara administrator pajak di dunia bahwa jika terjadi dual residence [orang pribadi yang memiliki status penduduk rangkap untuk tujuan perpajakan] maka penyelesaiannya dilakukan berdasarka a tie breaker rule yang terdiri dari beberapa kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya. Kriteria dimaksud adalah
[1]. Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak dan keluarga tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence;
[2]. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada. Untuk mengukur pusat kepentingan seseorang, dapat dipakai ukuran jumlah harta atau jumlah penghasilan, mana yang lebih besar;
[3]. Kebiasaan berdiam (habitual abode). Pengujian ini berdasarkan “di negara mana” seseorang lebih banyak berada. Ini berbeda dengan metode 183 hari karena lebih banyak di sini bisa jadi kurang dari 183 hari. Contoh: 100 hari tentu lebih banyak daripada 95 hari;
[4]. Status kewarganegaraan (nationality) Wajib Pajak;
[5]. Prosedur kesepakatan (mutual agreement procedure atau MAP) yaitu prosedur kesepakatan antara kedua otoritas pajak dari masing-masing negara.
Nah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Luar Negeri silakan mengukur sendiri, kira-kira penduduk mana. Penduduk maksudnya penduduk untuk kepentingan perpajakan. Walaupun demikian, pengujian diatas adalah pengujian pada umumnya. Pengujian yang lebih pasti tentu harus mengacu ke tax treaty karena tidak semua tax treaty yang ditandatangani oleh Indonesia mengadopsi pengujian diatas. Di tax treaty masalah “penduduk” biasanya di tempatkan di Pasal 4 tentang Fiscal Residence. Nah cari deh di situh apakah kita masuk penduduk negara A atau penduduk negara B.
Kedudukan treaty lebih tinggi daripada undang-undang. Treaty adalah perjanjian antar negara dan yang dimaksud tax treaty biasanya perjanjian bilateral atau perjanjian antara dua negara. Karena tax treaty mengatur hal-hal yang lebih khusus, maka tax treaty “menganulir” [mengalahkan] ketentuang-ketentuan di undang-undang. Ketentuan khusus mengalahkan ketentuan umum.
Untuk dapat menggunakan tax treaty kita harus menggunakan surat keterangan domisili (SKD) atau Certificate of Residency. Seperti KTP di Indonesia, certificate of residency (COR) merupakan bukti “kependudukan” seseorang untuk kepentingan perpajakan. Karena itu, menurut saya, COR lebih kuat sebagai bukti.
Walaupun begitu, kemungkinan untuk penduduk ganda [dual residence] masih mungkin. Misal si A memiliki COR di Singapura tetapi KPP bilang si A wajib NPWP. Jika sudah begini, sebaiknya serahkan ke pejabat yang berwenang (Competent Authority) dan meminta dilakuan pengujian terakhir yaitu (mutual agreement procedure atau MAP)!
Contoh Surat Keterangan Domisili [diteken oleh pejabat yang berwenang] yang dikeluarkan oleh USA [diambil dari SE-68/PJ/2008]
Komentar
Anda bilang, COR lebih kuat sebagai bukti.
Apakah kenyataan seseorang berada di luar Indonesia > 183 hari saja tidak cukup (misalnya dari cap kedatangan dan keberangkatan di Paspor)?
Apakah jika kita tidak ada COR, bukti seperti Residence Visa, Driving License, Green Card dan semacamnya (dokumen "kependudukan" bukan dari Departemen Keuangan) bisa dipakai?
Kemarin saya menuliskan komentar bertanya tentang COR, tapi belum muncul, entah karena error atau memang perlu approval dari anda.
Saya ada pertanyaan lagi, ada pendapat tentang TKI sebagai berikut:
--- awal kutipan---
Jika Tn X tidak menyatakan diri sebagai "bukan"WN Indonesia dan tidak menyatakan "meninggalkan Indonesia untuk selamanya" atau "tidak mempunyai niat meninggalkan Indonesia selamanya" maka Tn. X adalah Warga Negara Indonesia berkedududukan sebagai Subyek Pajak DN.
