Withholding Taxes
Kami adalah perusahaan yang bergerak di luar konstruksi tp pada saat ini mendapat pekerjaan konstruksi per bulan dengan nilai 80.000.000 ( delapan Puluh Juta ).
Yang ingin saya tanyakan adalah sbb :
1. Apakah saat saya menagih harus menyertakan PPpn dan pph 23 ?
2. Apakah saat menagih hanya total nilai tagihan saja ?
3. Apakah hanya pph 23 saja ?
3. Untuk proyek yang sedang sedang berjalan pph 23 dibayarkan langsung oleh pemakai jasa.
Demikian email yang masuk pagi ini. Saya tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kesan saya, penanya belum paham mekanisme perpajakan kita. Karena itu, selain dibalas langsung, saya posting jawaban yang lebih lengkap. Pembahasan lebih difokuskan kepada mekanisme withholding taxes [sering juga disebut potput].
Withholding taxes merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang banyak diterapkan di negara lain. Sistem ini memiliki keunggulan karena pajak dibayar pada saat penghasilan diterima. Jika penghasilan disudah diterima dan digunakan, maka sudah jadi kebiasaan dimanapun bahwa kita akan berat bayar pajak. Nah, withholding taxes kita adalah yang sering disebut PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2) Final. Selain itu PPN juga sebenarnya bagian dari withholding taxes.
PEMOTONG PPh
Pada umumnya withholding taxes dikenakan pada penyeraha jasa. Tetapi ada juga yang diterapkan pada beberapa jenis industri atau penyerahan barang, seperti di PPh Pasal 22. Atas jasa-jasa tertentu dipotong oleh pihak pemberi penghasilan. Salah satu jenis jasa yang dipotong oleh pemberi penghasilan adalah PPh atas jasa pelaksana konstruksi.
Seandainya kita memberikan jasa kepada orang lian maka pihak pemberi penghasilan atau pengguna jasa kita atau klien harus [dibebani kewajiban] memotong PPh kita. Penghasilan yang kita terima dipotong dulu PPh. Jadi saat kita terima penghasilan maka kita terima penghasilan netto ditambah Bukti Pemotongan. Bukti Pemotongan ini nanti dilaporkan dan dikreditkan di SPT PPh kita.
Khusus jasa konstruksi, karena berdasarkan pembayaran, maka saat kita menerima pembayaran maka pembayaran kita nanti akan dipotong oleh klien kita dengan PPh. Tetapi, tidak semua klien dapat memotong PPh. Pemotong PPh hanya diwajibkan pada Wajib Pajak yang berbentuk badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi [WPOP] tertentu.
Siapa WPOP yang dapat memotong PPh? Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-50/PJ./1994 bahwa WPOP yang wajib [wajib karena sudah ditunjuk sebagai pemotong] memotong PPh Pasal 23 adalah
Selanjutnya SE-08/PJ.4/1995 menjelaskan, yang dimaksud dengan konsultan adalah orang pribadi yang melakukan atau memberikan konsultasi sesuai dengan keahliannya seperti konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan teknik dan konsultan di bidang lainnya.
Bagaimana jika klien kita bukan pemotong PPh? Maka kewajiban PPh dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Khusus untuk jasa konstruksi, disebutkan di Pasal 5 ayat (1) huruf b PP No. 51 tahun 2008, yaitu, “disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.”
PEMUNGUT PPN
PPN sebenarnya pajak atas konsumsi yang dilakukan di wilayah RI atau daerah pabean. Karena pajak atas konsumsi maka pembayar PPN pada akhirnya konsumen atau end user. Tetapi mekanismenya, konsumen membayar PPN kepada penjual. Dan penjual membayar ke Kas Negara dengan metode PK – PM [pajak keluaran dikurangi pajak masukan].
Tetapi, tidak semua penjual boleh memungut PPN. Hanya Wajib Pajak yang sudah dikukuhkan sebagai PKP oleh kantor pajak yang boleh memungut PPN. Akan tetapi, walaupun belum dikukuhkan sebagai PKP tetapi jika secara peraturan wajib memungut PPN maka kewajiban tersebut melekat sehingga si Wajib Pajak tersebut wajib dikukuhkan sebagai PKP baik dengan permohonan sendiri atau secara jabatan [jika dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu].
PKP [pengusaha kena pajak] memiliki kewajiban memungut PPN atas penyerahan barang atau jasa kena pajak. Bukti pemungutan PPN adalah faktur pajak standar. Jika konsumen PKP merupakan end user [seperti toko eceran yang jual barang] maka cukup dibuatkan faktur pajak sederhana. Faktur pajak sederhana bisa hanya berupa bon atau nota penjualan. Pembuatan dan pelaporan faktur pajak sederhana memiliki konsekuensi bahwa pembeli tidak bisa mengkreditkan PPN yang telah dibayar. Karena itu, saya tekankan bahwa pembuatan faktur pajak sederhana ditujukan untuk konsumen end user.
Jasa pelaksana konstruksi adalah jasa kena pajak. Penyedia jasa konstruksi wajib memungut PPN jika dia PKP. Dengan demikian, klien kita wajib membayar PPN sebesar 10% atas jasa yang dia nikmati.
Prakteknya, kita dipotong PPh oleh konsumen sedangkan kita memungut PPN. Jika kita hitung-hitungan, kita dipotong PPh 4% [untuk penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi/sertifikat] sedangkan kita memungut 10%. Netto kita memungut 6%. Jika kontrak 80juta merupakan DPP [tidak include pajak] maka kita menerima 80juta + 6% = 84.8jt.
