KEADILAN DALAM CUKAI

APA ITU CUKAI?Segala sesuatu, terutama sesuatu yang abstrak, dapat diketahui dari ciri-ciri sesuatu tersebut. Begitu juga dengan cukai, kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan cukai dari ciri-ciri cukai. Dibawah ini beberapa ciri cukai:
1. Cakupan yang selektif
Cukai merupakan pajak yang dikenakan kepada barang-barang tertentu atau jasa yang merupakan jenis aktivitas tertentu. Cakupan yang selektif merupakan ciri utama cukai untuk membedakan dengan pajak penjualan. Contoh yang disebut cukai adalah pajak atas produk minyak. Tetapi, di Inggris pada abad tujuh belas, cukai tidak hanya dikenakan kepada makanan, minuman dan barang-barang lain tetap juga dikenakan untuk rumah, perdagangan, kelahiran dan perkawinan.

2. Diskriminasi
Banyak sebab mengapa suatu produk atau jasa dikenakan cukai, antara lain:
a. Cukai dikenakan untuk mengontrol konsumsi barang-barang yang bertentangan dengan moral atau kesehatan. Contohnya cukai tembakau dan cukai alkohol. Bahkan di beberapa tempat dikenakan terhadap permainan kartu dan segala jenis judi.
b. Cukai dikenakan terhadap barang-barang mewah, seperti kosmetik, parfum, dan permata.
c. Cukai dikenakan untuk mendorong efesiensi penggunaan sumber daya. Contoh cukai jenis ini adalah cukai polusi.
d. Cukai bahan mentah (raw material) dimaksudkan untuk mencegah pemborosan pemakaian sumber daya alam.
e. Cukai dikenakan untuk mendorong memanfaatan tenaga kerja (padat karya). Produk hasil mesin dikenakan cukai lebih besar dibandingkan dengan produk hasil tangan.

CUKAI DI INDONESIA
Tidak semua negara memungut cukai. Tapi bagi Indonesia, cukai adalah sumber pendapatan negara yang cukup dapat diandalkan. Buktinya, tiap tahun pendapatan cukai di APBN selalu meningkat. Untuk mengetahui binatang apa cukai itu, kita lihat dalam undang-undang yang berlaku :
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai menyebutkan, “Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 11 Tahun 1995, ” (1) Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari :
a. etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;
b. minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil;
c. hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.”

Selanjutnya menurut penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan etil alkohol atau etanol adalah barang cair, jernih, dan tidak berwarna, merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH, yang diperoleh baik secara peragian dan atau penyulingan maupun secara sintesa kimiawi. Sedangkan yang dimaksud dengan minuman yang mengandung etil alkohol adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman yang mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara peragian, penyulingan, atau cara lainnya, antar lain bir, shandy, anggur, gin, whisky, dan sejenisnya.

Kemudian, yang dimaksud dengan sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Rokok daun adalah hasil tempakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung, atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Dan, hasil pengolahan tembakau lainny adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau selain yang disebut diatas.


KEADILAN DALAM TEORI PERPAJAKANSetiap orang berpendapat bahwa sistem pajak harus bersifat adil, yaitu setiap wajib pajak harus memberikan bagian “yang layak” untuk membiayai kegiatan umum pemerintahan. Tetapi para ahli tidak bersepakat apa yang dimaksud dengan “yang layak” tersebut. Pada hakikatnya terdapat dua aliran pemikiran yang dapat dibedakan:

Pendekatan pertama disebut prinsip manfaat atau benefit pinciple. Prinsip ini pertama-tama dikemukakan oleh Adam Smith. Menurutnya, suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak, sesuai dengan manfaat yang diperolehnya dari jasa-jasa pemerintah. Berdasarkan sistem ini maka sistem pajak yang benar-benar adil akan sangat berbeda tergantung pada struktur pengeluaran pemerintah. Pendekatan kedua disebut prinsip kemampuan membayar atau ability to pay principle. Menurut prinsip ini, perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan pajak tertentu, dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya.

Penerapan Prinsip Manfaat
Menurut sistem manfaat, setiap wajib pajak akan dibebani pajak sesuai dengan permintaaannya terhadap jasa-jasa publik. Karena setiap orang mempunyai preferensi terhadap jasa publik yang berbeda-beda, maka tidak ada rumusan umum yang berlaku untuk semua orang. Setiap wajib pajak akan dikenakan pajak sesuai dengan hasil evaluasi terhadap masing-masing wajib pajak tersebut. Meskipun demikian, ada beberapa pola yang dapat kita kenali. Telah kita ketahui bahwa jenis barang-barang pribadi yang dibeli akan bervariasi sesuai dengan tingkat pendapatan setiap rumah tangga. Pola yang sama juga diharapkan berlaku untuk barang-barang sosial.

Jadi formula pajak yang tepat tergantung pada pola preferensi masyarakat. Lebih tepat lagi, formula ini tergantung pada elastisitas pendapatan dan elastisitas harga terhadap permintaan barang sosial. Jika elastisitas pendapatan tinggi, jumlah pajak yang berlaku akan meningkat dengan cepat sesuai dengan pertambahan pendapatan. Sebaliknya jika elastisitas harga yang tinggi maka kenaikan jumlah pajak akan lebih kecil.

Penerapan prinsip kemampuan membayarPrinsip kemampuan membayar mengatakan bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan sama harus membayar pajak dengan jumlah yang sama, sementara orang yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar lebih besar. Yang pertama disebut keadilan horisontal dan kedua disebut keadilan vertikal. Prinsip keadilan horisontal dengan demikian hanya menerapkan prinsip dasar keadilan berdasarkan undang-undang. Prinsip keadilan vertikal juga memberikan perlakuan yang sama, tetapi beranggapan bahwa mereka yang mempunyai kemampuan berbeda, harus membayar jumlah pajak yang berbeda pula. Penerapan kedua kaidah tersebut memerlukan ukuran kuantitatif mengenai kemampuan membayar.

Pendapatan telah diterima secara luas sebagi ukuran untuk menentukan kemampuan membayar pajak. Akan tetapi, beberapa pihak tetap berpendapat bahwa konsumsi merupakan pilihan yang jauh lebih baik. Sebagian ahli berpendapat bahwa wajib pajak harus membayar pajak berdasarka apa yang dikonsumsikannya dan bukan berdasarkan apa yang ditabungkannya. Pendekatan berdasarkan konsumsi memberikan rasa keadilan karena hal ini menempatkan beban yang sama terdapat setiap orang yang mempunyai kemampuan konsumsi yang sama.

APAKAI CUKAI KITA ADIL?Sesuai dengan karakteristik cukai sebagaimana dipaparkan diatas, cukai hanya dibebankan kepada barang-barang tertentu. Khusus di Indonesia, cukai dikenakan terhadap etil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau yang meliputi : sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris dan hasil pengolahan tembakau lainya.

Karena hanya dikenakan terhadap barang-barang tertentu saja, maka sulit sekali melihat keadilan dalam sistem cukai di Indonesia. Prinsip manfaat, mensyaratkan bahwa wajib pajak membayar sejumlah pajak tertentu sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Semakin besar wajib pajak membayar pajak, semakin besar manfaat yang diterimanya. Pada masyarakat yang demokratis, wajib pajak cenderung menggunakan kaidah ini.

Sedangkan cukai tidak merepresentasikan manfaat yang timbal balik. Pembayar cukai, seperti perokok, tidak pernah mensyaratkan manfaat yang diberikan oleh pemerintah terhadap para perokok. Bahkan sebaliknya, pemerintah mendorong pembatasan ruang-ruang bebas merokok. Pemerintah mengkampanyekan larangan merokok untuk ruangan fasilitas umum seperti di bis, ruang tunggu, ruang kantor, dan lain-lain. Ini artinya, fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk ruangan tempat merokok justru semakin diperkecil.

Sedangkan, prinsip kemampuan membayar tidak dapat digunakan untuk analisis keadilan dalam cukai. Para wajib pajak dikatakan mendapat perlakuan sama, jika besarnya jumlah pajak yang harus mereka bayar mencakup suatu pengorbanan atau hilangnya kesejahteraan yang sama. Hilangnya kesejahteraan diartikan sebagai hilangnya pendapatan. Berdasarkan anggapan ini, maka masyarakat dengan pendapatan atau kemampuan membayar yang sama harus membayar pajak dengan jumlah yang sama pula.

Yang sulit adalah tidak semua wajib pajak mengkonsumsi barang kena cukai. Ini artinya, dua orang dengan kemampuan yang sama tidak membayar pajak yang sama jika salah satu dari keduanya mengkonsumsi barang kena cukai sedangkan yang lainnya tidak.

KESIMPULANBerdasarkan paparan diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Cukai tidak menganut prinsip-prinsip keadilan terutama terutama jika standar penilaiannya adalah prinsip manfaat (benefit principle) dan prinsip kemampuan untuk membayar (ability to pay principlei).
b. Tujuan pengenaan cukai lebih kepada mengawasi konsumsi, mencegah akibat negatif, menciptakan lapangan kerja dan penerimaan pemerintah.

Catatan :
*) Tulisan ini adalah modifikasi dari makalah tentang cukai oleh penulis sendiri yang merupakan salah satu tugas mata kuliah “Bea dan Cukai” di FISIP UI


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru