Pasca Amnesti Pajak : Administrasi Perpajakan Terbagi Dua

Pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagai mana diatau dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Pengampunan Pajak). Berdasarkan ketentuan tersebut, administrasi perpajakan pasca amnesti pajak memberikan pemisah yang tegas antara Wajib Pajak yang ikut amnesti dan Wajib Pajak yang tidak ikut amnesi.
 Bagi Wajib Pajak yang ikut amnesti maka kewajiban perpajakan 2015 ke belakang sudah final dan tidak bisa dilakukan apa-apa. Hak negara sudah dilepaskan dan kewajiban Wajib Pajak sudah ditiadakan. Konsekuesinya, Wajib Pajak yang ikut amnesti tidak perlu dilakukan pengawasan, dan tidak boleh dilakukan pemeriksaan. Direktorat Jenderal Pajak seperti melupakan tahun pajak 2015 ke belakang.

Pengawasan terhadap Wajib Pajak yang ikut amnesti pajak hanya bisa dilakukan untuk tahun pajak 2016 sampai dengan sekarang. Seandainya Wajib Pajak yang ikut amnesti pajak masih mendapatkan surat himbauan dari kantor pajak untuk permasalah tahun pajak 2015, 2014 dan seterusnya, maka surat tersebut boleh dianggap tidak ada.

Sebaliknya, bagi wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak, maka tidak ada batasan tahun pajak kecuali yang diatur dalam Undang-Undang KUP, yaitu daluwarsa ketetapan pajak.

Walaupun demikian, tidak berarti bahwa Wajib Pajak yang ikut amnesti pajak dilupakan sama sekali. Berikut ini pengawasan yang masih dapat dilakukan oleh kantor pajak terhadap Wajib Pajak yang ikut amnesti pajak:
  1. Penelitian terhadap penggunaan tarif amnesti pajak. Misal, seharusnya tidak berhak mendapatkan tarif UKM 0,5% tetapi Wajib Pajak tersebut menggunakan. Seharusnya masalah ini selesai jika sudah mendapatkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak;
  2. Penelitian kebenaran harta yang diungkap. Jika masih ada harta yang belum diungkap atau seharusnya diungkap atau kurang diungkap dalam Amnesti Pajak maka terhadap harta tersebut dapat dianggap sebagai penghasilan tambahan pada saat ditemukan oleh kantor pajak. Hal ini diatur di Pasal 18 ayat (1) UU Pengampunan Pajak.
  3. Harta yang gagal direpatriasi merupakan penghasilan penghasilan tahun pajak 2016 (bukan saat ditemukan). Hal ini diatur di Pasal 14 ayat (4) UU Pengampunan Pajak.
  4. Pengawasan kompensasi kelebihan pajak PPN dari masa pajak Desember 2015 ke masa pajak Januari 2016. Pasal 35 Peraturan Menteri Keuangan nomor 118/PMK.03/2016 mengatur bahwa Wajib Pajak yang ikut amnesti pajak tidak berhak mengkompensasi kelebihan pembayaran PPN. Ketentuan ini berlaku baik untuk pusat maupun cabang.
  5. Kompensasi kerugian tahun 2015 ke belakang juga tidak boleh diakui. Hal ini diatur di Pasal 35 Peraturan Menteri Keuangan nomor 118/PMK.03/2016.
  6. Pengawasan penyusutan dan amortisasi tahun pajak 2016 dan seterusnya. Wajib Pajak yang mengikuti amnesti pajak tidak boleh menyusutkan harta tambahan. Misal harta tambahan yang diamnestikan berupa gedung, maka atas gedung tersebut tidak boleh ada penyusutan.
  7. Wajib Pajak yang memiliki perusahaan cangkang atau SPV (special purpose vehicle) dan memiliki harta melalui SPV tersebut, pada saat amnesti pajak dapat mengakui secara langsung atas kepemilikan tersebut atau SPV menjadi badan hukum Indonesia. Nah, jika memilih opsi kedua, maka setelah amnesti harus ada pendirian badan hukum Indonesia (seperti PT) kemudian seluruh ekuitas SPV menjadi saham di PT yang baru.    
Wah, banyak ya? Tentu lebih banyak lagi pengawasan terhadap wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak.  

Tahun 2017 ini, petugas pajak memiliki satu tahapan baru sebelum melakukan pengawasan, sebelum petugas menyampaikan surat himbauan atau (SP2DK) kepada wajib pajak, yaitu memastikan bahwa wajib pajak tidak mengikuti amnesti pajak.

Jika Wajib Pajak sudah dipastikan tidak mengikuti amnesti pajak, maka dapat dilakukan pengawasan dan dikirim SP2DK untuk tahun 2015 sampai dengan 2012. Permasalahan yang dapat dibuatkan SP2DK diantaranya:
  • belum menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, SPT Masa PPN atau SPT Tahunan;
  • belum menyetor PPh Pasal 25 atau setoran PPh PP46;
  • pajak yang dibayar kurang dibandingkan dengan yang dilaporkan dalam SPT;
  • tidak melaporkan faktur pajak yang sudah diterbitkan atau sudah dikreditkan oleh lawan transaksi;
  • ada penghasilan yang belum dlaporkan berdasarkan bukti potong PPh dari lawan transaksi;
  • ada potensi pajak berdasarkan analisis laporan keuangan yang disampaikan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru