Hibah, Bantuan, dan Sumbangan

Sebenarnya ada beberapan penerimaan yang bisa disebut penghasilan oleh definisi Pasal 4 ayat (1) UU PPh 1984 tetapi oleh undang-undang sendiri ditetapkan sebagai bukan penghasilan yang diatur di Pasal 4 ayat (3) UU PPh 1984. Pada posting kali ini akan diurang "penghasilan" yang berkaitan dengan hibah, bantuan, dan sumbangan sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008. Berikut adalah kutipan langsung sebagai dasar hukum :

Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [amandemen 2008] :
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kemudian ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 ini dijabarkan di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008. Berikut bunyi pasal 1 PMK tersebut :
Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:
a. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
b. badan keagamaan;
c. badan pendidikan;
d. badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; atau
c. orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

Inilah hibah, bantuan, dan sumbangan yang bukan objek PPh. Artinya jika ada hibah yang diluar batasan diatas maka hibah tersebut menjadi objek PPh. Tidak semua hibah bukan objek PPh. Tidak semua sumbangan bukan penghasilan. Supaya lebih jelas, berikut pengertian lebih lanjut yang diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008 ditambah dengan catatan saya 

[1.] Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah orang tua dan anak kandung. Jadi hibah kepada anak kandung, atau hibah kepada orang tua bukan objek PPh. Tetapi hibah yang diterima dari kakak, adik, anak angkat, mantu, mertua, orang lain merupakan objek PPh. Karena itu, jika kita menerima hibah dari mertua maka jangan dibilang dari mertua tapi hibah dari orang tua kepada anaknya [istri kita] . Ingat, satu keluarga adalah satu entitas tetapi garis keturunan tetap terpisah.

[2.] Badan keagamaan adalah badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari keuntungan. Menurut saya, suatu badan mencari keuntungan atau bukan bisa dilihat dari praktek atau operasional badan tersebut, bukan dari akta notaris atau tujuan pendirian. Apakah badan tersebut memperoleh penghasilan semata-mata untuk kegiatan keagamaan atau ada motif mencari keuntungan [bisnis].

[3.] Badan pendidikan adalah badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari keuntungan. Nah sekarang badan pendidikan tidak perlu takut lagi dikenakan PPh karena sudah jelas bahwa atas sumbangan ke badan pendidikan bukan objek PPh dengan syarat badan tersebut tidak mencari keuntungan. Ada yang berpendapat bahwa jika kampur terus-terusan membangun gedung berarti ada indikasi badan pendidikan tersebut mencari keuntungan. Saya pikir ini tidak tepat karena pembangunan gedung kuliah, gedung administrasi, fasilitas pendidikan [lab, perpus, ruang praktek], dan gaji pengajar keperluan "tak terpisahkan" dari proses pendidikan. Kecuali jika badan pendidikan tersebut memberikan keuntungan pribadi bagi pendiri atau pihak lain.

[4.] Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi adalah badan sosial yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:
[4.a.] pemeliharaan kesehatan;
[4.b.] pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
[4.c.] pemelihataan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
[4.d.] santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
[4.e.] pemberian beasiswa;
[4.f.] pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
[4.g.] kegiatan sosial lainnya,
yang tidak mencari keuntungan.

[5.] Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil adalah orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Perhatikan kata "yang" dan "atau" yang saya cetak tebal. Kata "yang" menunjukkan syarat kumulatif, sedangkan kata "atau" adalah syarat alternatif [opsi]. Artinya bisa dilihat dari kekayaan yang lima ratus juta rupiah atau memiliki omset dua milyar lima ratus juta rupiah. Mana yang memenuhi.

Kesemua hibah, bantuan, dan sumbangan tidak boleh diberikan dalam rangka pekerjaan, usaha, kepemilikan, atau penguasaan. Tetapi sampai sekarang saya belum menemukan aturan lebih lanjut tentang hal ini. Pendapat saya adalah pemberian tersebut tidak ada timbal balik.

Sebagai contoh, jika PT ABC memberikan sumbangan kepada badan pendidikan berupa software komputer untuk dipakai keperluan proses pendidikan maka sumbangan tersebut bukan objek PPh bagi penerima dan dicatat sebesar nilai buku dalam daftar harta badan pendidikan tersebut. Tetapi jika pemberian tersebut dikaitkan atau ada persyaratan timbal balik, misalnya badan pendidikan tersebut diminta melakukan penelitian untuk keperluan PT ABC, maka pemberian tersebut berkaitan dengan usaha atau pekerjaan.

Seyogyanya badan pendidikan tidak “menjual jasa” kecuali jasa pendidikan itu sendiri. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 menyebutkan :
Jenis jasa di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f meliputi :
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional; dan
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan Iuar sekolah, seperti kursus-kursus.


Dengan demikian, karena kegiatan penelitian tidak termasuk jasa di bidang pendidikan, maka [sebagai contoh] jika badan pendidikan melakukan penelitian dan hasilnya dijual baik secara langsung maupun tidak maka atas hasil penjualan tersebut objek PPh. Berbeda dengan sumbangan pendidikan baik dari mahasiswa atau pihak lain yang dipergunakan untuk penyelenggaraan pendidikan maka [berapapun jumlahnya] bukan objek PPh.

Mungkin dalam prakteknya akan lebih mudah lagi dibedakan mana objek PPh atau bukan, mana kegiatan sosial mana kegiatan "bisnis" yang dibungkus kegiatan sosial.

cag!

Komentar

Anonim mengatakan…
atas hibah dari orang tua tsb tapi kita tetap harus ada biaya BPHTB nya kan Pak?

thnx.
Anonim mengatakan…
Bagi penerima bantuan, sumbangan sbgmn di atas, bukan merupakan penghasilan.
Sebaliknya, bagi pihak yang memberikan, bisa dibiayakan ga???
Thx Mas.
Anonim mengatakan…
kl mendapatkan hibah berupa aktiva dr sister company,kemudian aktiva tsb dijual kembali,bagaimana perlakuan tarif pph nya pak?
tks
Anonim mengatakan…
kalau hibah perlu menyiapkan bukti pendukung apa pak?
& saya jg ingin menanyakan jika orang tua saya yg selama ini patuh membayar pajak pph 25 & tahunannya & skrg mereka sudah pensiun , sedangkan npwp tidak bisa dihapus, jd harus bgm pak biar mereka tdk perlu membayar & melaporkan SPT nya lagi? makasih sebelumnya atas bantuannya :)
Anonim mengatakan…
Yth Pak Raden Suparman
Saya mau tanya, saya (WNI) dan pasangan (seorang WNA) menikah siri, saat ini dia membeli rumah dengan status hak pakai (dalam sertifikat atas nama pasangan saya WNA) saat ini pasangan saya ingin membuat surat warisan yg menyatakan bahwa rumah tersebut akan diwariskan kepada saya. yang saya mau tanyakan apakah hal tersebut bisa, mengingat kami tidak menikah resmi (Siri), jika bisa kira kira berapa besar pajak yg akan dikenakan kepada saya. sebagai keterangan tambahan, pasangan saya seorang duda dan memiliki 2 anak kandung yang tinggal di negara asal pasangan saya (tidak tinggal diindonesia), mohon bantuannya dan sebelumnya saya ucapkan terima kasih
Unknown mengatakan…
Coba diteliti ulang, pmk 245 itu amanat psl 4 ayat (3) huruf a angka 1 atau amanat psl 4 ayat (1) huruf d angka 4..?
Itu subjek dan peristiwa hukumnya berbeda lo....?
Unknown mengatakan…
Coba diteliti ulang, pmk 245 itu amanat psl 4 ayat (3) huruf a angka 1 atau amanat psl 4 ayat (1) huruf d angka 4..?
Itu subjek dan peristiwa hukumnya berbeda lo....?
Anonim mengatakan…
Coba diteliti ulang, pmk 245 itu amanat psl 4 ayat (3) huruf a angka 1 atau amanat psl 4 ayat (1) huruf d angka 4..?
Itu subjek dan peristiwa hukumnya berbeda lo....?
Unknown mengatakan…
PMK-245 dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4; dan
Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2

ini copas bagian menimbang:
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4 dan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Badan-Badan dan Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha Mikro dan Kecil yang Menerima Harta Hibah, Bantuan, atau Sumbangan yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan.

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru