PM atas Kebun Kelapa Sawit
CPO merupakan komoditas unggulan ekspor nasional dan penghasil devisa terbesar di luar migas. Sebagai gambaran, ekspor CPO dari Indonesia untuk tahun 2011 sekitar 180 trilyun rupiah. Menurut Kementrian Pertanian, pertumbuhan permintaan CPO dunia selama lima tahun sekitar 9,92%. Artinya, tahun depan, bisa jadi ekspor CPO dari Indonesia mencapai 200 trilyun rupiah. Dan akan terus tumbuh sebagai komoditas unggulan nasional.
Tidak heran jika ada perhatian lebih besar pemerintah. Termasuk dari DJP sebagai regulator dan administrator perpajakan. Salah satu perhatiannya adalah Surat Edaran No. SE-90/PJ/2011 yang secara khusus menafsirkan pengkreditkan pajak masukan perusahaan kelapa sawit. Tentu saja surat edaran ini hanya berlaku untuk perusahaan kelapa sawit.
Sebenarnya yang paling berkepentingan dengan keseragaman penafsiran adalah Wajib Pajak. Karena peraturan yang ada tidak jelas, sangat mungkin setiap pemeriksa yang akan menghitung pajak terutang menafsirkan berbeda. Padahal kondisinya sama. Salah satunya pendapat tentang pajak masukan untuk kebun kelapa sawit yang terintegrasi dengan pabrik (CPO). Ada yang bilang boleh dan sebagian lagi tidak boleh.
Pendapat pertama: pajak masukan atas kebun kelapa sawit BOLEH dikreditkan. Saya termasuk yang berpendapat bahwa atas pajak masukan atas kebun kelapat sawit boleh dikreditkan asal kebun dan pabrik terintegrasi. Pengertian terintegrasi mengacu kepada "ban berjalan" di pabrik, yaitu produk satu bagian akan menjadi bahan baku produk lain. Produk kebun kelapa sawit akan menjadi bahan baku pabrik kelapa sawit.
Contoh yang dulu sering diajarkan para widyaiswara adalah industri tekstil. Bisa jadi satu pabrik hanya menghasilkan benang. Pabrik lain menghasilkan kain gray setengah jadi. Pabrik lain menghasilan kain baik dengan pesanan maupun tidak. Pabrik lain justru memotong-motong kain untuk dijadikan pakaian jadi. Jika pabrik tersebut dimiliki oleh Wajib Pajak terpisah maka "perpindahan" produk dari pabrik ke pabrik merupakan penyerahan atau penjualan. Tetapi jika mulai pabrik benang sampai pabrik pakaian jadi milik satu Wajib Pajak, maka "perpindahan" produk dari pabrik ke pabrik lainnya bukan penyerahan.
Pengertian yang sama kemudian "diterapkan" untuk memahami Peraturan Menteri Keuangan No. 78/PMK.03/2010 bahwa perpindahan TBS ke pabrik bukan penyerahan kecuali jika pemilik TBS berbeda dengan pemilik pabrik. Tentu saja karena berbeda Wajib Pajak, apapun yang diserahkan menjadi penjualan. Sehingga untuk yang terintegrasi, maka penyerahannya adalah CPO. Dan CPO adalah BKP yang atas penyerahannya terutang PPN.
Kenapa harus dari kacamata penyerahan? Surat Edaran No. SE-95/PJ/2010 tentang BKP strategis yang diekspor, memberikan penegasan bahwa yang dibebaskan itu penyerahan. Bukan produk BKP-nya. Produk BKP strategis memang diatur di Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 2001 dan perubahannya. Berikut saya kutip bunyi angka 3 di SE-93/PJ/2010:
Fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai terutang tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf f dan angka 2, terbatas untuk penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu atau Jasa Kena Pajak Tertentu, impor Barang Kena Pajak Tertentu, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Tertentu dan Jasa Kena Pajak Tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dan tidak mencakup ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau ekspor Jasa Kena Pajak
Saya berpendapat, jika "berkacamata" SE-95/PJ/2010 maka kita bicara penyerahan. Membaca pasal 2 dan pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2007 juga cukup jelas "atas impor" dan atas "penyerahan". Jadi impor dan penyerahan merupakan syarat pembebasan. Bukan barangnya.
Pendapat kedua, pajak masukan atas kebun kelapa sawit TIDAK BOLEH dikreditkan. Inilah pendapat resmi DJP yang dituangkan dalam Surat Edaran No. SE-90/PJ/2011! Dasar pemikirannya adalah equal treatment yaitu perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama. Pajak masukan atas kebun kelapa sawit yang dimiliki para petani tidak boleh dikreditkan. Kenapa? Karena penyerahan TBS dibebaskan. Perlakuan yang sama harus diterapkan kepada kebun kelapa sawit milik Wajib Pajak yang memiliki pabrik. Petani orang pribadi dan perseroan terbatas yang sama-sama memiliki kebun kelapa sawit harus mendapat perlakuan yang sama. Perusahaan yang memiliki kebun dan pabrik pengolahan CPO dengan perusahaan yang hanya memiliki kebun harus mendapat perlakuan yang sama.
SE-90/PJ/2011 tidak bicara penyerahan! Apapun pajak masukannya, jika pajak masukan tersebut diperuntukkan BKP strategis yang dibebaskan, maka tidak boleh dikreditkan. Tidak relevan apakah ada penyerahan atau tidak. Dengan demikian pajak masukan dari pupuk, peralatan perkebunan, dan semua pajak masukan yang digunakan oleh kebun kelapa sawit tidak boleh dikreditkan.
Sampai dengan tulisan ini selesai dibuat, saya masih berpendapat bahwa cara pandang SE-95/PJ/2010 dan SE-90/PJ/2011 berbeda dan bertolak belakang. Semoga kedepan saya akan mendapat pencerahan lagi :-)
Komentar
istilah "titip olah" harus dijelaskan, apakah benar-benar titip olah atau formalitas.
jika benar2 titip olah berarti pemilik pabrik menerim fee saja sedangkan hasil olahan dijual kepada pihak lain.
1.bagaimana pengakuan pendapatan untuk perusahaan perkebunan? diakui sebatas fee untuk perusahaan atau diakui seluruhnya (perjanjian dibuat antara perusahaan dengan koperasi sebagai perwakilan masyarakat)
2.apakah perjanjian dengan koperasi sebagai wakil masyarakat yang dibuat dikenakan pph? jika dikenakan berhak kah perusahaan mendapatkan bukti botong pph tersebut
3.adakah peraturan-peraturan yang mengacu detil tentang akuntansi perkebunan rakyat?
4.bisakah Pedoman Akuntansi BUMN Perkebunan Berbasis IFRS menjadi dasar tertulis kebijakan akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan perkebunan swasta
SAYA MOHON JAWABANNYA, TERIMA KASIH
1.bagaimana pengakuan pendapatan untuk perusahaan perkebunan? diakui sebatas fee untuk perusahaan atau diakui seluruhnya (perjanjian dibuat antara perusahaan dengan koperasi sebagai perwakilan masyarakat)
2.apakah perjanjian dengan koperasi sebagai wakil masyarakat yang dibuat dikenakan pph? jika dikenakan berhak kah perusahaan mendapatkan bukti botong pph tersebut
3.adakah peraturan-peraturan yang mengacu detil tentang akuntansi perkebunan rakyat?
4.bisakah Pedoman Akuntansi BUMN Perkebunan Berbasis IFRS menjadi dasar tertulis kebijakan akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan perkebunan swasta
SAYA MOHON JAWABANNYA, TERIMA KASIH
1.bagaimana pengakuan pendapatan untuk perusahaan perkebunan? diakui sebatas fee untuk perusahaan atau diakui seluruhnya (perjanjian dibuat antara perusahaan dengan koperasi sebagai perwakilan masyarakat)
2.apakah perjanjian dengan koperasi sebagai wakil masyarakat yang dibuat dikenakan pph? jika dikenakan berhak kah perusahaan mendapatkan bukti botong pph tersebut
3.adakah peraturan-peraturan yang mengacu detil tentang akuntansi perkebunan rakyat yang terbaru?
4.bisakah Pedoman Akuntansi BUMN Perkebunan Berbasis IFRS menjadi dasar tertulis kebijakan akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan perkebunan swasta?
SAYA MOHON JAWABANNYA, TERIMA KASIH
Prinsip di pajak adalah sesuai substansinya atau makna ekonomisnya, atau hakekatnya. Jika hanya fee yang diterima maka fee merupakan penghasilan dan atas penghasilan tersebut harus dilaporkan di SPT PPh.
Saya menduga koperasi hanya menerima fee saja. Sebenarnya pabrik membayar ke petani. Jika benar, maka koperasi sebagai broker / perantara / calo saja.
Untuk akuntansi, lebih baik tanyakan langsung ke IAI. Pajak cenderung ketinggalan masalah issu akuntansi.