Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan Khusus berdasarkan instruksi dari Kepala Kantor Wilayah DJP dilakukan apabila terdapat hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan yang dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP yang perlu ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus.
Pemeriksaan Khusus berdasarkan instruksi dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dilakukan dengan alasan sebagai berikut:
a. Terdapat hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan yang dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan yang perlu ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus.
b. Sebab lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak yang antara lain karena adanya permintaan dari Wajib Pajak tertentu, antara lain:
1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara;
2) Wajib Pajak yang akan melakukan Rapat Umum Pemegang Saham;
3) Wajib Pajak yang kepemilikannya akan dialihkan; atau
4) Wajib Pajak akan melakukan IPO atau Emisi Saham/Obligasi.
c. Terdapat hasil analisis risiko secara komputerisasi (selama ini disebut Kriteria Seleksi) yang berupa skor risiko ketidakpatuhan dengan memperhatikan variabel-variabel tertentu serta adanya data dan informasi.
Selain yang disebutkan di SE-10/PJ/2008 huruf “b” diatas, Wajib Pajak yang menginginkan adanya surat ketetapan pajak bisa juga meminta diperiksa oleh kantor pajak. Pengalaman saya, ternyata banyak juga Wajib Pajak yang meminta diperiksa. Padahal pada umumnya Wajib Pajak menghindari pemeriksaan oleh Wajib Pajak. Salah satu contoh Wajib Pajak yang meminta diperiksa oleh kantor pajak adalah Wajib Pajak yang akan melakukan kerja sama dengan investor. Seringkali investor luar negeri meminta surat ketetapan pajak atas tahun pajak tertentu supaya ada kepastian hukum bagi investor.
Pada zamar “pra-modern” pemeriksaan khusus ini seringkali dijadikan pintu bahan objekan pegawai pajak. Salah satu teman sekantor memberi istilah “arisan” untuk proses pemeriksaan terhadap Wajib Pajak tertentu. Sebagai contoh begini, “Kalau dulu, WP itu selalu jadi arisan antara Kanwil dan Karikpa. Tahun kemarin diperiksa Kanwil, sekarang diperiksa Karikpa.”
Tidak jarang juga Wajib Pajak yang rutin diperiksa meminta “waktu bernapas”. Penggunaan istilah “waktu bernapas” sudah menunjukkan bahwa pada waktu diperiksa, si Wajib Pajak dalam kondisi tertekan. Dan istilah ini saya dengar bukan hanya di satu tempat. Tetapi sudah merata. Artinya, Wajib Pajak yang rutin diperiksa [bukan dengan kemauan sendiri] setiap tahun sebenarnya dalam kondisi tidak senang.
Saya kira, sejak modernisasi pemeriksaan lebih ke pemeriksaan rutin. Kegiatan pemeriksaan khusus akan sedikit dibandingkan dengan pemeriksaan rutin. Hal ini terjadi karena jumlah fungsional pemeriksa pajak masih kurang maka fungsional pemeriksa pajak yang ada akan kewalahan untuk melakukan pemeriksaan rutin. Sebelum ada KPP pratama, memang KPP melakukan pemeriksaan tetapi tenaga pemeriksa bisa diambil dari siapa saja. Sedangkan sejak jadi KPP pratama, maka pemeriksa pajak harus fungsional. Memang dalam kondisi “darurat” dikeluarkan peraturan bahwa pegawai non fungsional boleh menjadi pemeriksa tetapi pelaksanaannya saya pikir bersifat sementara.
Selain itu, saya dengar bahwa sekarang administrasi pemeriksaan sudah lebih baik sehingga tidak setiap KPP yang mengajukan pemeriksaan khusus dapat dikabulkan oleh kantor pusat. Bahkah selama tahun 2008 kemarin, pemeriksaan khusus yang mendapat persetujuan kantor pusat [pemeriksaaan khusus se Indonesia] sangat sedikit. Selain masalah ketersediaan pegawai fungsional pemeriksa pajak, dan administrasi pemeriksaan, faktor re-organisasi juga berpengaruh. Sekarang ini “pemeriksaan biasa” [maksudnya pemeriksaan rutin dan khusus] dilakukan oleh KPP pratama. Sedangkan sebelum modernisasi, Wajib Pajak diperiksa bisa oleh KPP, Karikpa, atau Kanwil. Bahkan bisa juga oleh kantor pusat.
Pemeriksaan Khusus berdasarkan instruksi dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dilakukan dengan alasan sebagai berikut:
a. Terdapat hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan yang dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan yang perlu ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus.
b. Sebab lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak yang antara lain karena adanya permintaan dari Wajib Pajak tertentu, antara lain:
1) Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara;
2) Wajib Pajak yang akan melakukan Rapat Umum Pemegang Saham;
3) Wajib Pajak yang kepemilikannya akan dialihkan; atau
4) Wajib Pajak akan melakukan IPO atau Emisi Saham/Obligasi.
c. Terdapat hasil analisis risiko secara komputerisasi (selama ini disebut Kriteria Seleksi) yang berupa skor risiko ketidakpatuhan dengan memperhatikan variabel-variabel tertentu serta adanya data dan informasi.
Selain yang disebutkan di SE-10/PJ/2008 huruf “b” diatas, Wajib Pajak yang menginginkan adanya surat ketetapan pajak bisa juga meminta diperiksa oleh kantor pajak. Pengalaman saya, ternyata banyak juga Wajib Pajak yang meminta diperiksa. Padahal pada umumnya Wajib Pajak menghindari pemeriksaan oleh Wajib Pajak. Salah satu contoh Wajib Pajak yang meminta diperiksa oleh kantor pajak adalah Wajib Pajak yang akan melakukan kerja sama dengan investor. Seringkali investor luar negeri meminta surat ketetapan pajak atas tahun pajak tertentu supaya ada kepastian hukum bagi investor.
Pada zamar “pra-modern” pemeriksaan khusus ini seringkali dijadikan pintu bahan objekan pegawai pajak. Salah satu teman sekantor memberi istilah “arisan” untuk proses pemeriksaan terhadap Wajib Pajak tertentu. Sebagai contoh begini, “Kalau dulu, WP itu selalu jadi arisan antara Kanwil dan Karikpa. Tahun kemarin diperiksa Kanwil, sekarang diperiksa Karikpa.”
Tidak jarang juga Wajib Pajak yang rutin diperiksa meminta “waktu bernapas”. Penggunaan istilah “waktu bernapas” sudah menunjukkan bahwa pada waktu diperiksa, si Wajib Pajak dalam kondisi tertekan. Dan istilah ini saya dengar bukan hanya di satu tempat. Tetapi sudah merata. Artinya, Wajib Pajak yang rutin diperiksa [bukan dengan kemauan sendiri] setiap tahun sebenarnya dalam kondisi tidak senang.
Saya kira, sejak modernisasi pemeriksaan lebih ke pemeriksaan rutin. Kegiatan pemeriksaan khusus akan sedikit dibandingkan dengan pemeriksaan rutin. Hal ini terjadi karena jumlah fungsional pemeriksa pajak masih kurang maka fungsional pemeriksa pajak yang ada akan kewalahan untuk melakukan pemeriksaan rutin. Sebelum ada KPP pratama, memang KPP melakukan pemeriksaan tetapi tenaga pemeriksa bisa diambil dari siapa saja. Sedangkan sejak jadi KPP pratama, maka pemeriksa pajak harus fungsional. Memang dalam kondisi “darurat” dikeluarkan peraturan bahwa pegawai non fungsional boleh menjadi pemeriksa tetapi pelaksanaannya saya pikir bersifat sementara.
Selain itu, saya dengar bahwa sekarang administrasi pemeriksaan sudah lebih baik sehingga tidak setiap KPP yang mengajukan pemeriksaan khusus dapat dikabulkan oleh kantor pusat. Bahkah selama tahun 2008 kemarin, pemeriksaan khusus yang mendapat persetujuan kantor pusat [pemeriksaaan khusus se Indonesia] sangat sedikit. Selain masalah ketersediaan pegawai fungsional pemeriksa pajak, dan administrasi pemeriksaan, faktor re-organisasi juga berpengaruh. Sekarang ini “pemeriksaan biasa” [maksudnya pemeriksaan rutin dan khusus] dilakukan oleh KPP pratama. Sedangkan sebelum modernisasi, Wajib Pajak diperiksa bisa oleh KPP, Karikpa, atau Kanwil. Bahkan bisa juga oleh kantor pusat.
Komentar
Kalo KPP ngusul pemsus kan mesti ada analisis risiko and automatically ada himbauan plus konseling ya, Pak...
Nah, itu kalo himbauan udah tapi tu WP ga konseling ke kita juga sampai batas waktunya, apa mesti kita undang untuk konseling atau langsung lanjut usul pemsus ke kanwil?
Saya jadi bingung antara peraturan yang ada dan saran dari teman...
Mohon bantuan Bapak...
Terima kasih...