Untuk itu Pemerintah Indonesia ber Hak mengenakan Pajak atas Penghasilan Tn. X di Indonesia (berdasarkan Prinsip Kebangsaan dan Ius sangguinis).
Setiap Penghasilan adalah Obyek Pajak dari manapun Sumber Pertolehannya (Tn X telah memenuhi ketentuan Subyek, Obyek dan Sebagai Wajib Pajak memperoleh Penghasilan sesuai ketentuan World wide Income Prinsip.)
--- akhir kutipan ---
Pertanyaannya, dimanakah prinsip kebangsaan dan Ius Sangguinis dinyatakan (UU, PP, KepMen, dsb)?
Artikel Subyek Pajak DN dan LN ini mengacu pada UU PPh no 7 tahun 1984.
Apakah ada perubahan substansi jika kita mengacu pada:
- UU PPh no 17 tahun 2000 (kaitannya dengan ikut sunpol atau tidak)
- UU PPh no 36 tahun 2008 (untuk ke depannya)
Terima kasih.
Apa harus dengan CoR? bagaimana dengan teman2 yg kerja di negara2 tanpa pajak, seperti UAE? mereka pasti tidak punya surat yg seperti CoR itu...tapi mereka pasti punya residence visa. Mohon pencerahannya.
Salam
Joko
Saya jadi tambah pusing membaca nya... maklum saya orang awam. Jadi inti nya bagaimana Mas? Seseorang yang mencari kerja d luar negeri harus bayar pajak atau tidak? (Asumsinya : kerja berarti tidak akan tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari)
Makasih Mas...
Berkaitan dengan CoR, dokumen CoR fungsinya sama dengan KTP. Jika KTP menunjukkan penduduk suatu Kelurahan atau Desa / Kecamatan di Indonesia, maka CoR menunjukkan "penduduk" suatu negara yang dikeluarkan oleh administrator pajak negara yang bersangkutan. CoR tidak harus sama dengan Passpor, misalnya, atau kewarganegaraan. CoR menunjukkan penduduk untuk kepentingan pajak.
Setiap dokumen kan menunjukkan fungsinya. Misal, SIM atau Driving License untuk mengemudi. Walaupun demikian dokumen selain CoR tetap akan "bermanfaat" untuk menunjukkan keberadaan kita.
UU PPh 1984 adalah nama resmi undang-undang tentang Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia.
Terus terang saya tidak bisa menjawab harus bayar atau tidak. Lebih baik saya jawab, "tidak terutang" karena tidak memenuhi syarat subjektif. Seandainya mau bayar, ya negara tidak akan menolak :-)
Langsung aja nih, saya bekerja di malaysia, nah ada sebagian teman saya diperusahaan besar mereka diminta bayar selisih. Sebetulnya menurut pribadi bapak kalau saya setahun pulang cuman 2 minggu aja di indonesia. Apakah saya ada "pajak terhutang" karena kebanyakan jawaban petugas pajak / konsultan pajak selama anda punya ktp indonesia dan pemegang passport indonesia harus bayar pajak indonesia. Apa jawaban terbaik dari saya untuk orang seperti itu ?
Terima Kasih
Saya dengar issue kalo untuk para pekerja indonesia di luar negeri tidak akan dapat memperpanjang passport jika tidak ada npwp. peraturan ini akan diterapkan segera.
menurut sepengetahuan bapak apakah benar berita itu ? karena menurut penjelasan bapak para pekerja ini tidak lulus syarat subjectivenya.
ataukah hanya diterapkan di pengurusan passport di indonesia.
Terima kasih mohon pencerahannya
nanya lagi nih... :)
"2. Subjek pajak luar negeri : dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia; dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan atau flat; dan TIDAK wajib menyampaikan SPT Tahunan."
Penjelasan lebih lanjutnya bagaimana?
Misalkan saja saya adalah SPLN, tetapi:
- punya tabungan dan deposito, dan mendapat bunga sebesar Rp 2.000.000,- per bulan. Bank kemudian memotong PPh atas bunga ini.
- ketika berkunjung ke Indonesia selama 1 bulan, saya menjadi artis sinetron dadakan dan mendapat pembayaran Rp 20.000.000,- atas jasa ini. Pihak produser sudah langsung memotong pajaknya, misalnya 15%.
Mengacu pada UU PPh tsb diatas, apakah saya:
- wajib punya NPWP dan membuat SPT Tahunan?
- melaporkan pendapatan bunga tabungan, deposito, dan upah saya sebagai artis, lalu melaporkan NIHIL (karena pajaknya sudah dipotong langsung oleh Bank dan si pemberi kerja)? atau tidak perlu lapor karena pajaknya sudah final?
-kalau si pemberi kerja (Produser Film) tidak memotong sendiri pajak penghasilan saya, apakah saya harus melaporkannya dalam SPT tahunan, sebesar Rp 20 juta dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak terlebih dahulu baru dikalikan dengan persentase pajaknya?
Terima kasih.
Karena berada di Indonesia kurang dari 183 hari maka bukan subjek pajak dalam negeri. Dengan asumsi [1] tidak memiliki keluarga di Indonesia, [2] walaupun memiliki keluarga tapi tidak memiliki penghasilan di Indonesia, dan [3] di Malaysia sebagai pekerja [dependent personal service].
Seorang subjek pajak luar negeri memiliki penghasilan dari pekerjaan ARTIS di Indonesia. Bagaimana perpajakannya?
Jika si Asing tsb tidak memiliki SKD atau CoR maka langsung dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20%. Tetapi jika si artis memiliki SKD atau CoR negara tertentu maka aturan harus mengacu ke tax treaty Indonesia dengan negara tsb.
Kewajiban subjek pajak luar negeri FINAL dengan dipotong PPh oleh pemberi penghasilan. Tidak ada kewajiban perpajakan bagi subjek pajak luar negeri untuk membuat SPT. Kewajiban perpajakan justru "dibebankan" kepada subjek pajak dalam negeri sebagai pemberi penghasilan.
Jadi untuk bunga tabungan dan deposito di Bank di Indonesia, si SPLN tidak perlu melaporkan lagi ya, kan sudah dipotong langsung oleh Bank.
Mohon koreksi jika salah.
Sekarang saya bekerja di Oman, sudah 2 thn, pulang ke Indonesia hanya sebulan saja, di Oman tax 0%, dan tidak ada tax treaty antar Oman-Indonesia. Kalau saya coba berpendapat ttg masalah "bertempat tinggal" (karena disinilah sumber kepelikan kami dalam menentukan masa depan kami dan keluarga terkait dengan penggolongan SPDN dan SPLN)...Meninjau apa yang tercantum di Passpor ttg "Keterangan Lapor dan Tinggal.*****..Telah Melaporkan diri pada KBRI di Riyadh dan Sementara Tinggal di Muscat, Oman."...logikanya..kami memenuhi syarat SPLN dong karena jelas tertera kata "Tinggal di Oman"..Menurut saya tax treaty dibuat untuk menghidarkan double tax saja (karena toh harus bayar juga), kalau tidak ada tax treaty artinya kami bagaimana? Logikanya mengikuti aturan UU Indonesia kan? Sedangkan menyimpulkan Buku Informasi Perpajakan (yang merupakan kitab juklak mereka dalam memberikan pelayanan dan informasi perpajakan yang seragam ke masyarakat) pada halaman 21 menyebutkan SPLN non-BUT hanya dikenakan pemotongan secara FInal atas penghasilan dari Indonesia SAJA...
Saya mohon saran dan pendapat..mohon maaf bila pemahaman dan penyampaian saya kurang mengena maklum belajar ttg pajak dadakan..
Viva Persib...
saya ada pertanyaan lagi, apabila saya Subjek Pajak Dalam Negeri sampai tahun 2007 dan sejak tahun 2008 kerja dan tinggal di LN, tapi saat ini saya belum ada NPWP, apakah saya perlu mendapatkan NPWP untuk melaporkan penghasilan saya sampai 2007 lwt SPT sedang sejak 2008 saya tidak perlu mengajukan SPT karena saya adalah SPLN. Apakah pemahaman saya benar ?
apakah ada KPP khusus untuk melaporkan SPT bagi Subyek Pajak Luar Negeri yang sudah ber-NPWP? Atau cukup ke KPP dimana NPWP diterbitkan?
