pembetulan

Saat ini, sebagian besar pemeriksaan pajak adalah pemeriksaan lapangan dengan objek pemeriksaan all taxes. Salah satu kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah memotong PPh orang lain atau sering disebut withholding taxes. Apesnya, seringkali Wajib Pajak tidak tahu kewajibannya sehingga Wajib Pajak tidak memotong. Karena tetap kewajiban pemberi penghasilan, maka pemeriksa pajak tetap membebankan pemotongan tersebut sehingga menjadi beban Wajib Pajak yang diperiksa. Padahal bisa jadi penerima penghasilan sudah melaporkan penghasilannya dan membayar PPh sesuai kewajiban perpajakan. Jadinya, penetapan tersebut terkesan pajak ganda! Satu sisi pemberi penghasilan bayar PPh. Sisi lain penerima penghasilan juga sama-sama bayar PPh. Solusinya gimana?

Sebenarnya ada surat edaran lama yang memberikan solusi. Hanya saja agar tidak ada yang dirugikan maka antara Wajib Pajak pemberi penghasilan (pihak yang diperiksa) dengan penerima penghasilan ada saling pengertian. Artinya, di satu sisi dikenakan ketetapan dan membayar, dan disisi lain memperhitungkan. Caranya bagaimana?

Anggap saja PT A diperiksa. Kemudian timbul surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) sebesar Rp.200juta (tidak termasuk sanksi). SKPKB tsb timbul karena bertransaksi dengan PT B. Artinya, PT A memberikan penghasilan kepada PT B. Atau PT A pengguna jasa PT B. Saya sebutkan saja SKPKB PPh Pasal 23 royalti. Karena PT A tidak memotong PPh atas penghasilan yang diberikan kepada PT B maka saat dilakukan pemeriksaan si pemeriksa wajib menetapkan SKPKB PPh Pasal 23.

Anggap saja PT B sudah melaporkan penghasilan royalti dari PT A. Sudah bayar PPh Badannya. Masa saat diterbitkan SKPKB PPh Pasal 23 atas royalti di PT A sebenarnya terjadi dua kali pembayaran pajak. Pertama dibayar oleh PT B sebelum lapor SPT Tahunan PPh Badan dan kedua dibayar oleh PT A dalam  bentuk  SKPKB PPh Pasal 23.

Contoh kejadian seperti ini, apakah atas pembayaran PPh Pasal 23 royalti tersebut bisa dimanfaatkan oleh PT B? Menurut Surat Edaran No. SE - 10/PJ.313/1992 ada dua cara memanfaatkan pembayaran PPh tersebut.

Cara pertama:
Jika PT B untuk tahun pajak yang sama belum diperiksa, maka atas transaksi dengan PT B dapat segera dibuatkan bukti potong oleh PT A dan dikreditkan PT B. Cara mengkreditkan bukti potong PPh Pasal 23 menurut surat edaran tadi dengan melakukan SPT Pembetulan. Diasumsikan yang dirubah hanya bukti potong, maka atas pembetulan SPT oleh PT B akan menyebabkan SPT Tahunan menjadi lebih bayar. Seharusnya nominal lebih bayar persis sebesar bukti potong yang dibuat oleh PT A tadi. Dengan menjadi lebih bayar, maka artinya sama saja dengan "meminta diperiksa". Ini konsekuensi pembetulan SPT.

Cara kedua:
Jika PT B sudah diperiksa dan sudah diterbitkan skp atas PPh Badannya, maka bukti potong yang dibuat oleh PT A masih tetap dapat dikreditkan oleh PT B. Cara mengkreditkan bukti potong PPH Pasal 23 menurut surat edaran tadi dengan melakukan pembetulan surat ketetapan berdasarkan kuasa Pasal 16 UU KUP. Sekali lagi, pembetulan surat ketetapan ini juga akan logikanya akan menyebabkan lebih bayar bagi PT B. Tetapi tentu saja tidak perlu dilakukan pemeriksaan karena Pasal 16 UU KUP tidak mensyaratkan ada pemeriksaan. Cukup dilakukan penelitian.

Menurut catatan ortax.org SE-10/PJ.313/1992 belum dicabut. Artinya masih bisa dijadikan acuan. Hanya saja contoh yang digambarkan diatas sangat sederhana, yaitu antara PT A dan PT B. Praktek di lapangan biasanya lebih  rumit. Objek PPh Pasal 23 banyak dan penerima penghasilan juga banyak. Jika PT A akan membuat bukti potong, maka tentu akan menambah pekerjaan. Perlu membuat banyak bukti potong. Selain itu, pihak pemberi penghasilan dan penerima penghasilan harus memiliki hubungan yang baik. Saya pikir akan efektif jika pemberi penghasilan dan penerima penghasilan memiliki hubungan afiliasi. Jika tidak ada hubungan baik, maka PT B sebagai penerima penghasilan bisa mengatakan, "Itu urusan kamu! Urusan dengan saya sudah selesai."

Pendapat saya sendiri atas SKPKB PPh Pasal 23 atau Pasal 4 (2) atau PPN berbeda. Menurut saya, SKPKB PPh Potput seperti PPh Pasal 21, Pasal 23, Pasal 22, Pasal 26, dan Pasal 4 (2) merupakan hukuman karena pemberi penghasilan tidak melaksanakan kewajibannya. Sehingga dua kali bayar pajak atas objek yang sama bukan karena kesalahan sistem tetapi karena sistem yang tidak berjalan semestinya. Jika berjalan seperti yang ditentukan oleh UU PPh maka tidak ada pajak ganda atau dua kali bayar pajak.

Ada juga yang berpendapat bahwa dengan diterbitkannya SKPKB, kewajiban UU telah ditunaikan. Kewajiban pemberi penghasilan digantikan dengan diterbitkannya SKPKB. Sehingga pemberi penghasilan tidak perlu bahkan tidak boleh menerbitkan bukti potong. Jika pendapat ini yang dipegang, maka seharusnya surat edaran diatas dicabut saja.

silakan mengambil pendapat yang menguntungkan Saudara :-)


Komentar

adi wijaya mengatakan…
wahhh artikelnya sngat bermanfaat pak, smkn mmbntu sy memahami ttg ilmu perpajakan.. d tnggu artikel pajak lainnya..

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru