Tentang PPN
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah salah satu cara pemerintah memungut pajak kepada warga negaranya. Target pemajakannya adalah konsumsi masyarakat. Jika di Pajak Penghasilan pemerintah memungut pajak pada tingkat “sumber penghasilan” maka pada Pajak Pertambahan Nilai memungut pajak pada tingkat “penggunaan penghasilan”. Jadi sebenarnya sama-sama memajaki penghasilan warga negara.
Dalam bahasa Inggris, jenis pajak ini disebut Value Added Tax dan biasa disingkat VAT. Value added adalah nilai yang “ditambahkan” dari bahan baku oleh produsen atau dari pembelian oleh pedagang. Walaupun demikian, penghitungannya dari total harga sebuah barang atau jasa.
Ada dua istilah yang harus dipahami untuk memahami PPN. Pertama adalah istilah pajak masukan (biasa disingkat PM). Istilah ini diperuntukan PPN yang kita bayar saat kita beli suatu barang atau jasa. Walaupun PPN tersebut dibayar kepada penjual barang atau jasa tetapi kita dapat menganggap jika PPN tersebut telah dibayar kepada kas negara. Jadi, pajak masukan merupakan kredit pajak kecuali jika UU PPN 1984 mengecualikan (biasa disebut PM yang tidak dapat dikreditkan).
Kedua adalah pajak keluaran (biasa disingkat PK). Istilah ini diperuntukkan bagi PPN yang kita pungut dari pembeli barang atau pengguna jasa. Pada saat beli barang kita bayar PPN tetapi PPN tersebut akan “diganti” oleh pembeli barang saat barang tersebut kita jual kembali. Begitu seterusnya sampai barang itu ke konsumen akhir.
PPN yang kita bayar ke kas negara adalah selisih PK dikurangi PM. Mungkin dengan contoh akan lebih jelas. Kita beli barang Rp.1000 ditambah PPN 10%. Uang yang kita keluarkan saat beli adalah Rp.1100, yaitu Rp.1000 untuk harga barang dan Rp.100 untuk PPN. Barang tersebut kemudian kita jual kembali seharga Rp.1500 ditambah PPN 10%. Uang yang kita terima saat jual barang tersebut adalah Rp.1650, yaitu Rp.1500 untuk harga barang dan Rp.150 untuk PPN. Dan PPN yang kita bayar ke kas negara atas transaksi tersebut adalah Rp.50 yaitu PK = Rp.150 dikurangi PM = Rp.100.
PPN yang kita bayar ke kas negara sebesar Rp.50 adalah 10% dari Rp.500 yaitu “pertambahan nilai” dari harga beli barang Rp.1000 dan harga jual barang Rp.1500. Dari contoh tersebut terlihat jika PPN yang kita bayar pada saat beli barang “mendapat penggantian” pada saat jual barang. Dan pajak yang kita bayar benar-benar hanya berasal dari pertambahan nilai.
Cara ini mengharuskan tidak ada pengecualian PPN dari semua tingkatan perdagangan. Jika ada satu jenis barang yang mengalami “pemutusan” sistem maka akan terjadi PPN atas PPN atau pajak berganda. Pengecualian objek PPN menyebabkan PPN menjadi komponen biaya. Pada saat dikecualikan, tidak ada lagi mekanisme PK – PM. Karena tidak ada mekanisme PK – PM masa semua harga yang kita bayar adalah nilai pembelian. Padahal pada contoh diatas, harga pembelian terdiri dari harga barang itu sendiri dan PPN.
Dua jalur itu (harga barang dan PPN) seperti rel kereta api. Dia selalu beriringan jika sistem PPN tidak putus. Jika sistem PPN putus maka rel tersebut menjadi satu, PPN menjadi biaya atau harga pokok. Contoh pengecualian objek PPN atau pemutusan mekanisme PPN adalah produk pertanian.
Produk pertanian yang dihasilkan oleh petani (saat ini) bukan objek PPN. Padahal saat beli pupuk, dia telah membayar PPN atau PM. Tetapi PM tersebut tidak dapat dikreditkan atau tidak mendapat “penggantian” saat hasil pertanian dijual. Memang pada saat jual, dia tidak memungut PPN dan tidak ada PPN yang harus dibayar ke kas negara. Tetapi petani tersebut sebenarnya telah membayar PPN sebesar 10% dari harga pupuk.
Contoh nyata yang saya temukan adalah sebuah toko yang membeli barang dengan dua macam. Barang pertama dia bayar dengan PPN. Jadi toko tersebut punya PM dari jenis barang pertama. Barang kedua dia beli tanpa PPN. Harga yang toko bayar tentu lebih murah 10% karena dia tidak bayar PPN. Karena kedua barang tersebut sebenarnya barang kena pajak atau objek PPN maka saat jual dia wajib mungut PPN dari konsumen.
Akibatnya, saat pemeriksaan diketahui jika pembelian sangat tinggi tetapi pajak masukan (PM) jauh dibawahnya. Triknya supaya PPN yang dibayar ke kas negara tidak terlalu tinggi, dia hanya melaporkan sebagian penjualan saja sebagai objek PPN. Dan pada saat pemeriksaan, kurang bayar otomatis sangat tinggi karena dia harus membayar PPN atas penjualan barang tanpa PM (ditambah sanksi).
Dalam bahasa Inggris, jenis pajak ini disebut Value Added Tax dan biasa disingkat VAT. Value added adalah nilai yang “ditambahkan” dari bahan baku oleh produsen atau dari pembelian oleh pedagang. Walaupun demikian, penghitungannya dari total harga sebuah barang atau jasa.
Ada dua istilah yang harus dipahami untuk memahami PPN. Pertama adalah istilah pajak masukan (biasa disingkat PM). Istilah ini diperuntukan PPN yang kita bayar saat kita beli suatu barang atau jasa. Walaupun PPN tersebut dibayar kepada penjual barang atau jasa tetapi kita dapat menganggap jika PPN tersebut telah dibayar kepada kas negara. Jadi, pajak masukan merupakan kredit pajak kecuali jika UU PPN 1984 mengecualikan (biasa disebut PM yang tidak dapat dikreditkan).
Kedua adalah pajak keluaran (biasa disingkat PK). Istilah ini diperuntukkan bagi PPN yang kita pungut dari pembeli barang atau pengguna jasa. Pada saat beli barang kita bayar PPN tetapi PPN tersebut akan “diganti” oleh pembeli barang saat barang tersebut kita jual kembali. Begitu seterusnya sampai barang itu ke konsumen akhir.
PPN yang kita bayar ke kas negara adalah selisih PK dikurangi PM. Mungkin dengan contoh akan lebih jelas. Kita beli barang Rp.1000 ditambah PPN 10%. Uang yang kita keluarkan saat beli adalah Rp.1100, yaitu Rp.1000 untuk harga barang dan Rp.100 untuk PPN. Barang tersebut kemudian kita jual kembali seharga Rp.1500 ditambah PPN 10%. Uang yang kita terima saat jual barang tersebut adalah Rp.1650, yaitu Rp.1500 untuk harga barang dan Rp.150 untuk PPN. Dan PPN yang kita bayar ke kas negara atas transaksi tersebut adalah Rp.50 yaitu PK = Rp.150 dikurangi PM = Rp.100.
PPN yang kita bayar ke kas negara sebesar Rp.50 adalah 10% dari Rp.500 yaitu “pertambahan nilai” dari harga beli barang Rp.1000 dan harga jual barang Rp.1500. Dari contoh tersebut terlihat jika PPN yang kita bayar pada saat beli barang “mendapat penggantian” pada saat jual barang. Dan pajak yang kita bayar benar-benar hanya berasal dari pertambahan nilai.
Cara ini mengharuskan tidak ada pengecualian PPN dari semua tingkatan perdagangan. Jika ada satu jenis barang yang mengalami “pemutusan” sistem maka akan terjadi PPN atas PPN atau pajak berganda. Pengecualian objek PPN menyebabkan PPN menjadi komponen biaya. Pada saat dikecualikan, tidak ada lagi mekanisme PK – PM. Karena tidak ada mekanisme PK – PM masa semua harga yang kita bayar adalah nilai pembelian. Padahal pada contoh diatas, harga pembelian terdiri dari harga barang itu sendiri dan PPN.
Dua jalur itu (harga barang dan PPN) seperti rel kereta api. Dia selalu beriringan jika sistem PPN tidak putus. Jika sistem PPN putus maka rel tersebut menjadi satu, PPN menjadi biaya atau harga pokok. Contoh pengecualian objek PPN atau pemutusan mekanisme PPN adalah produk pertanian.
Produk pertanian yang dihasilkan oleh petani (saat ini) bukan objek PPN. Padahal saat beli pupuk, dia telah membayar PPN atau PM. Tetapi PM tersebut tidak dapat dikreditkan atau tidak mendapat “penggantian” saat hasil pertanian dijual. Memang pada saat jual, dia tidak memungut PPN dan tidak ada PPN yang harus dibayar ke kas negara. Tetapi petani tersebut sebenarnya telah membayar PPN sebesar 10% dari harga pupuk.
Contoh nyata yang saya temukan adalah sebuah toko yang membeli barang dengan dua macam. Barang pertama dia bayar dengan PPN. Jadi toko tersebut punya PM dari jenis barang pertama. Barang kedua dia beli tanpa PPN. Harga yang toko bayar tentu lebih murah 10% karena dia tidak bayar PPN. Karena kedua barang tersebut sebenarnya barang kena pajak atau objek PPN maka saat jual dia wajib mungut PPN dari konsumen.
Akibatnya, saat pemeriksaan diketahui jika pembelian sangat tinggi tetapi pajak masukan (PM) jauh dibawahnya. Triknya supaya PPN yang dibayar ke kas negara tidak terlalu tinggi, dia hanya melaporkan sebagian penjualan saja sebagai objek PPN. Dan pada saat pemeriksaan, kurang bayar otomatis sangat tinggi karena dia harus membayar PPN atas penjualan barang tanpa PM (ditambah sanksi).
Komentar
Informasi yang sangat menarik buat saya, dan memberi pencerahan, setelah semoat di bingungkan dengan peraturan PPN (VAT) Indonesia. Intinya peraturan nya hamppir sama dengan VAT di Belgia.
Di sini (Belgia) terdapat beberapa macam PPN di golongkan dari jenis barang, misalnya, untuk household, electronic 21%, sedangkan untuk bahan makanan cuma 6%, dan restaurant jika take away 6% tetapi jika di makan di tempat 7%.
Untuk faktur pajak saya kurang jelas. Yang saya tahu, kl disini , semua pajak yang sudah saya bayarkan ke khas negara melalui penjual ( di mana saya membeli barang ) bisa di kreditkan pada tagihan PPn selama nota yang saya dapatkan dari penjual tercantum nama dan no. pajak, dan stempelm penjual,barang yang saya beli, nama dan No Pajak saya. Note: di sini sangat simple, setiap pelaku bisnis hanya punya 1 no pajak untuk VAT maupun Income tax.
"Contoh nyata yang saya temukan adalah sebuah toko yang membeli barang dengan dua macam. Barang pertama dia bayar dengan PPN. Jadi toko tersebut punya PM dari jenis barang pertama. Barang kedua dia beli tanpa PPN. Harga yang toko bayar tentu lebih murah 10% karena dia tidak bayar PPN. Karena kedua barang tersebut sebenarnya barang kena pajak atau objek PPN maka saat jual dia wajib mungut PPN dari konsumen."
Pertanyaaan saya : Kenapa sampai pemjual tidak memungut PPn kepada pembeli jika jelas2 barang itu sebagai object pajak?
maaf kl saya kurang memahami istilah2 perpajakan Indonesia, sounds too complicated for me:)
Di sini, saya bisa membeli barang tanpa di pungut PPn oleh penjual, jika saya membeli barang tersebut di luar Belgia, saya pikir sama saja, hanya keuntungan nya adalah saya hanya menetor PPn hanya pada saat barang saya terjual.
Oh ya, pertanyaan ke 2, apakan VAT yang saya bayar untuk operational cost (seperti tlp, petrol, alas tulis, komputer, listrik - dll yang menjadi object pajak ) dapat di kreditkan pada tagihan Ppn?
Thanks a lot sebelumnya
W
[1]. Nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP atau JKP;
[2]. Jenis Barang atau Jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
[3]. PPN yang dipungut;
[4]. PPnBM yang dipungut;
[5]. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan FP; dan
[6]. Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak.
Kecuali, faktur pajak yang :
[a]. perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
[b]. perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
[c]. perolehan & pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan combi kecuali merupakan barang dagang atau disewakan.
[d]. pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar DP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
[e]. perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya Faktur Pajak Sederhana.
[f]. perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajak-nya tidak memenuhi ketentuan.
[g]. pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar DP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan.
[h]. perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukan-nya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak.
[i]. perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukan-nya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Khusus kuitansi telepon dan listrik disamakan sebagai Faktur pajak standar! Terima kasih atas komentarnya.
Salam
Mau tanya donk ....:)
Begini nich Pak.
Saya mendapat order dari perusahaan yang mendapat Lelang, Kemudian saya membeli barang A, B dan C untuk kebutuhan tersebut. Nah, karena ini Lelang dari Instansi pemerintah, yang pembayannya biasanya melalui KPN yang sdh terkena potongan Pajaknya.
Nah masalah saya adalah, suplier barang A, ngotot minta barang tersebut harus saya bayar Pajaknya, malah ngancam mau lapor ke kantor pajak bahwa saya tidak bayar pajak. Bagaimana sih sebenarnya pemecahan masalah ini ? Trims
Klo PKP ada pembelian barang ke bukan PKP atau ke perorangan....padahal barang tsb object pajak (dg nilai penjualan yg besar dan seharusnya penjual sdh menjadi PKP), maka apa resiko pajak bagi pembeli???
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3532/1/21206007%20VINA_JURNAL.pdf
semoga bermanfaat