PPh Pasal 4 (2) versus PPh Pasal 23
Masih banyak yang mempertanyakan ketidaksinkronan antara tarif yang diatur di PPh Pasal 23 UU PPh 1984 dengan tarif yang diatur di Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984. Sebagai contoh : tarif PPh Pasal 23 atas jasa konstruksi sebesar 2%. Tetapi di PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 2%, 3%, 4%, dan 6% berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008. Jauh sebelum masalah jasa konstruksi, saya sendiri mempertanyakan kenaikan tarif PPh atas bunga deposito dan tabungan setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 131 Tahun 2000 yang mengatur tarif PPh atas bunga deposito dan tabungan serta SBI sebesar 20% padahal di Pasal 23 UU PPh 1984 [amandemen 2000] jelas-jelas tarif 15% untuk bunga.
Hasil pendalaman saya atas hal ini sebagai berikut :
Pertama:
Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 adalah peraturan lebih khusus mengalahkah Pasal 23 UU PPh 1984. Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 [amanden 2000] sudah menyebutkan,
Saya kira tidak diragukan lagi jika frase "perlakuan tersendiri" sinonim dengan "perlakuan khusus". Dengan demikian, Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 adalah aturan khusus (spesialis) untuk Pajak Penghasilan.
Kedua :
Pasal 23 adalah bagian dari Bab V Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan. Artinya PPh Pasal 23 itu adalah cicilan pajak bagi PPh Badan atau PPh OP. Cicilan PPh Pasal 23 yang sudah dipotong oleh pengguna jasa [pemberi penghasilan] tersebut pada akhir tahun dikreditkan oleh penerima penghasilan. Tarif PPh Pasal 23 adalah flat yaitu 15% atau 2% sedangkan tarif PPh Badan dan tari PPh OP progressif sesuai Pasal 17 UU PPh 1984. Ini adalah aturan umum.
Sedangkan berkaitan dengan jasa-jasa tertentu yang peraturan pemerintah-nya mengacu [mencantol] ke Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 sudah jelas memerintahkan kepada para pemberi penghasilan untuk memotong PPh dengan tarif tertentu. Dan besaran tarif ini tidak hanya berlaku bagi pemberi penghasilan tapi berlaku juga bagi penerima penghasilan. Di SPT Tahunan, penerima penghasilan akan menghitung pajaknya secara terpisah [flat] dari penghitungan pajak umum [progressif].
Istilah final itu sendiri menurut saya lebih tepat bagi penerima penghasilan. Sedangkan bagi pemotong atau pemberi penghasilan maka tidak ada istilah final. Kewajiban pemotong itu sama saja baik untuk jasa-jasa yang diatur di Pasal 4 ayat (2) maupun jasa-jasa yang diatur di Pasal 23.
Dengan dua pemahaman tersebut, saya tidak ragu lagi bahwa Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 mengalahkan Pasal 23 UU PPh 1984.
Salaam!
Hasil pendalaman saya atas hal ini sebagai berikut :
Pertama:
Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 adalah peraturan lebih khusus mengalahkah Pasal 23 UU PPh 1984. Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 [amanden 2000] sudah menyebutkan,
" .. pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. "Begitu juga dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 hasil amandemen 2008 menyebutkan kata "perlakuan tersendiri". Saya kutip kembali kalimat yang dimaksud,
" .. atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah."
Saya kira tidak diragukan lagi jika frase "perlakuan tersendiri" sinonim dengan "perlakuan khusus". Dengan demikian, Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 adalah aturan khusus (spesialis) untuk Pajak Penghasilan.
Kedua :
Pasal 23 adalah bagian dari Bab V Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan. Artinya PPh Pasal 23 itu adalah cicilan pajak bagi PPh Badan atau PPh OP. Cicilan PPh Pasal 23 yang sudah dipotong oleh pengguna jasa [pemberi penghasilan] tersebut pada akhir tahun dikreditkan oleh penerima penghasilan. Tarif PPh Pasal 23 adalah flat yaitu 15% atau 2% sedangkan tarif PPh Badan dan tari PPh OP progressif sesuai Pasal 17 UU PPh 1984. Ini adalah aturan umum.
Sedangkan berkaitan dengan jasa-jasa tertentu yang peraturan pemerintah-nya mengacu [mencantol] ke Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 sudah jelas memerintahkan kepada para pemberi penghasilan untuk memotong PPh dengan tarif tertentu. Dan besaran tarif ini tidak hanya berlaku bagi pemberi penghasilan tapi berlaku juga bagi penerima penghasilan. Di SPT Tahunan, penerima penghasilan akan menghitung pajaknya secara terpisah [flat] dari penghitungan pajak umum [progressif].
Istilah final itu sendiri menurut saya lebih tepat bagi penerima penghasilan. Sedangkan bagi pemotong atau pemberi penghasilan maka tidak ada istilah final. Kewajiban pemotong itu sama saja baik untuk jasa-jasa yang diatur di Pasal 4 ayat (2) maupun jasa-jasa yang diatur di Pasal 23.
Dengan dua pemahaman tersebut, saya tidak ragu lagi bahwa Pasal 4 ayat (2) UU PPh 1984 mengalahkan Pasal 23 UU PPh 1984.
Salaam!
Komentar
Bagaimana dengan PPh 21 vs PPh 23 misal orang pribadi yang menyediakan jasa catering, jasa sewa kendaraan apakah dipotong pph 21 (bukan pegawai) atau pph 23?
Saat ini saya sedang pengerjaan proyek software development..cukup jelas sekarang masalah besaran pajak yang harus di tanggung..