Pengungkapan Ketidakbenaran

Istilah "Pengungkapan Ketidakbenaran" muncul di tingkat peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak. Pengungkapan ketidakbenaran mengacu ke Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU KUP. Judul Pasal 8 UU KUP sendiri "Pembetulan SPT". Tetapi pembetulan sendiri hanya diatur di ayat (1), sedangkan ayat (3) dan (4) mengatur pembetulan. Mari kita bandingkan kata-kata yang saya garis bawahi:

Pasal 8 ayat (1) UU KUP
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
Pasal 8 ayat (3) UU KUP
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Pasal 8 ayat (4) UU KUP
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya ...
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 mengatur lebih lanjut ketentuan pengungkapan ketidakbenaran, yaitu di Bagian Ketiga, Pasal 7 dan Pasal 8 dan diberi judul "Pengungkapan Ketidakbenaran". Walapun Pasal 8 UU KUP diberijudul "Pembetulan SPT" tetapi ayat (3) dan (4) bukan Pembetulan SPT tetapi Pengungkapan Ketidakbenaran.

Di UU KUP hanya disebutkan "pemeriksaan" untuk Pasal 8 (3) dan Pasal 8 (4) UU KUP. Tetapi di Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 sudah ada pemisahan yang jelas bahwa Pasal 9 (3) UU KUP dimaksudkan untuk pemeriksaan Bukti Permulaan. Saya kutif Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011:
Apabila setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Di bagian penjelasan Pasal 7 (1) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 menyebutkan :
meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan.
Dari dua kutifan tersebut semakin jelas bahwa Pasal 8 (3) UU KUP dilakukan pada saat sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Kemudian setelah dilakukan pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3) UU KUP maka pemeriksaan bukti permulaan telah dilanjutkan untuk membuktikan kebenaran. Jika benar maka pemeriksa bukti permulaan menerima. Dan kepada Wajib Pajak harus diberitahu bahwa tidak akan dilanjutkan ke proses penyidikan. Keharusan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis di atur di Pasal 6 ayat (7) huruf b Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011.

Tetapi jika pengungkatan tersebut menurut pemeriksa tidak benar, maka proses pemeriksaan bukti permulaan dilanjutkan dan ditingkatkan di proses penyidikan. Ini diatur di Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011.

Selain memperjelas posisi antara pemeriksaan dan pemeriksaan bukti permulaan, Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 juga memperluas "pemaknaan". Perluasan yang saya maksud tertulis di bagian penjelasan  Pasal 7 (1) Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang secara lengkap saya kutif dibawah. Bagian yang saya maksud perluasan digarisbawahi.
Prinsip dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar dan  melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya.
Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu :
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja, Direktur Jenderal Pajak akan melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum melakukan Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam rangka penerapan sistem self assessment secara konsisten, meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan.

Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulai dilakukan Penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak.
Dari 2 kalimat yang digarisbawahi, kita bisa memaknai bahwa pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3) UU KUP dapat dilakukan untuk perbuatan [1.] tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau [2.] menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Kedua perbuatan tersebut dilakukan dengan alpa dan sengaja! Konon kabarnya, "pemaknaan" ini berdasarkan prinsip equal treatment dengan Pasal 44B UU KUP. Perbedaannya, Pasal 8 (3) UU KUP untuk menghentikan proses pemeriksaan bukti permulaan dan supaya tidak ditingkatkan di proses penyidikan. Sedangkan Pasal 44B untuk menghentikan penyidikan dan supaya tidak dilanjutkan ke proses penuntutan.

Sedangkan pengungkatan ketidakbenaran Pasal 8 (4) UU KUP digunakan:
[1.] proses pemeriksaan
[2.] sanksi 50%
[3.] berlaku Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Tiga hal diatas yang menurut saya pembeda antara pengungkapan ketidakbenaran Pasal 8 (3) dan Pasal 8 (4) UU KUP. Yang satu proses pemeriksaan bukti permulaan, satu lagi proses pemeriksaan. Sanksi di proses pemeriksaan bukti permulaan 150% tetapi sanksi di proses pemeriksaan cukup 50%. Di proses pemeriksaan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Sedangkan di proses pemeriksaan bukti permulaan tidak diatur. Artinya terhadap Pajak Masukan yang belum dilaporkan dapat diakui atau ditolak.

Secara lengkap saya kutif ketentuan pelaksanaan Pasal 8 (4) UU KUP yang diatur di Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011:
(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang, sepanjang pemeriksaan pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan.
(2) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
  1. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;
  2. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
  3. Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen).
(3) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar.
(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tersebut.
(5) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan.
(7) Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.




Komentar

Yona mengatakan…
Apabila wanita kawin dgn NPWP terpisah (punya NPWP sendiri sejak masih single & tdk merubah) sedang diperiksa oleh tim pemeriksa Pajak karena lebih bayar (sehubungan dgn setoran zakat), dan ternyata laporan disimulasikan oleh petugas pemeriksa sesuai dgn peraturan SE-29/2010 dimana penghasilan harus digabung dgn suami dan pajak dihitung proporsional yg mengakibatkan kurang bayar dgn jumlah substantial. Apakah dapat mengkoreksi laporan pajak berdasarkan pasal 8 ayat 4 UU KUP? Artinya mengkoreksi laporan yang awalnya ada pengurangan zakat, menjadi tidak ada pengurangan zakat dan status tetap TK/0 dimana laporan pajak tidak menggabungkan penghasilan dgn suami.

Apakah ada sangsi bila dikoreksi dgn kasus spt disebutkan diatas? Trims.
Raden Agus Suparman mengatakan…
Untuk wajib pajak dengan status karyawan lebih baik mengacu ke Pasal 8 ayat (1) UU PPh. Silakan baca bagian penjelasannya. Disitu jelas tertulis bahwa jika penerimaan istri berasal dari satu pemberi kerja "saja" maka penghitungan PPh-nya menjadi final.
mr anonim mengatakan…
apabila wajib pajak orang pribadi pada SPT PPh tahunan melaporkan kewajiban pajaknya dengan menggunakan norma lalu pada saat pemeriksaan ingin mengungkapkan ketidakbenaran dengan menunjukkan pembukuan karena diketahui bahwa peredaran usahanya sudah melebihi batasan boleh menggunakan norma/pencatatan, apakah atas pembukuan tersebut bisa dipertimbangkan oleh pemeriksa?
mr anonim mengatakan…
apabila wajib pajak orang pribadi melaporkan SPT tahunan PPh menggunakan norma, lalu saat pemeriksaan diketahui peredaran usahanya telah melebihi batas diperbolehkan menggunakan norma/pencatatan lalu WP bermaksud mengungkapkan ketidakbenaran dengan menghitung ulang pajaknya dengan menunjukkan pembukuan yang diselenggarakan, apakah dalam menghitung pajak terhutang pemeriksa tetap menggunakan norma atau menggunakan pembukuan yang ditunjukan wajib pajak pada pengungkapan ketidakbenaran?
Raden Agus Suparman mengatakan…
bisa, silakan
itu namanya pengungkapan ketidakbenaran.
acuannya Pasal 8 (4) UU KUP
hanya saja pemeriksaan tetap dilanjutkan untuk menilai apakah pengungkatan tersebut sudah sesuai kondisi sebenarnya.
Raden Agus Suparman mengatakan…
ini sama ya dengan yang atas
Anonim mengatakan…
apabila ada wajib pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atas kewajiban PPN, mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya, dalam hal ini terdapat penyerahan kepada non pkp yang sebelumnya tidak dipungut PPN, dengan membayar pokok pajak + sanksi 150%/200%, apakah selain itu masih bisa dikenakan sanksi stp pasal 14 ayat(4)?
Raden Agus Suparman mengatakan…
cukup itu saja pa.
pengungkapan ketidakbenaran.

kalau stp, menurut saya, harus seiringan dengan SKPKB.
Unknown mengatakan…
pengungkapan ketidakbenaran/pembetulan spt setelah daluwarsa penetapan bisa tdk? tolong dijelaskan
Raden Agus Suparman mengatakan…
Pengungkapanketidakbenaran atau Pembetulan SPT berasal dari itikad baik Wajib Pajak untuk menunaikan kewajiban perpajakan. Dari sisi Wajib Pajak sebenarnya tidak ada istilah daluwarsa. Boleh saja bayar ke Negara walaupun dari sisi UU KUP sudah daluwarsa penetapan.

Pembayaran pajak yang sudah daluwarsa disebut pembasuh batin :D
Anonim mengatakan…
WP diperiksa, melakukan pengungkapan ketidakbenaran yang berakibat Lebih Bayar PPN menjadi lebih kecil, apakah hal itu bisa dikatagorikan sebagai pengungkapan ketidak benaran, karena akibat yang ditimbulkan tidak ada pada Pasal 8 ayat (4) KUP

terima kasih
Raden Agus Suparman mengatakan…
Pengungkapan ketidakbenaran berdasarkan Pasal 8 (4) KUP adalah pada saat dilakukan pemeriksaan. Jika tidak sedang diperiksa, maka tidak masuk ke ayat (4). Bisa ayat (1) atau ayat (6).

Karena sedang dilakukan pemeriksaan, maka hal terpenting adalah keputusan pemeriksa. Apakah pemeriksa menganggap Pasal 8 ayat (4) atau bukan.

Lebih bayar lebih kecil bisa diakibatkan kredit pajak berkurang (dikurangi) atau pajak terutang lebih besar.

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru