ORI (Obligasi Negara Ritel)

Dengan hormat,
Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu, nama saya Melinda Grace Yosefina Sitorus, mahasiswa tingkat akhir Program Studi S1 Ekstensi Administrasi Fiskal.
Sekarang saya juga bekerja sebagai staf pajak di koperasi Telkomsel.
Saya melihat blog Bapak saat saya browse mengenai masalah - masalah pajak, seperti faktur gabungan, dll.
Untuk itu saya memohon kesediaan Bapak untuk memberikan saran & informasi - informasi terkait untuk masalah - masalah mengenai pajak.
Adapun , saya akan menyusun skripsi, namun mengalami kesulitan untuk menentukan topik yang akan saya buat.
Menurut Bapak, topik apa yang sebaiknya saya kembangkan, apakah mengenai pajak atas SHU pada koperasi Telkomsel atau ORI?
Dalam hal ORI, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:
1. Saat saya membaca beberapa artikel mengenai ORI, dijelaskan bahwa ORI dikenakan tarif progresif. Padahal pada umumnya, atas obligasi dikenakan tarif final sebesar 20%. Apakah alasannya ORI dikenakan tarif progresif?
2. ORI baru dipasarkan untuk dibeli masyarakat secara bebas, apakah yang menyebabkan negara memutuskan untuk menjual ORI kepada masyarakat? Apakah ada faktor politik yang terkait?
Maaf, bila saya merepotkan. Terimakasih


Salam sejahtera,
Melinda


Jawaban sayaORI adalah surat utang “baru” di Indonesia. Sekitar enam tahun ke belakang, salah seorang dosen yang kebetulan menjadi ketua “desk” Manajemen Utang Negara (belum diformalkan) masih bercerita tentang Obligasi Negara di negara lain dan Indonesia akan (berencana) menerbitkan obligasi juga. Waktu itu yang lebih populer adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan surat utang BI lainnya. Karena itu, untuk pembuatan skripsi (bahkan tesis) dengan tema ORI, saya pikir akan lebih menarik. Dan ORI adalah “produk” terbaru dari pemerintah RI. Mungkin, bisa jadi, mahasiswa dan dosen sama-sama belajar ORI.

Kenapa negara harus berutang? Salah satu alasannya karena penerimaan dari pajak tidak cukup. Dilihat dari sisi ilmu moneter (setidaknya dosen moneter yang pertama bilang ke saya) bahwa utang negara adalah penerimaan pajak yang dipercepat. Pada akhirnya, utang tersebut akan dibayar oleh negara dari penerimaan pajak dikemudian hari.

Tetapi dosen pertama (pengajar obligasi negara) telah menemukan fakta bahwa prakteknya utang dibayar dengan utang. Di negara-negara maju seperti USA dan Jepang, obligasi yang telah jatuh tempo dibayar dengan penerbitan obligasi yang lain. Bahkan dia sedikit bergurau, “Utang negara hanya bisa lunas jika dunia kiamat.”


PPh FinalPengenaan pajak penghasilan atas penghasilan bunga dari obligasi biasanya diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah (PP). Cantelan atau dasar dari peraturan pemerintah tersebut selalu merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang berbunyi, “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Karena itu disebut pula PPh Pasal 4 (2) dan karena selalu bersifat final maka disebut pula PPh Final atau sering juga digabungkan menyebutnya menjadi PPh Pasal 4 (2) Final.

Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pengaturan Surat Utang Negara (SUN) adalah :
[1] PP No. 6 tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan/atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek. Pasal 1 PP No. 6/2002 menyebutkan bahwa yang dimaksud obligasi adalah obligasi korporasi, dan obligasi pemerintah atau SUN diatas dua belas bulan. Di PP ini hanya ada satu tarif yaitu 20% dan bersifat final!

[2] PP No. 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah SUN dengan jatuh tempo 12 bulan atau kurang. Di PP ini hanya ada satu tarif, yaitu 20% dari diskonto SPN dan bersifat final.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.08/2007, “Obligasi Negara Ritel adalah Obligasi Negara yang dijual kepada individu atau orang perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Agen Penjual.” Karena itu, perbedaan obligasi negara dengan ORI adalah segmentasi pemberi utang. Mungkin bahasa politiknya : ORI adalah bentuk partisipasi warga negara terhadap kekurangan pembiayaan pemerintah he .. he .. he ..

Karena itu, jika ada artikel yang menyebutkan bahwa ORI dikenakan tarif progresif, tanya saja dasar hukumnya. PP No. 6 tahun 2002 setahu saya belum dirubah. Jadi masih berlaku.


Kenapa Pilih ORI?
Kabarnya ORI adalah utang negara yang paling “aman” dilihat dari sisi pemerintah. Masih ingat bagaimana “berkuasanya” IMF pada masa krisis moneter. Sampai-sampai foto penandatanganan LOI antara RI – IMF di Cendana itu jadi perdebatan di media. Kesannya, RI jadi budak IMF, wah gawat. .

Begitu juga dengan utang luar negeri lainnya yang dapatnya dari pemerintah. Mungkin istilahnya G to G, pemerintah RI meminta utang dari pemerintah negara lain. Ini akan beresiko bagi kesetaraan antar dua negara. Bagaimanapun antara kreditur dan debitur tidak setara. Kreditur biasanya lebih tinggi, lebih berkuasa. Ini karena faktur uang. Kreditur tidak mau uang yang dipinjamkan ke orang lain akan lenyap begitu saja.

Itulah sebabnya, ORI lebih aman. Karena krediturnya sangat banyak, dipecah-pecah dan warga negaranya sendiri, maka penerbitan ORI tidak ada resiko seperti pemerintah meminta dana dari IMF. Dan memang kondisi masyarakat juga memungkinkan untuk membli ORI.

Dilihat dari sisi kreditur, ORI lebih aman daripada deposito atau simpanan di bank lainnya. Bank bisa saja bangkrut dan bubar tetapi pemerintah sangat sulit untuk bubar. Dalam keadaan mendesak, pemerintah tinggal mencetak uang untuk membayar ORI yang jatuh tempo, sedangkan bank yang bangkrut? Karena itu, ORI lebih aman atau lebih kecil resiko wan prestasi.

Selain itu, ORI bisa jadi benchmark atau ukuran suku bunga bagi obligasi perusahaan. Perusahaan terbuka sekarang dapat menerbitkan obligasi dengan bunga sekitar ORI. Sama-sama obligasi. Dahulu, perusahaan yang akan mengeluarkan obligasi mungkin berpatokan pada bunga bank. Padahal pinjaman bank sebenarnya untuk jangka pendek, karena itu bunganya pantas lebih tinggi, walaupun prakteknya dana dari bank juga sering untuk pinjaman jangka panjang.

Cag!

Komentar

PIPIT mengatakan…
Maaf sy mengganggu. saya mau sharing nih pak. saya skrg sedang menyusun tesis.sy tertarik utk mengangkat judul tentang ORI. kira-kira permasalahan apa lg ya pak yg bisa dibahas tentang ORI. selain mslah-masalah yang kita sudah ketahui bersama. Makasih......
PIPIT mengatakan…
Maaf sebelumnya. Saya Pengen sharing nih pak.
skrg sy sedang nyusun tesis. sy berminat membahas masalah ORI. kira-kira permasalahan apa lagi ya pak yg bisa diangkat dlm penelitian sy seputar tentang ORI??? setelah permasalahan2 yg kita ketahui bersama?
apakah mungkin kejadian tahun 1950-an dapat terjadi lg? kejadian gagal bayar????
Unknown mengatakan…
Mohon maaf, saya tidak memperdalam kenapa obligasi taun 50-an gagal bayar. Tapi saya menduga bahwa masalahnya ada di administrasi birokrasi waktu itu. Dan sekarang tentu lebih baik karena ada Ditjen [eselon 1] khusus yang menangani utang negara.

Berkaitan dengan tesis, dosen pembimbing saya dulu bilang kira-kira begini, "Membuat tesis itu seperti melihat sesuatu dari sudut pandang tertentu. Jika kita sudah memilih salah satu sudut pandang, silakan diperdalam dari berbagai aspek." Nah, karena itu saya berpendapat bahwa masalahnya bukan "apa" tapi "bagaimana".
Anonim mengatakan…
Saya mempunyai ori 5 dan sukuk ritel, pada ori 5 potongan pph masih 20% berbeda dengan sukuk pphnya 15%, apakah peraturan yang baru hanya berlaku untuk pemesanan obligasi setelah peraturan baru tersebut berlaku? Thanks

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru