Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP)
JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan mengkritik kebijakan pajak ditanggung pemerintah. Kebijakan itu dimuat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan konsep ini adalah menghapuskan pajak atau bea masuk beberapa komoditas, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) minyak goreng dan bea masuk kedelai. Namun, dalam catatan APBN, pemerintah tetap mencatatnya sebagai penerimaan negara. Selain itu, ada beban belanja untuk membayar pajak minyak goreng dan kedelai.
Dalam rancangan APBN perubahan, pemerintah mengalokasikan pajak ditanggung pemerintah sebesar Rp 500 miliar untuk PPN impor terigu. Selain itu, PPN dalam negeri untuk minyak goreng Rp 3 triliun, PPN impor gandum Rp 1,4 triliun, dan bea masuk kedelai Rp 500 miliar. Pemerintah juga memberikan fasilitas subsidi bea masuk sebesar Rp 2 triliun, subsidi pajak penghasilan panas bumi Rp 500 miliar, pajak penghasilan bunga obligasi Rp 800 miliar, dan PPN bahan bakar minyak dalam negeri bersubsidi Rp 9 triliun. Total pajak yang harus dibayar negara mencapai Rp 25 triliun lebih.
Menurut Anwar, kebijakan itu aneh dan tidak ada acuannya di dalam peraturan perundang-undangan bidang perpajakan. Sebab, ada dua definisi dalam pajak, yaitu yang harus dibayar oleh wajib pajak atau pajak yang harus dipungut dari wajib pajak. "Lah kok ini aneh, ada pajak yang dibayar negara," kata Anwar di Jakarta kemarin.
Anwar juga mencurigai pengelolaan penerimaan pajak. Menurut dia, bila tidak dilakukan secara hati-hati, restitusi pajak secara besar-besaran yang dikeluarkan pemerintah bisa merugikan negara. Tahun lalu, restitusi pajak naik 70 persen, padahal ekspor tidak meningkat. "Sayangnya, bagaimana hitungan restitusi pajak itu tidak ada yang tahu," katanya. Anwar berharap uji materi Undang-Undang Pajak oleh Mahkamah Konstitusi bisa meloloskan audit pajak. AGUS SUPRIYANTO
disalin dari http://10.23.254.215/web
Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan konsep ini adalah menghapuskan pajak atau bea masuk beberapa komoditas, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) minyak goreng dan bea masuk kedelai. Namun, dalam catatan APBN, pemerintah tetap mencatatnya sebagai penerimaan negara. Selain itu, ada beban belanja untuk membayar pajak minyak goreng dan kedelai.
Dalam rancangan APBN perubahan, pemerintah mengalokasikan pajak ditanggung pemerintah sebesar Rp 500 miliar untuk PPN impor terigu. Selain itu, PPN dalam negeri untuk minyak goreng Rp 3 triliun, PPN impor gandum Rp 1,4 triliun, dan bea masuk kedelai Rp 500 miliar. Pemerintah juga memberikan fasilitas subsidi bea masuk sebesar Rp 2 triliun, subsidi pajak penghasilan panas bumi Rp 500 miliar, pajak penghasilan bunga obligasi Rp 800 miliar, dan PPN bahan bakar minyak dalam negeri bersubsidi Rp 9 triliun. Total pajak yang harus dibayar negara mencapai Rp 25 triliun lebih.
Menurut Anwar, kebijakan itu aneh dan tidak ada acuannya di dalam peraturan perundang-undangan bidang perpajakan. Sebab, ada dua definisi dalam pajak, yaitu yang harus dibayar oleh wajib pajak atau pajak yang harus dipungut dari wajib pajak. "Lah kok ini aneh, ada pajak yang dibayar negara," kata Anwar di Jakarta kemarin.
Dia mengatakan kasus seperti ini tidak ada di negara lain. "Di negara lain, mana ada negara bayar pajak?" kata Anwar. Dalam aturan pajak, kebijakan ini juga tidak ada. Anwar menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak konsisten menerapkan aturan.
Anwar juga mencurigai pengelolaan penerimaan pajak. Menurut dia, bila tidak dilakukan secara hati-hati, restitusi pajak secara besar-besaran yang dikeluarkan pemerintah bisa merugikan negara. Tahun lalu, restitusi pajak naik 70 persen, padahal ekspor tidak meningkat. "Sayangnya, bagaimana hitungan restitusi pajak itu tidak ada yang tahu," katanya. Anwar berharap uji materi Undang-Undang Pajak oleh Mahkamah Konstitusi bisa meloloskan audit pajak. AGUS SUPRIYANTO
disalin dari http://10.23.254.215/web
Komentar