Jagoan Ga Ada Matinye
Namanya Juga PemerintahPemerintah berasal dari kata perintah. Saya mengartikan pemerintah sebagai institusi yang berwenang memberikan perintah. Atau bisa juga institusi yang diberi perintah oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Rakyatlah yang memberikan perintah kepada pemerintah. Karena perintah berasal dari rakyat maka pemerintah menjadi kuat.
Perintah bisa juga berbentuk kewenangan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Dalam pemeriksaan pajak, kewenangan melakukan pemeriksaan pajak dituangkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU KUP. Bunyi lengkapnya seperti ini, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Jelaslah bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dikomandani direktur jenderal pajak adalah bagian dari pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak. Tidak ada institusi lain yang berhak melakukan pemeriksaan pajak, kecuali DJP.
Jadi kewenangan pemeriksaan berasal dari undang-undang. Ketika pemeriksa pajak datang kepada Wajib Pajak untuk melakukan pemeriksaan, maka pemeriksa pajak tersebut bertindak untuk melaksanakan undang-undang. Karena bertindak berdasarkan undang-undang maka pemeriksa pajak tersebut seperti polisi yang bertindak karena tugas negara. Kuat!
Kalau pemeriksa pajak diberi kewenangan, sebaliknya Wajib Pajak yang akan diperiksa dipreteli dulu kekuatannya. Perhatikan ayat berikut, Pasal 29 ayat (3) UU KUP, “Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan / atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.”
Kata ”wajib” yang dipakai pada pasal tersebut menegaskan, betapa tidak ada pilihan lain bagi Wajib Pajak kecuali memperlihatkan atau meminjamkan dokumen. Apapun bentuk dokumen itu, apapun istilah yang dipakai (buku atau catatan), dan apapun medianya (kertas, digital, microfilm atau lainnya) semuanya wajib diperlihatkan kepada pemeriksa. Siapa yang menyangka catatan usaha ditulis diatas kertas bungkus rokok? Apalagi Wajib Pajak tersebut tidak dapat lagi dikatagorikan sebagai pengusaha kecil!
Disinilah pentingnya pemeriksa memeriksa semua ruangan dan arsip Wajib Pajak. Pemeriksa seharusnya mencari sendiri dokumen yang diperlukan, kemudian meminjam. Karenanya, pemeriksa pajak seharusnya tidak boleh memberitahukan dahulu tentang adanya pemeriksaan pajak, tapi langsung datang, survey lapangan, wawancara, mencari dokumen dan meminjam. Dokumen apa saja yang dipinjam, ditentukan oleh pemeriksa pada saat pemeriksaan lapangan. Bukan sebaliknya, tinggal menelpon dan dokumen dipilih kemudian diantar oleh Wajib Pajak sendiri.
Tidak ada satu dokumen pun yang tidak dapat diperlihatkan kepada pemeriksa. Walaupun dokumen tersebut termasuk katagori rahasia. Selama dokumen tersebut menyangkut kegiatan Wajib Pajak yang diperiksa, maka segala rahasia ditiadakan oleh Pasal 29 ayat (4) UU KUP. Begitu juga tidak ada ruangan yang tidak dapat diperiksa. Seorang supervisorku pernah memberikan penjelasan, “Jangankan gudang, lubang tikus pun dapat kita masuki!” Tidak ada yang berwenang mencegah pemeriksa memasuki ruangan Wajib Pajak.
Hak Untuk MenolakSeorang kepala cabang ngotot tidak dapat meminjamkan dokumen-dokumen yang dimilikinya. Tetapi ia mempersilahkan memeriksa semua dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan. Ia akan memberikan akses yang seluar-luasnya. Boleh diperiksa, tetapi tidak boleh dipinjam. Dua hal yang berbeda kan?
Karena letaknya yang jauh dan tidak memungkinkan untuk pemeriksaan lapangan berhari-hari, maka pemeriksa ngotot untuk meminjam dokumen. Tetapi sang kepala cabang yang berpangkat kolonel angkatan laut juga ngotot tidak memperbolehkan. Akhirnya, “Saya bersedia menandatangani pernyataan apapun yang diperlukan sebagai bentuk penolakan saya.” kata kepala cabang yang kebetulan pernah bekerja di Itjen Dephankam.
Mungkin karena pernah menjadi pemeriksa, kepala cabang tersebut tahu hak-hak pihak yang diperiksa. Salah satunya hak menolak untuk diperiksa dengan segala resiko yang mungkin timbul. Pemeriksaan pajak juga memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk menolak diperiksa. Jika yang membuat pernyataan adalah Wajib Pajak sendiri (pimpinan untuk Wajib Pajak badan) maka disebut Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan Pajak. Tetapi jika yang membuat pernyataan adalah pegawai Wajib Pajak, maka disebut Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan Pajak. Kedua surat tersebut harus bermaterai Rp6.000.
Hanya saja, penolakan tersebut kemungkinan besar akan merugikan Wajib Pajak sendiri karena pajak-pajak yang terutang akan ditetapkan berdasarkan analisa sepihak pemeriksa. Jika ditempat yang sama atau dalam satu wilayah kerja kantor pajak, banyak Wajib Pajak memiliki bidang usaha yang sama, maka analisa bisa dilakukan dengan membandingkan perusahaan sejenis. Padahal tidak ada perusahaan yang persis sama, tetapi untuk kepentingan penerimaan negara, bisa saja “dianggap sama”. Ini semacam pintu darurat memang. Ingat, fiskus berhak menetapkan pajak secara jabatan jika cara biasa tidak dapat dilakukan!
Bagaimana jika menolak membuat surat pernyataan? Pemeriksa pajak harus membuat berita acara penolakan. Apapun caranya, baik dengan membuat surat pernyataan atau dibuatkan berita acara penolakan memiliki konsekuensi yang yang sama-sama tidak menguntungkan bagi posisi Wajib Pajak. Bahkan tidak mungkin tindakan selanjutnya adalah penyegelan. Baik kantor maupun tempat lain yang dicurigai tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dapat disegel.
Tindakan penyegelan ibarat menghentikan sesuatu. Jika yang disegel adalah satu kantor, maka kantor tersebut tidak dapat dipergunakan lagi selama segel belum dibuka. Jika toko yang disegel, maka toko tersebut harus ditutup. Barang siapa yang membuka segel tanpa sepengetahuan pemeriksa pajak, maka penjara telah menanti karena membuka segel adalah perbuatan tindak pidana.
Bukan cuma itu, penolakan pemeriksaan juga bisa berujung pada penyidikan pajak. Tentu saja Wajib Pajak akan melalui hari-hari yang panjang dan melelahkan jika pemeriksaan sudah diarahkan pada penyidikan pajak. Karena itu, sebaiknya hindari penolakan pemeriksaan pajak sejak awal. Apapun bentuknya.
PenutupSaya kira, semua aparat negara yang melaksanakan tugas selalu diposisikan dan dibuat kuat. Ini karena aparat tersebut telah diberi tugas oleh undang-undang untuk bertindak atas nama negara. Dan demi kepentingan negara. Apakah hal seperti ini perwujudan dari sikap arogan? Apakah sikap seperti ini masih relepan pada masa sekarang?
Saya tidak dapat menjawab. Tetapi saya juga tidak dapat membayangkan, bagaimana jadinya jika sebaliknya. Aparat tidak berwibawa.
Perintah bisa juga berbentuk kewenangan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Dalam pemeriksaan pajak, kewenangan melakukan pemeriksaan pajak dituangkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU KUP. Bunyi lengkapnya seperti ini, “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Jelaslah bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dikomandani direktur jenderal pajak adalah bagian dari pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak. Tidak ada institusi lain yang berhak melakukan pemeriksaan pajak, kecuali DJP.
Jadi kewenangan pemeriksaan berasal dari undang-undang. Ketika pemeriksa pajak datang kepada Wajib Pajak untuk melakukan pemeriksaan, maka pemeriksa pajak tersebut bertindak untuk melaksanakan undang-undang. Karena bertindak berdasarkan undang-undang maka pemeriksa pajak tersebut seperti polisi yang bertindak karena tugas negara. Kuat!
Kalau pemeriksa pajak diberi kewenangan, sebaliknya Wajib Pajak yang akan diperiksa dipreteli dulu kekuatannya. Perhatikan ayat berikut, Pasal 29 ayat (3) UU KUP, “Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a. memperlihatkan dan / atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
c. memberikan keterangan yang diperlukan.”
Kata ”wajib” yang dipakai pada pasal tersebut menegaskan, betapa tidak ada pilihan lain bagi Wajib Pajak kecuali memperlihatkan atau meminjamkan dokumen. Apapun bentuk dokumen itu, apapun istilah yang dipakai (buku atau catatan), dan apapun medianya (kertas, digital, microfilm atau lainnya) semuanya wajib diperlihatkan kepada pemeriksa. Siapa yang menyangka catatan usaha ditulis diatas kertas bungkus rokok? Apalagi Wajib Pajak tersebut tidak dapat lagi dikatagorikan sebagai pengusaha kecil!
Disinilah pentingnya pemeriksa memeriksa semua ruangan dan arsip Wajib Pajak. Pemeriksa seharusnya mencari sendiri dokumen yang diperlukan, kemudian meminjam. Karenanya, pemeriksa pajak seharusnya tidak boleh memberitahukan dahulu tentang adanya pemeriksaan pajak, tapi langsung datang, survey lapangan, wawancara, mencari dokumen dan meminjam. Dokumen apa saja yang dipinjam, ditentukan oleh pemeriksa pada saat pemeriksaan lapangan. Bukan sebaliknya, tinggal menelpon dan dokumen dipilih kemudian diantar oleh Wajib Pajak sendiri.
Tidak ada satu dokumen pun yang tidak dapat diperlihatkan kepada pemeriksa. Walaupun dokumen tersebut termasuk katagori rahasia. Selama dokumen tersebut menyangkut kegiatan Wajib Pajak yang diperiksa, maka segala rahasia ditiadakan oleh Pasal 29 ayat (4) UU KUP. Begitu juga tidak ada ruangan yang tidak dapat diperiksa. Seorang supervisorku pernah memberikan penjelasan, “Jangankan gudang, lubang tikus pun dapat kita masuki!” Tidak ada yang berwenang mencegah pemeriksa memasuki ruangan Wajib Pajak.
Hak Untuk MenolakSeorang kepala cabang ngotot tidak dapat meminjamkan dokumen-dokumen yang dimilikinya. Tetapi ia mempersilahkan memeriksa semua dokumen yang diperlukan dalam pemeriksaan. Ia akan memberikan akses yang seluar-luasnya. Boleh diperiksa, tetapi tidak boleh dipinjam. Dua hal yang berbeda kan?
Karena letaknya yang jauh dan tidak memungkinkan untuk pemeriksaan lapangan berhari-hari, maka pemeriksa ngotot untuk meminjam dokumen. Tetapi sang kepala cabang yang berpangkat kolonel angkatan laut juga ngotot tidak memperbolehkan. Akhirnya, “Saya bersedia menandatangani pernyataan apapun yang diperlukan sebagai bentuk penolakan saya.” kata kepala cabang yang kebetulan pernah bekerja di Itjen Dephankam.
Mungkin karena pernah menjadi pemeriksa, kepala cabang tersebut tahu hak-hak pihak yang diperiksa. Salah satunya hak menolak untuk diperiksa dengan segala resiko yang mungkin timbul. Pemeriksaan pajak juga memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk menolak diperiksa. Jika yang membuat pernyataan adalah Wajib Pajak sendiri (pimpinan untuk Wajib Pajak badan) maka disebut Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan Pajak. Tetapi jika yang membuat pernyataan adalah pegawai Wajib Pajak, maka disebut Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan Pajak. Kedua surat tersebut harus bermaterai Rp6.000.
Hanya saja, penolakan tersebut kemungkinan besar akan merugikan Wajib Pajak sendiri karena pajak-pajak yang terutang akan ditetapkan berdasarkan analisa sepihak pemeriksa. Jika ditempat yang sama atau dalam satu wilayah kerja kantor pajak, banyak Wajib Pajak memiliki bidang usaha yang sama, maka analisa bisa dilakukan dengan membandingkan perusahaan sejenis. Padahal tidak ada perusahaan yang persis sama, tetapi untuk kepentingan penerimaan negara, bisa saja “dianggap sama”. Ini semacam pintu darurat memang. Ingat, fiskus berhak menetapkan pajak secara jabatan jika cara biasa tidak dapat dilakukan!
Bagaimana jika menolak membuat surat pernyataan? Pemeriksa pajak harus membuat berita acara penolakan. Apapun caranya, baik dengan membuat surat pernyataan atau dibuatkan berita acara penolakan memiliki konsekuensi yang yang sama-sama tidak menguntungkan bagi posisi Wajib Pajak. Bahkan tidak mungkin tindakan selanjutnya adalah penyegelan. Baik kantor maupun tempat lain yang dicurigai tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dapat disegel.
Tindakan penyegelan ibarat menghentikan sesuatu. Jika yang disegel adalah satu kantor, maka kantor tersebut tidak dapat dipergunakan lagi selama segel belum dibuka. Jika toko yang disegel, maka toko tersebut harus ditutup. Barang siapa yang membuka segel tanpa sepengetahuan pemeriksa pajak, maka penjara telah menanti karena membuka segel adalah perbuatan tindak pidana.
Bukan cuma itu, penolakan pemeriksaan juga bisa berujung pada penyidikan pajak. Tentu saja Wajib Pajak akan melalui hari-hari yang panjang dan melelahkan jika pemeriksaan sudah diarahkan pada penyidikan pajak. Karena itu, sebaiknya hindari penolakan pemeriksaan pajak sejak awal. Apapun bentuknya.
PenutupSaya kira, semua aparat negara yang melaksanakan tugas selalu diposisikan dan dibuat kuat. Ini karena aparat tersebut telah diberi tugas oleh undang-undang untuk bertindak atas nama negara. Dan demi kepentingan negara. Apakah hal seperti ini perwujudan dari sikap arogan? Apakah sikap seperti ini masih relepan pada masa sekarang?
Saya tidak dapat menjawab. Tetapi saya juga tidak dapat membayangkan, bagaimana jadinya jika sebaliknya. Aparat tidak berwibawa.
Komentar