Jasa Konstruksi vs Jasa Pemeliharaan Bangunan
Banyak yang bingung membedakan "jasa konstruksi" dengan "jasa pemeliharaan bangunan". Kedua harus dibedakan karena memang perlakuan perpajakan yang beda. Yang pertama, jasa konstruksi dikenakan tarif final. Dilihat dari sisi penerima jasa alias pemberi penghasilan maka dia pada saat membayar tagihan maka si pemberi penghasilan wajib potong PPh. Hanya saja, apakah si pemberi penghasilan memotong PPh Final atas jasa konstruksi atau PPh Pasal 23 atas jasa pemeliharaan bangunan?
Saya pernah mem-tweet lewat twitter, kalo dilihat dari sisi pemberi penghasilan atau pemotong sangat sederhana. Tanya saja ke penerima penghasilan, apakah dia di SPT PPh Tahunannya melaporkan PPh Final atau bukan. Jika si penerima penghasilan melaporkan PPh dengan tarif umum, bukan tarif final jasa konstruksi, maka si pemberi penghasilan tinggal memotong PPh Pasal 23. Begitu juga sebaliknya. Bisa terjadi ketidaksinkronan antara Bukti Potong dengan dengan SPT Tahunan jika si pemberi penghasilan tidak tanya dulu. Kalau tidak sinkron, bisa jadi Bukti Potong tersebut tidak bisa dikreditkan jika petugas KPP tegas pada bukti formal.
Jika pemberi penghasilan berpegang pada bukti formal, yaitu sertifikat sebagai pengusaha jasa konstruksi yang dikeluarkan oleh LPJK, maka hanya pemilik sertifikat saja yang dikenakan tarif final penghasilan jasa konstruksi. Kalau tidak punya sertifikat sebagai pengusaha jasa konstruksi maka dianggap sebagai jasa pemeliharaan bangunan.
Memang di PMK-244/2008 disebutkan bahwa jasa pemeliharan bangunan ".. selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya dibidang konstruksi dan mempunyai izin atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi". Artinya jika si penerima penghasilan memiliki sertifikat sebagai pengusaha konstruksi maka PMK-244/2008 tidak digunakan, dan wajib baginya menghitung PPh secara Final dan dipotong oleh pemberi penghasilan sebagai PPh Pasal 4 (2) Final. Untuk hal ini saya pikir sudah jelas.
Hanya saja di Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008 ada tarif untuk pengusaha jasa konstruksi yang tidak punya sertifikat. Lebih jelasnya saya kutip lagi postingan bulan Agustus 2008 :
"Tidak memiliki kulifikasi" berarti si pemberi jasa atau si pengusaha tidak memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh LPJK dan asosiasi-nya. Karena tidak memiliki sertifikat maka bukan jasa konstruksi dong? Terus bagaimana membedakan dengan jasa pemeliharaan bangunan sebagaimana diatur di PMK-244/2008?
Untuk membedakannya, saya mengacu ke definisi pekerjaan konstruksi yang diatur di Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008:
Saya sengaja menebalkan kata "untuk mewujudkan suatu bangunan". Bangunan tersebut benar-benar baru. Artinya pekerjaan tersebut bukan merenovasi, atau memperbaiki yang sudah ada tapi membuat bangunan yang baru. Inilah jasa konstruksi bagi pengusaha yang tidak memiliki kualifikasi dari LPJK. Sesuai dengan namanya, jasa "pemeliharaan" bangunan tentu bukan pekerjaan membuat bangunan baru. Tetapi hanya membercantik, seperti : mengecat ulang, memperbaiki yang retak atau sudah lapuk, menambah "casing" supaya terlihat lebih modern, merenovasi, atau bisa juga menambah yang sudah ada tetapi menyatu dengan bangunan lama. Inilah pekerjaa jasa pemeliharaan bangunan.
Saya pernah mem-tweet lewat twitter, kalo dilihat dari sisi pemberi penghasilan atau pemotong sangat sederhana. Tanya saja ke penerima penghasilan, apakah dia di SPT PPh Tahunannya melaporkan PPh Final atau bukan. Jika si penerima penghasilan melaporkan PPh dengan tarif umum, bukan tarif final jasa konstruksi, maka si pemberi penghasilan tinggal memotong PPh Pasal 23. Begitu juga sebaliknya. Bisa terjadi ketidaksinkronan antara Bukti Potong dengan dengan SPT Tahunan jika si pemberi penghasilan tidak tanya dulu. Kalau tidak sinkron, bisa jadi Bukti Potong tersebut tidak bisa dikreditkan jika petugas KPP tegas pada bukti formal.
Jika pemberi penghasilan berpegang pada bukti formal, yaitu sertifikat sebagai pengusaha jasa konstruksi yang dikeluarkan oleh LPJK, maka hanya pemilik sertifikat saja yang dikenakan tarif final penghasilan jasa konstruksi. Kalau tidak punya sertifikat sebagai pengusaha jasa konstruksi maka dianggap sebagai jasa pemeliharaan bangunan.
Memang di PMK-244/2008 disebutkan bahwa jasa pemeliharan bangunan ".. selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya dibidang konstruksi dan mempunyai izin atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi". Artinya jika si penerima penghasilan memiliki sertifikat sebagai pengusaha konstruksi maka PMK-244/2008 tidak digunakan, dan wajib baginya menghitung PPh secara Final dan dipotong oleh pemberi penghasilan sebagai PPh Pasal 4 (2) Final. Untuk hal ini saya pikir sudah jelas.
Hanya saja di Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008 ada tarif untuk pengusaha jasa konstruksi yang tidak punya sertifikat. Lebih jelasnya saya kutip lagi postingan bulan Agustus 2008 :
Tarif PPh Final usaha jasa kontruksi sejak Januari 2008 sebagai berikut :
[a.] 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
[b.] 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
[c.] 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
[d.] 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiiiki kualifikasi usaha; dan
[e.] 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
"Tidak memiliki kulifikasi" berarti si pemberi jasa atau si pengusaha tidak memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh LPJK dan asosiasi-nya. Karena tidak memiliki sertifikat maka bukan jasa konstruksi dong? Terus bagaimana membedakan dengan jasa pemeliharaan bangunan sebagaimana diatur di PMK-244/2008?
Untuk membedakannya, saya mengacu ke definisi pekerjaan konstruksi yang diatur di Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008:
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Saya sengaja menebalkan kata "untuk mewujudkan suatu bangunan". Bangunan tersebut benar-benar baru. Artinya pekerjaan tersebut bukan merenovasi, atau memperbaiki yang sudah ada tapi membuat bangunan yang baru. Inilah jasa konstruksi bagi pengusaha yang tidak memiliki kualifikasi dari LPJK. Sesuai dengan namanya, jasa "pemeliharaan" bangunan tentu bukan pekerjaan membuat bangunan baru. Tetapi hanya membercantik, seperti : mengecat ulang, memperbaiki yang retak atau sudah lapuk, menambah "casing" supaya terlihat lebih modern, merenovasi, atau bisa juga menambah yang sudah ada tetapi menyatu dengan bangunan lama. Inilah pekerjaa jasa pemeliharaan bangunan.
Komentar
tks
http://pajaktaxes.blogspot.com/2008/09/penerapan-tarif-pph-jasa-konstruksi.html
Sertifikat adalah bukti kualifikasi yang terdiri dari : besar, sedang, dan kecil. Jika sudah punya sertifikat maka otomatis Wajib Pajak memiliki kualifikasi. Sebaliknya, tidak memiliki kualifikasi artinya tidak memiliki sertifikat.
mungkin pertanyaan saya sama kyk yg di atas, gimana perlakuan perpajakan untuk kegiatan pemeliharaan bangunan tapi pelaksaan ato pelaksana proyeknya badan yg sudah punya kualifikasi usaha konstruksi...
masuk ke final ato PPh 23 ?
terima kasih.
silakan dilihat dari sisi penerima penghasilan atau pemberi jasa BUKAN dari pihak pemotong karena toh pada akhirnya penerima penghasilan wajib melaporkan penghasilannya di SPT Tahunan.
perusahaan tempat saya bekerja melakukan renovasi bangunan secara borongan (jasa konstruksi serta bahan materialnya).
atas hal tersebut, saya ingin menanyakan kewajiban perpajakan perusahaan saya. apakah peristiwa ekonomi tersebut dikenakan pph pasal 4 ayat 2 jasa pelaksanaan konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi usaha ? apakah peristiwa ekonomi tersebut terutang ppn pasal 16c ?
mohon penjelasannya..
wah kayaknya pa nasrul belum paham dasar2 pajak.
Pasal 16C UU PPN itu mengatur PPN atas kegiatan membangun sendiri. Artinya ini dikenakan bagi Wajib Pajak yang membangun sendiri. Bukan diborongkan ke perusahaan PKP. Membangun sendiri artinya pemilik bangunan membeli material sendiri di toko bangunan dan bayar langsung upah tukang ke pegawai. Dengan demikian, atas bangunan tersebut belum dikenakan PPN. Maka pemilik bangunan wajib bayar sendiri PPN-nya.
Perusahaan konstruksi itu dibagi 3 bagian: perencanaan, pengawasan, dan pelaksana. Pemilik bangunan tidak pernal tahu harga material, tidak tahu berapa rupiah kabel, berapa rupiah semen, berapa rupiah batu bata. Pokoknya, untuk bangun bangunan yang sesuai gambar yang dibuat arsitek perencana berapa? Nah, itulah jasa pelaksana konstruksi. Beda kan dengan tukang? atau membangun sendiri?
Nah, PPh Pasal 4 (2) adalah perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima. Atas jasa konstruksi tersebut dihitung secara flat dan final. Tidak perlu mencari berapa penghasilan bersih. Tidak perlu menyimpen dokumen biaya. Dari harga yang tertera di kontrak tinggal dikalikan dengan tarif yang ada, itulah PPh terutang!!!
Ada pihak pemberi penghasilan, ada pihak penerima penghasilan. Nah perlakuan FINAL atau tidak dilihat dari penerima penghasilan. Sedangkan pemberi penghasilan harus memotong sesuai kewajiban penerima. Jika penerima bukan final maka menggunakan Pasal 23. Tetapi jika penerima penghasilan final maka disebut Pasal 4 (2). Sama-sama motong tetapi beda tarif.
perusahaan saya bukan bergerak dari bidang usaha konstruksi, perusahaan saya di bidang manufaktur .
maaf pak, saya msh bingung
kl pasal 16c itu kan dikenakan atas kegiatan membangun sendiri untuk wp op maupun badan yang luas bangunannya diatas 200m. kl luas bangunan yang saya renovasi dibawah 200m, apakah perusahaan saya juga memiliki kewajiban ppn pasal 16c ?
mohon penjelasan dan koreksinya
mohon dikoreksi jika saya salah memposisikan (pemilik atau tukang).
kebetulan saya staff perpajakan
saya kurang sependapat dengan uraian anda mengenai PMK-244/PMK.03/2008 dan pendapat anda "pendapat saya, semua wajib pajak yang memiliki sertifikat jasa konstruksi harus dipotong sebagai jasa konstruksi berdasarkan Pasal 4 (2) bukan Pasal 23."
PMK 244 tidak mendifinisikan jasa konstruksi, hanya menjelaskan mengenai jasa lainya. ingat di PPh pasal 23 ayat 1 c angka 2 disebutkan ada jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain.
sehingga PPh yg final hanyalah jasa konstruksi yang spt dimaksudkan dlm definisi PP 51 "untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lainnya" jadi kalau jasa selain definisi tersebut dikenakan PPh pasal 23 meskipun WP bersertifikasi konstruksi
PPN membangun sendiri, setuju mewujudkan bangunan sebagai satu kesatuan yang tidak untuk dikomersialkan jadi hanya dipergunakan untuk menambah nilai tambah produktifitas kita sendiri.
PPN membangung sendiri memang diperlukan untuk kesetaraan krn beli bangunan juga hrs menambah PPN.,sedangkan mekanismenya sudah jelas diatur dalam PMK39/03/2010 dan turunannya.,
demikian tambahan dikit dari saya
jasa konstruksi bukan objek PPh Pasal 23
permasalahannya, pekerjaan sama bisa dianggap jasa konstruksi atau jasa pemeliharaan yang masuk di PMK-244
sampai dengan komentar ini ditulis, saya belum menemukan penjelasan resmi apa pembeda antara jasa konstruksi dan jasa pemeliharaan? Prakteknya, pekerjaan jasa pemeliharaan bisa dikerjakan oleh pengusaha konstruksi.
tidak terpengaruh dengan PP 46/2013
idealnya dipotong oleh pengguna jasa sebesar tarif yang berlaku.
karena flat, pasti PPh terutang akan sama saat buat SPT Tahunan.
Tetapi jika pemotong kurang motong, maka atas kekurangannya bayar sendiri.
mengenai tarifnya silakan cek PP 51/2008 atau tarif diatas.