Terimakasih.
Bagi pemilik NPWP, wajib membuat SPT Tahunan PPh OP walaupun yang dilaporkan penghasilan final atau bahkan penghasilan bukan objek.
Ketentuan yang berlaku adalah ketentuan UU atau ketentuan domestik.
SPLN non-BUT hanya dikenakan pemotongan secara FInal atas penghasilan dari Indonesia
Kalimat ini tidak ada yang kontradiktif dengan tax treaty dan memang SPLN dikenakan pajak hanya atas penghasilan dari Indonesia atau yang dikenal asas sumber.
Bagi yang berdomisili di Luar Negeri lebih dari 183 hari, maka tidak ada kewajiban memiliki NPWP. Kecuali jika di Indonesia masih memiliki keluarga atau usaha. Jika hanya menyimpan uang dalam bentuk deposito, maka bank juga nanti akan memotong bunganya langsung dan bersifat final baik punya NPWP maupun tidak. Ngomong-ngomong, saat buka aplikasi deposito memang boleh si deposan pakai alamat Luar Negeri? Soalnya kalau buka aplikasi tabungan dengan beda kota saja [KTP dan cabang bank beda kota] sering ditolak.
Quote:
"Jadi untuk bunga tabungan dan deposito di Bank di Indonesia, si SPLN tidak perlu melaporkan lagi ya, kan sudah dipotong langsung oleh Bank.
Bagi pemilik NPWP, wajib membuat SPT Tahunan PPh OP walaupun yang dilaporkan penghasilan final atau bahkan penghasilan bukan objek.
"
Jadi gimana nih Pak?
Untuk seorang SPLN yang saat ini belum mempunyai NPWP, tapi dia memiliki deposito di Indonesia (atau penghasilan lain yg terkena pajak final) apakah dia WAJIB membuat NPWP untuk melaporkan hasil bunga deposito tersebut?
Walaupun nantinya isinya NIHIL karena Bank sudah memotong langsung?
Bukankah Ditjen Pajak cukup memeriksa Banknya langsung?
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Alamat postingnya:
http://pajaktaxes.blogspot.com/2009/01/pekerja-indonesia-di-luar-negeri.html
Pekerjaan saya freelance. saya di Indonesia tapi kerja via internet (dalam hal ini luar negeri). Dalam menyampaikan SPT tahunanya, apa yang perlu saya lampirkan? soalnya uangnya langsung masuk ke tabungan saya dan kalau memakai bukti (misalnya invoice dan sebagainya) tidak ada. Mohon dibalas. terima kasih.
1, apakah saya perlu lapor gaji saya di brunei di spt tahunan? Akankah saya dikenakan pajak Indonesia atas gaji saya?
2. Kalau saya beli apartment untuk disewakan atau Tanah, akankah status saya diganti menjadi subjek dalam negeri dan gaji saya yang di luar negeri Akan dikenakan pajak Indonesia ? Terima kasih.
Indonesia memajaki penghasilan karyawan yang diperoleh di Indonesia. Beda antara karyawan dan pengusaha.
silakan mengajukan NPWP NE biar lebih tenang.
terutama jika di LN akan lama
Pak Raden saya ingin bertanya mengenai subjek pajak luar negeri. Sekarang saya berdomisili di Austria yang menerapkan World Wide Income. Saya berniat untuk membuka usaha dengan adik saya yang berdomisili di Indonesia. Jenis pajak apa saja yang menjadi kewajiban saya di Indonesia selain Pajak Penghasilan Badan Usaha? Apakah ada perbedaan jika saya menyalurkan dana ke perusahaan joint sebagai pribadi atau sebagai perusahaan (yang terdaftar di Austria)? Terima kasih sebelumnya
pajak NKRI tidak mengenal warga negara tapi kependudukan