Yang ingin saya tanyakan adalah sbb :
1. Apakah saat saya menagih harus menyertakan PPpn dan pph 23 ?
2. Apakah saat menagih hanya total nilai tagihan saja ?
3. Apakah hanya pph 23 saja ?
3. Untuk proyek yang sedang sedang berjalan pph 23 dibayarkan langsung oleh pemakai jasa.
Demikian email yang masuk pagi ini. Saya tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Kesan saya, penanya belum paham mekanisme perpajakan kita. Karena itu, selain dibalas langsung, saya posting jawaban yang lebih lengkap. Pembahasan lebih difokuskan kepada mekanisme withholding taxes [sering juga disebut potput].
Withholding taxes merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang banyak diterapkan di negara lain. Sistem ini memiliki keunggulan karena pajak dibayar pada saat penghasilan diterima. Jika penghasilan disudah diterima dan digunakan, maka sudah jadi kebiasaan dimanapun bahwa kita akan berat bayar pajak. Nah, withholding taxes kita adalah yang sering disebut PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2) Final. Selain itu PPN juga sebenarnya bagian dari withholding taxes.
PEMOTONG PPh
Pada umumnya withholding taxes dikenakan pada penyeraha jasa. Tetapi ada juga yang diterapkan pada beberapa jenis industri atau penyerahan barang, seperti di PPh Pasal 22. Atas jasa-jasa tertentu dipotong oleh pihak pemberi penghasilan. Salah satu jenis jasa yang dipotong oleh pemberi penghasilan adalah PPh atas jasa pelaksana konstruksi.
Seandainya kita memberikan jasa kepada orang lian maka pihak pemberi penghasilan atau pengguna jasa kita atau klien harus [dibebani kewajiban] memotong PPh kita. Penghasilan yang kita terima dipotong dulu PPh. Jadi saat kita terima penghasilan maka kita terima penghasilan netto ditambah Bukti Pemotongan. Bukti Pemotongan ini nanti dilaporkan dan dikreditkan di SPT PPh kita.
Khusus jasa konstruksi, karena berdasarkan pembayaran, maka saat kita menerima pembayaran maka pembayaran kita nanti akan dipotong oleh klien kita dengan PPh. Tetapi, tidak semua klien dapat memotong PPh. Pemotong PPh hanya diwajibkan pada Wajib Pajak yang berbentuk badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi [WPOP] tertentu.
Siapa WPOP yang dapat memotong PPh? Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-50/PJ./1994 bahwa WPOP yang wajib [wajib karena sudah ditunjuk sebagai pemotong] memotong PPh Pasal 23 adalah
[a]. Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
[b]. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Selanjutnya SE-08/PJ.4/1995 menjelaskan, yang dimaksud dengan konsultan adalah orang pribadi yang melakukan atau memberikan konsultasi sesuai dengan keahliannya seperti konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan teknik dan konsultan di bidang lainnya.
Bagaimana jika klien kita bukan pemotong PPh? Maka kewajiban PPh dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Khusus untuk jasa konstruksi, disebutkan di Pasal 5 ayat (1) huruf b PP No. 51 tahun 2008, yaitu, “disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.”
PEMUNGUT PPN
PPN sebenarnya pajak atas konsumsi yang dilakukan di wilayah RI atau daerah pabean. Karena pajak atas konsumsi maka pembayar PPN pada akhirnya konsumen atau end user. Tetapi mekanismenya, konsumen membayar PPN kepada penjual. Dan penjual membayar ke Kas Negara dengan metode PK – PM [pajak keluaran dikurangi pajak masukan].
Tetapi, tidak semua penjual boleh memungut PPN. Hanya Wajib Pajak yang sudah dikukuhkan sebagai PKP oleh kantor pajak yang boleh memungut PPN. Akan tetapi, walaupun belum dikukuhkan sebagai PKP tetapi jika secara peraturan wajib memungut PPN maka kewajiban tersebut melekat sehingga si Wajib Pajak tersebut wajib dikukuhkan sebagai PKP baik dengan permohonan sendiri atau secara jabatan [jika dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu].
PKP [pengusaha kena pajak] memiliki kewajiban memungut PPN atas penyerahan barang atau jasa kena pajak. Bukti pemungutan PPN adalah faktur pajak standar. Jika konsumen PKP merupakan end user [seperti toko eceran yang jual barang] maka cukup dibuatkan faktur pajak sederhana. Faktur pajak sederhana bisa hanya berupa bon atau nota penjualan. Pembuatan dan pelaporan faktur pajak sederhana memiliki konsekuensi bahwa pembeli tidak bisa mengkreditkan PPN yang telah dibayar. Karena itu, saya tekankan bahwa pembuatan faktur pajak sederhana ditujukan untuk konsumen end user.
Jasa pelaksana konstruksi adalah jasa kena pajak. Penyedia jasa konstruksi wajib memungut PPN jika dia PKP. Dengan demikian, klien kita wajib membayar PPN sebesar 10% atas jasa yang dia nikmati.
Prakteknya, kita dipotong PPh oleh konsumen sedangkan kita memungut PPN. Jika kita hitung-hitungan, kita dipotong PPh 4% [untuk penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi/sertifikat] sedangkan kita memungut 10%. Netto kita memungut 6%. Jika kontrak 80juta merupakan DPP [tidak include pajak] maka kita menerima 80juta + 6% = 84.8jt.
Komentar