Lahir Untuk Mencurigai

Seorang dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai pernah melontarkan bahwa fiskus itu dilahirkan untuk mencurigai Wajib Pajak. Itulah, salah satu alasan mengapa “administrator” perpajakan memandang perlunya dibuat faktur pajak standar. Bukankah setiap transaksi legal mestinya terdapat faktur (komersial)? Kenapa faktur tersebut tidak cukup bagi pajak? Bukankah pembuatan faktur pajak standar akan menambah biaya yang pada ujungnya akan memperkecil laba usaha?

Tetapi kalau kita perhatikan, ternyata kecurigaan fiskus itu tidak hanya dalam masalah faktur pajak standar, tetapi hampir semua kegiatan Wajib Pajak. Apalagi jika yang diperhatikan adalah tradisi yang turun-temurun dalam dikehidupan perilaku birokrat fiskus. Akan lebih terasa jika seorang Wajib Pajak sedang diperiksa oleh kantor pajak.

Saya tidak tahu, apakah sikap curiga juga tumbuh dalam tradisi general audit seperti yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan Badan Pemeriksa Keuangan. Apakah auditor Kantor Akuntan Publik akan merasa hebat jika menemukan penyimpangan keuangan auditee? Apakah temen-temen auditor Badan Pemeriksa Keuangan akan merasa berprestasi jika mendapatkan “penyimpangan prosedur”? Jika jawabannya, iya, saya kira begitulah tradisi audit?

Fiskus adalah satu-satunya institusi (apa pun nama institusi itu) yang berhak mengawasi kegiatan Wajib Pajak. Kalimat tanya yang pasti keluar dari fiskus ketika menerima Surat Pemberitahuan adalah ,”Apakah sudah benar?” Kata benar dalam hal ini bisa diterjemahkan: tidak ada yang disembunyikan oleh Wajib Pajak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, fiskus setidaknya melakukan dua hal, yaitu penelitian dan pemeriksaan. Penelitian adalah kegiatan fiskus untuk menilai kelengkapan dan kebenaran perhitungan (tambah, kurang, bagi dan kali) Surat Pemberitahuan. Sedangkan pemeriksaan pada dasarnya semua tindakan fiskus untuk menguji kepatuhan semua kewajiban perpajakan.

Bukan Pak PosKonon, ketika “jaman jahiliah”, yang namanya pemeriksaan pajak mirip reserse menangkap penjahat. Pemeriksa pajak dipersenjatai pistol untuk jaga diri. Pemeriksa disebar untuk mengepung lokasi Wajib Pajak. Secara mendadak, pemeriksa mendatangi kantor dan pabrik, langsung mencari dokumen atau catatan apa pun yang berkaitan dengan kegiatan Wajib Pajak dan langsung mengambil dokumen tersebut.

Kini, jaman jahiliah telah lewat. Aparat pajak diharuskan mentaati tata cara pemeriksaan pajak. Ada hak-hak Wajib Pajak yang tidak boleh dilanggar. Sebaliknya, dalam praktek, banyak hak-hak pemeriksa pajak yang dilupakan agar tidak disebut arogan. Celakanya, ketika pemeriksa pajak membongkar-bongkar arsip Wajib Pajak atau menyegel ruangan Wajib Pajak, selalu saja ada pandangan negatif. Padahal, kegiatan tersebut bagian dari hak pemeriksa pajak.

Semua pemeriksaan yang dilakukan oleh fiskus di Republik tercinta ini selalu dan wajib didahului dengan adanya Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3). Bersamaan dengan keluarnya SP3, selalu disertai Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa yang bersangkutan sedang diperiksa. Walaupun bukan idealnya, tetapi pada prakteknya, ketika surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada Wajib Pajak, pemeriksa pajak telah menyiapkan Surat Peminjaman Dokumen.

Hari pertama pemeriksaan dihitung sejak SP3 dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan diterima oleh Wajib Pajak. Untuk bukti bahwa pemeriksa telah mendatangi lokasi Wajib Pajak dan menyampaikan SP3, biasanya pemeriksa meminta tanda tangan dan stempel dari Wajib Pajak. Di Jakarta, banyak Wajib Pajak yang menganggap bahwa pemeriksa pajak sama dengan tukang pos yang mengantar surat. Cukup diterima oleh petugas penerima tamu atau Pak Satpam.

Padahal kedatangan pemeriksa pajak ke lokasi Wajib Pajak lebih dari sekedar menyampaikan SP3. Hal yang lebih penting adalah melakukan wawancara dengan direksi tentang kegiatan Wajib Pajak dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan Wajib Pajak baik di kantor maupun tempat produksi. Terakhir memeriksa arsip dokumen baik di kantor atau gudang. Setelah itu baru meminjam dokumen-dokumen yang dianggap penting pada saat itu juga.

Banyak direksi yang merasa enggan (mungkin takut?) menemui pemeriksa pajak. Petugas terpaksa berbohong bahwa direksi tidak ada ditempat walaupun sebelumnya mengatakan ada. Apa boleh buat! Wajib Pajak juga banyak yang keberatan dengan pemeriksaan lapangan dan peminjaman buku pada saat itu juga. Biasanya Wajib Pajak meminta tempo dua atau tiga hari. Dan pada kenyataannya bisa sampai berminggu-minggu, dokumen belum juga nongol di kantor pajak.

Bagi pemeriksa pajak, sikap tidak kooperatif tersebut akan menimbulkan kecurigaan. Kenapa direksi tidak mau diwawancarai? Kenapa peminjaman dokumen harus menunggu waktu berhari-hari? Bukankah dokumen tinggal mengambil di gudang? Atau dokumen baru akan dibuat? Kalau demikian, bagaimana dengan SPT yang dibuatnya? Jangan-jangan...

Anggap rumah sendiriDulu, surat panggilan dikeluarkan untuk closing confrence. Sekarang ini, pemeriksa pajak dapat mengeluarkan surat panggilan kepada Wajib Pajak hanya untuk meminta keterangan dari Wajib Pajak. Tetapi, sebaiknya Wajib Pajak datang ke kantor pajak tidak perlu menunggu surat panggilan. Wajib Pajak dapat datang ke kantor pajak kapan saja selama jam kerja. Terus terang saja, pemeriksa pajak akan senang jika sering ditengok Wajib Pajak karena informasi yang dapat digali bisa lebih banyak.

Tidak sedikit Wajib Pajak yang sulit datang ke kantor pajak. Jika alasannya dibuat-buat atau terkesan dibuat-buat, pemeriksa pajak akan memiliki citra yang jelek terhadap Wajib Pajak ini. Mungkin disebut “WP bandel” atau “WP susah”. Apa pun sebutannya, citra tersebut jelas akan merugikan Wajib Pajak sendiri. Pemeriksa pajak akan sewenang-wenang berdasarkan kewenangannya melakukan penghitungan pajak. Mungkin akan melakukan koreksi fiskal yang sebenarnya tidak perlu.

Kadang-kadang pemeriksa pajak melakukan koreksi fiskal karena ketidaktahuannya. Apa dan bagaimana core business Wajib Pajak? Mengapa dan untuk apa biaya “ini”? Benarkah ada pinjaman pemegang saham? Mengapa perusahaan tidak pernah membagikan deviden? Apa menfaat perusahaan bagi pemegang saham jika tidak ada deviden? Pertanyaan seperti itu hanya akan terjawab jika Wajib Pajak bertemu dengan pemeriksa pajak dan menjelaskan hal sebenarnya.

Selain itu, banyak informasi yang sangat bermanfaat jika diketahui oleh pemeriksa tetapi tidak akan didapat dari buku besar. Walaupun informasi tersebut tidak terkait langsung dengan masalah penghasilan dan biaya. Tetapi informasi tentang “latar belakang” suatu pekerjaan, proyek, kebijakan direksi dan kegiatan sehari-hari pegawai akan membantu pemeriksa pajak dalam rangka memahami kenyataan Wajib Pajak secara utuh. Jangan sampai Wajib Pajak dirugikan karena pemahaman pemeriksa pajak yang terbatas.

Contoh yang paling sering ditemukan dalam buku besar tetapi sering membingungkan pemeriksa adalah jurnal penyesuaian akhir tahun. Wajib Pajak harus menjelaskan alasan dan perhitungan jurnal penyesuaian pada akhir tahun. Coret-coretan untuk menghitung jurnal penyesuaian jangan hilang! Bisa jadi karena ketidakjelasan alasan dan perhitungan, jurnal penyesuaian tersebut dikoreksi (biasanya pada biaya-biaya) sehingga biaya tersebut berkurang.

Contoh lain adalah apa yang sering disebut sebagai “ayat silang”. Tanpa penjelasan, pemeriksa pajak mungkin akan bingung dari mana dan kemana saling silangnya. Apalagi jika ayat silang tersebut menggunakan “keranjang sampah”. Hal seperti ini ibarat mencampur beberapa warna cat kedalam satu ember. Hasilnya tentu warna lain. Karena itu, alur ayat silang harus jelas. Begitu juga perhitungan dibalik munculnya angka, jangan disembunyikan saja!

Pembuktian itu Penting
Konon, lagi, pada jaman jahiliah, para pemeriksa pajak punya mantra sakti mandraguna. Semua Wajib Pajak tidak dapat berkutik jika mantra itu sudah diucapkan. Mau tau mantra itu? Pokoknya! Kata “pokoknya” adalah mantra pemeriksa pajak pada jaman itu. Karena masih official assessment maka semua pajak terutang dihitung oleh kantor pajak. Ditambah lagi budaya birokrat priyayi yang masih netes.

Sekarang kata itu tidak ada artinya. Hilang kesaktiannya. Sebagai gantinya mungkin kalimat ini, “Buktikan dong!”. Pemeriksa pajak akan mengoreksi semua biaya yang tidak didukung dengan dokumen (ekstern) yang lengkap. Selain itu, pemeriksa akan menambah penghasilan Wajib Pajak jika menurut analisisnya, atau bukti yang ditemukan, ada penghasilan yang belum dilaporkan. Satu-satunya senjata untuk mematahkan koreksi tersebut adalah hitam diatas putih yang dibuat fihak lain atau dokumen-dokumen lain yang memiliki kekuatan hukum.

Mungkin kalau dalam istilah hukum namanya pembuktian terbalik. Wajib Pajak diharuskan membuktikan bahwa semua koreksi yang dilakukan oleh fiskus tidak benar. Berbeda dengan pembuktian yang dilakukan oleh pak Polisi. Penyidik di kepolisian atau kejaksaan, harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa tersangka benar-benar melakukan tindak pidana. Tapi jangan lupa, penyidik PNS pajak juga bekerja dengan cara yang sama. Hanya pemeriksa pajak yang bekerja sebaliknya.

Wajib Pajak sering datang ke kantor pajak dengan mengeluh begini dan begitu. Begitu juga ketika melihat koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Ratusan kata akan keluar dari fihak Wajib Pajak. Padahal kata-kata saja tidak cukup. Pemeriksa pajak banyak yang tidak percaya pada kata-kata yang keluar, tetapi akan percaya pada dokumen tertulis. Begitu juga dengan catatan pada buku besar. Buku besar mungkin dianggap rekayasa Wajib Pajak, sehingga pemeriksa pajak akan meminta dokumen pendukung atas semua transaksi yang dicatat di buku besar. Apalagi jika sejak awal, Wajib Pajak telah menunjukkan sikap apriori atau tidak kooperatif (tidak terbuka, terkesan ada yang ditutupi atau tidak memberikan akses yang seluas-luasnya!). Wah, bertambahlah ketidakpercayaan si pemerika. Apakah ini juga sikap curiga? Bisa juga sih.

Norma PenghasilanNorma penghitungan penghasilan neto merupakan salah satu cara fiskus untuk menghitung pajak terutang. Untuk mendapatkan angka tertentu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membentuk suatu tim dengan tugas mengadakan penelitian baik dari data eksternal DJP maupun data yang dimiliki DJP tentang kewajaran laba bersih suatu jenis usaha tertentu. Hasil tim inilah yang diangkat menjadi Keputusan Dirjen Pajak.

Niat awal norma penghitungan penghasilan neto sebenarnya membantu Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan untuk menentukan penghasilan neto. Jika Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan, otomatis tidak perlu lagi norma penghitungan karena kegiatan sebenarnya telah tergambar dalam pembukuan tersebut. Wajib Pajak yang (mampu) menyelenggarakan pembukuan tidak perlu menggunakan norma. Jika ngotot mau pakai norma, misalnya dengan alasan omsetnya kurang dari Rp600.000.000,00, maka Wajib Pajak tersebut akan rugi karena yang namanya norma penghitungan tidak mengenal rugi. Selalu untung. Namanya juga norma penghitungan penghasilan neto bukan ke norma penghitungan kerugian neto.

Celakanya, kadang-kadang alias tidak selalu, pemeriksa pajak mengacu ke norma penghitungan tersebut untuk menentukan persentase laba bersihnya. Jika masih dibawah norma, pemeriksa tersebut merasa kurang sreg. Lebih celaka lagi, pemeriksa internal (Itjen) Departemen Keuangan, yang memeriksa laporan dan kertas kerja pemeriksaan, kadang-kadang ikut-ikutan menjadikan norma penghitungan sebagai acuan. Jika menemukan laporan pemeriksaan pajak yang persentase laba bersihnya dibawah norma, bersemangatlah dia mencari kesalahan yang dibuat.

Wah, repot yah! Kenapa harus sama dengan norma penghitungan? Tapi anggap saja itu tidak ada karena prinsip yang harus dipegang adalah SPT diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam ilmu perpajakan, kenyataan akan mengalahkan formalitas. Orang Inggris bilang the substance-over-form. Kita harus membayar pajak berdasarkan kenyataan sebenarnya.

Penutup
Tulisan ini hanya mengungkap sedikit perilaku pemeriksa pajak. Juga hanya membeberkan bebarapa alasan mengapa muncul koreksi fiskal oleh pemeriksa pajak. Banyak alasan mengapa dikoreksi. Sharing! Begitulah nawaitu tulisan ini. Semoga ada pembaca yang berbagi pengalaman (lagi) dan berbagi ilmu untuk menambah wawasan.

[Catatan : tulisan ini telah dimuat di Berita Pajak, No. 1515/Tahun XXXVI/15 Mei 2004]

Komentar

subtu mengatakan…
Banyak koreksi pemeriksa pajak yang mentah di Pengadilan Pajak.
Saat proses persidangan, WP seringkali bisa membuktikan bahwa koreksi yag dilakukan pemeriksa pajak tidak benar.
Akhirnya Pengadilan Pajak mengabulkan banding WP dan DJP harus membayar imbalan bunga.
Bagaimana pak Suparman menanggapi hal ini?
terima kasih
Raden Agus Suparman mengatakan…
tidak perlu di lihat dari memang salah, tapi lihat dari sisi keadilan. setidaknya keadilan menurut hakim pajak.

imbalan bunga adalah HALAL karena diatur oleh undang-undang. pemberian imbalan bunga bukan merupakan kerugian negara atau sejenisnya, ini hanya terkait "kadeudeuh" negara karena wajib pajak kehilangan "opportunity cost"
Anonim mengatakan…
pada dasarnya, pemeriksa kadang seperti anak kecil... klo "maunya" dipenuhi, biasanya dia akan jd anak manis... tp klo ga, bisa beringas... sampe ga ada dasar hukumnya pun tetap maunya koreksi... bagaimana tanggapan Pak Suparman? karena di ktr saya, terakhir kami dikoreksi, peneliti keberatan sampai salah menulis UU yg dipakai, shg secara perdata hasil penelitian keberatan sudah cacat scr hukum, krn berdampak pd tdk adanya dsr hukum pd koreksinya...
Raden Agus Suparman mengatakan…
Setiap orang punya perilaku dan pendapat. Menurut si A perbuatan sesuatu berlebihan dan salah tapi menurut si B sebaliknya sedangkan menurut si C biasa-biasa ajah, bisa benar bisa salah :D

Kalau menurut saudara pemeriksa melakukan perbuatan yang salah, saudara bisa :
1. melaporkan si pemeriksa ke Direktorat Kepatuhan Internal di kantor pusat
2. melakukan proses keberatan dan banding atas produk hukum yang menurut saudara salah.

menggerutu saja tentu tidak menyelesaikan masalah :-)

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru