Tanah Bersertifikat vs Petok

Pertanyaan:
Ada kejadian wp mengajukan kelebihan BPHTB, tanah tersebut merupakan tanah warisan, apakah ada perbedaan pengenaan NPOPTKP atas tanah warisan yang sudah bersrtifikat dan yang belum bersertifikat (petok)? Diatur dimana? Mohon bantuannya...terima kasih.

Jawaban:
Coba ibu lihat UU BPHTB Tahun 2000 Pasal 2 ayat (2) a. Pemindahan hak dan b. Perolehan hak. dan lihat juga Pasal 2 ayat (3) hak-hak yang menjadi objek BPHTB. Untuk warisan yg sudah bersertifikat masuk ke klausul pemindahan hak karena cecara hukum telah ada hak yang dapat diwariskan sehingga BPHTB = (nilai Pasar atau NJOP – Rp.300jt) x 5% x 50% dan untuk warisan yng belum bersertifikat masuk ke klausul perolehan hak karena secara hukum belum ada hak yang menjadi objek BPHTB yang akan diwariskan. Perhitungannya: (nilai pasar atau NJOP – Rp.60jt) x 5% untuk wilayah DKI Jakarta. mungkin ada pendapat lain ? [Tritiyo Nugroho]

NPOPTKP atas tanah warisan sudah bersertifikat adalah ditetapkan maksimal 300 jt. Apabila tanah belum bersertifikat diwariskan dan didaftarkan ke BPN untuk dimohon sertifikatnya, maka atas perbuatan hukum tersebut dikenakan BPHTB karena pemberian hak baru sepanjang permohonan tersebut disetujui dan diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Baru (SKPHB) atas nama ahli warisnya dan terutang BPHTBnya sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya SK pemberian hak dan NPOPTKP ditetapkan maksimal Rp.60jt. [Didik Santoso]

Catatan saya:
Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB
(1) Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. Pemindahan hak karena :
1 . jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.

b. Pemberian hak baru karena :
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. diluar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan.


NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) diatur di Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB,
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”


[sumber : Fordis BPHTB.net]

Komentar

Anonim mengatakan…
Maaf, saya berbeda pendapat dengan pak raden tentang BPHTB terhadap tanah dengan tanda bukti hak berupa petok. Peralihan hak karena hukum atau waris terhadap tanah dengan tanda bukti petok seharusnya sama dengan tanah dengan tanda bukti berupa sertifikat. Hal ini karena petok adalah tanda bukti hak terhadap hak milik adat dan untuk menuju menjadi sertifikat melalui mekanisme konversi atau pengakuan hak dan bukan permohonan hak. Pengakuan hak berbeda dengan Permohonan hak. Permohonan hak itu terjadi karena tanah tsb adalah tanah negara, baik tanah negara bebas atau tanah negara bekas hak. Sedangkan pemegang petok bukan pemegang tanah negara tetapi sebagai pemegang hak milik adat yang diakui haknya dan digunakan sebagai asas pada UU 5 tahun 1960 sebagaimana dituangkan dalam pasal 5. Sehingga bila pemegang petok meninggal dunia maka akan beralih karena hukum kepada para ahli warisnya berdasarkan keterangan hak mewaris. Bila didaftar pada Kantor Pertanahan akan dilakukan pengakuan hak atau konversi dan balik nama kepada para ahli warisnya. BPHTB yang harus dibayar adalah sama terhadap hak atas tanah yang bersertifikat.
Kita harus menghormati hak milik adat sebagai hak atas tanah dan bukan sebagai tanah negara yang harus diajukan melalui mekanisme permohonan hak tetapi yang benar adalah melalui mekanisme pengakuan hak atau konversi dari tanah hak milik adat menjadi tanah hak milik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUPA sehingga tanda bukti haknya adalah Hak Milik.
Semoga bermanfaat !!!
Raden Agus Suparman mengatakan…
Pasal 3 ayat (1) huruf d UU No. 20 Tahun 2000, "Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh : orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;". Dan Penjelasan bagian ini ,"Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. Contoh :
1. Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama;
2. Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama.
Contoh : Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB."
Terima Kasih.

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru