Revisi Aturan Pemeriksaan 1



Menteri Keuangan telah merevisi tata cara pemeriksaan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 82/PMK.03/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan. Berikut catatan saya atas perubahan ini :


[1.] Jangka Waktu Pemeriksaan
Jangka waktu pemeriksaan baik pemeriksaan kantor maupun pemeriksaan lapangan tidak berubah. Tetapi "argo" awal pemeriksaan berubah dari sejak tanggal SP2 menjadi sejak tanggal Surat Pemberitahuan. Memang tidak signifikan karena prakteknya dua surat tersebut biasanya memiliki tanggal yang sama. Perubahan yang cukup signifikan di jangka waktu pemeriksaan adalah adanya alasan tertentu jika jangka waktu pemeriksaan diperpanjang. Kalau dulu, pemeriksa bisa seenaknya memperpanjang lamanya pemeriksaan sekarang harus ada alasan yang cukup kuat! Selain itu, sekarang pemeriksa harus memberitahukan secara tertulis tentang perpanjangan jangka waktu pemeriksaan kepada wajib pajak! Ini hal baru dalam tata cara pemeriksaan. Setelah diperpanjang, artinya setelah 6 bulan untuk pemeriksaan kantor atau 8 bulan untuk pemeriksaan lapangan, pemeriksa belum menyelesaikan juga, maka menurut Pasal 5A ayat (4) pemeriksa harus menerbitkan dan menyampaikan SPHP kepada wajib pajak dalam jangka waktu 7 hari. Ini juga aturan baru yang memaksa pemeriksa menyelesaikan pemeriksaan paling lama 8 bulan.

[2.] Kuesioner
Pemeriksa wajib menyampaikan kuesioner kepada wajib pajak. Dulu memang pernah ada kuesioner yang disampaikan kepada Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan. Tetapi kuesioner disampaikan pada akhir pemeriksaan dan tidak diwajibkan. Sekarang, pemeriksa pajak akan memberikan sekurang-kurangnya 3 dokumen kepada Wajib Pajak saat pertama kali datang, yaitu :
[a.] Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
[b.] Kuesioner
[c.] Salinan Surat Perintah Pemeriksaan

[3.] Berita Acara Hasil Pertemuan
Berita acara hasil pertemuan sebenarnya pernah diatur. Seingat saya, dulu adanya di surat edaran yang merupakan kebijakan pemeriksaan tahun tertentu. Sekarang diwajibkan dibuat oleh pemeriksa dan diatur dengan peraturan menteri keuangan. Lebih kuat dan lebih mengikat bagi pemeriksa dan Wajib Pajak. Pengalaman saya dulu, isi berita acara ini biasanya menerangkan langkah-langkah pada saat pemeriksa datang pertama kali. Isinya lebih formalitas seperti : menerangkan tujuan pemeriksaan, menerangkan hak dan kewajiban pemeriksa serta hak dan kewajiban Wajib Pajak. Format berita acara hasil pertemuan tidak diatur di PMK. Mungkin akan diatur lebih lanjut di peraturan dirjen pajak atau SE.

[4.] Tim Quality Assurance Pemeriksaan.
Pasca lebara 2010  menteri keuangan mengumumkan akan membentu unit quality assurance. Berita ini bersamaan dengan pengumuman akan dialihkannya pembuat aturan perpajakan ke BKF. Peraturan menteri keuangan ini salah satu perwujudan dari ide tersebut.  Tim Quality Assurance Pemeriksaan  akan berada di Kanwil DJP. Tugas Tim Quality Assurance :
[a.] membahas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
[b.] memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan
[c.] membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b, yang ditandatangani oleh Tim Quality Assurance Pemeriksaan dan Tim Pemeriksa, dan/atau dengan Wajib Pajak.

Melihat tugasnya, Tim Quality Assurance Pemeriksaan hanya menggantikan tugas Tim Pembahas. Sebelumnya, Tim Pembahas ada dua tingkat, yaitu di tingkat UP2 atau KPP kalau sekarang, dan kalau belum puas bisa minta lagi Tim Pembahas di tingkat Kanwil DJP. Sekarang Tim Quality Assurance Pemeriksaan hanya ada di tingkat Kanwil DJP. Tim Quality Assurance Pemeriksaan juga sekarang lebih kuat karena ditugaskan untuk memberikan keputusan atas perbedaan pendapat. Artinya, pemeriksa bisa "lepas tangan" atas perbedaan hasil pemeriksaan. Keputusan Tim Quality Assurance Pemeriksaan juga seperti keputusan banding karena memberikan putusan atas sengketa pajak. Hanya saja, keputusan Tim Quality Assurance Pemeriksaan terjadi sebelum skp dangkan Putusan Keberatan setelah skp.

Jika memperhatikan berita ide  pembentukan quality assurance, maka di Kanwil DJP akan ada unit khusus atau struktur organisasi yang bertugas sebagai Tim Quality Assurance Pemeriksaan. Ini tentu berbeda dengan Tim Pembahas yang bersifat ad hoc atau "panitia" saja. Orang-orangnya diambil dari unit lain. Mungkin nanti akan ada re-organisasi di DJP untuk membentuk Tim Quality Assurance Pemeriksaan. Menurut Pak Agus Marto W, pembentukan unit quality assurance supaya "bekerja lebih independen".

bersambung ....

Komentar

rahman.sur mengatakan…
"Tim Quality Assurance Pemeriksaan juga sekarang lebih kuat karena ditugaskan untuk memberikan keputusan atas perbedaan pendapat. Artinya, pemeriksa bisa "lepas tangan" atas perbedaan hasil pemeriksaan."

Ini maksudnya apa ya Pak? Risalah Tim Quality Assurance kan ditandatangani Tim Quality Assurance, Tim Pemeriksa dan/atau WP, selanjutnya berdasarkan risalah ini dibuat (dituangkan dalam) Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani Tim Pemeriksa dan WP, sebagai dasar nothit selanjutnya skp.

Dalam semua dokumen tersebut terdapat tanda tangan Tim Pemeriksa, jadi dimana unsur "lepas tangannya", kalau misalnya di dalam risalah tim quality assurance tidak ada tanda tangan Tim Pemeriksa "mungkin benar" tetapi inikan seolah - olah pemeriksa menyetujui putusan Tim QA tersebut dengan menandatanganinya dalam risalah Tim QA, mudah - mudahan ini bukan "jebakan" untuk pemeriksa, Mohon pencerahan Pak ?
Raden Agus Suparman mengatakan…
Di tingkat closing conference ada risalah pembahasan. Semua pihak, baik WP maupun pemeriksa tanda tangan dokumen tersebut sebagai bukti bahwa sudah ada pembahasan. Tetapi tidak berarti WP setuju dengan pendapat pemeriksa. Bahkan di kolom risalah pembahasan jelas posisi masing-masing, setuju atau tidak.

Hal yang sama juga di risalah QA. Tentu di risalah QA juga ada tanda tangan WP, Pemeriksa dan Tim QA. Semua yang tanda tangan disitu tidak berarti setuju atau pendapatnya satu. Tanda tangan disitu "hanya" menunjukkan posisi masing-masing dan telah ada pembahasan. Jadi sebatas menunjukkan bahwa "telah dibahas".

Keputusan QA adalah angka yang dipakai. Misal : koreksi HPP di SPHP adalah 250juta, disanggah oleh WP hanya 75juta. Risalah pembahasan hanya menunjukkan dua angka tsb karena masing-masing tetap pada pendiriannya. Maju ke pembahasan di Tim QA dan menurut QA bahwa koreksi yang bisa dipertahankan hanya 200juta. Nah, yang masuk ke nothit dan jadi skp adalah angka 200juta tersebut. Apakah Pemeriksa setuju atas keputusan QA???? Tidak peduli setuju atau tidak, pemeriksa wajib membuat nothit dengan koreksi 200juta! Sebagai bagian dari DJP, pemeriksa harus tunduk.

Ini sama dengan keputusan keberatan. Semua pada posisi masing-masing. SKPKB yang dikeluarkan oleh pemeriksa bisa dikurangi atau dibatalkan oleh penelaah keberatan. Apakah ini artinya pemeriksa salah? Tidak! Kalau salah harus dihukum dong. Begitu juga jika Keputusan Pengadilan Pajak memutuskan perkara yang sama dengan keputusan beda. Apakah penelaah keberatan dan pemeriksa salah? Kalau salah harus dihukum dong? Kalau setiap "koreksi" atas sengketa pajak divonis salah, saya yakin tidak ada yang mau jadi pemeriksa dan penelaah keberatan! Mengapa? Ini masalah pendapat, bukan perbuatan!

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru