Laporan Tersendiri

Seorang widyaiswara Pusdiklat Perpajakan di Kemanggisan pada penghujung tahun 1994, waktu itu saya sebagai siswa DPT Khusus Ajun Akuntan, mengatakan [kurang lebih] seperti ini, "Undang-undang perpajakan kalau dibaca berulang-ulang bukannya tambah jelas tetapi tambah bingung." Mendengar kalimat seperti itu, biasa saja karena tentu untuk para ajun akuntan yang baru lulus tidak mengerti apa yang membuat bingung. Tetapi kalimat tersebut teringat kembali ketika saya menyimak diskusi di milis berkaitan dengan "SPT Pembetulan" versus "Laporan Tersendiri" sebagaimana diatur di Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU KUP.

Kesimpulan yang saya dapat dari diskusi tersebut adalah :
Pertama, maksud dari Pasal 8 ayat (1) adalah SPT Pembetulan. Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Pembetulan sepanjang belum dilakukan pemeriksaan. Sesuai penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU KUP bahwa pemeriksaan dimulai sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak diterima Wajib Pajak atau yang mewakilinya. Saya kira pembaca sudah mafhum dengan istilah SPT Pembetulan.

Kedua, maksud dari Pasal 8 ayat (4)UU KUP bukan SPT Pembetulan tetapi, sesuai kata yang digunakannya, laporan tersendiri. Kesimpulan ini diperkuat dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2007. Kutipan lengkapnya sebagai berikut :
(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang, sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.

(2) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan :
a. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;
b. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
c. Surat Storan Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen).

(3) Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut beserta pelunasan pajak yang telah dibayar.

(4) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tersebut.

(5) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak.

(6) Pelunasan pajak yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat diperhitungkan sebagai pembayaran atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan permohonan Wajib Pajak.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidak benaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 8 ayat (4) UU KUP mengatur bahwa sepanjang belum diterbitkan surat ketetapan pajak [skp], pada saat pemeriksaan Wajib Pajak "dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri" tentang ketidakbenaran pengisian SPT. Kemudian Pasal 6 ayat (2) PP 80 Tahun 2007 merinci maksud laporan tersendiri. Sampai disini semakin jelas bahwa laporan tersendiri bukan SPT karena sesuai Pasal 6 ayat (2) PP 80 Tahun 2007 bahwa laporan tersendiri harus dilampiri antara lain SPT!

Jika batasan laporan tersendiri di UU KUP adalah sebelum skp terbit, maka di Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 kemudian dipercepat menjadi sebelum diterbitkan SPHP [surat pemberitahuan hasil pemeriksaan]. Saya kutip bunyi Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.03/2007 yang memperkuat kesimpulan bahwa laporan tersendiri bukan SPT Pembetulan :
(1) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan Pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan Pemeriksaan tetap dilanjutkan.
(2) Pengungkapan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan sebelum Pemeriksa Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
(3) Pengungkapan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Pemeriksa Pajak diperlakukan sebagai tambahan informasi atau data dan menjadi bahan pertimbangan bagi Pemeriksa Pajak sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak.


Sampai disini kesimpulan saya adalah :
1. SPT Pembetulan disampaikan sebelum pemeriksaan; dan
2. Setelah pemeriksaan tidak ada SPT Pembetulan tetapi "laporan tersendiri".

Di Pasal 8 UU KUP secara jelas membedakan SPT dan laporan tersendiri. Walaupun SPT tersebut disampaikan setelah pemeriksaan, maka SPT tersebut tidak dianggap disampaikan. Artinya bukan SPT dan hanya berfungsi sebagai data saja. Hal ini dipertegas dengan Pasal 3 ayat (7) UU KUP yang mengatur bahwa Surat Pemeritahuan dianggap tidak disampaikan apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan.

Hal yang membuat saya bingung : apa fungsi dari Pasal 8 ayat (5) UU KUP?? Ayat ini mewajibkan membayar sanksi sebesar 50% dari kurang bayar sebelum Wajib Pajak menyampaikan laporan tersendiri! Akibat laporan tersendiri, Wajib Pajak bayar sanksi 50% tetapi jika tidak membuat laporan tersendiri maka sanksi maksimal adalah bunga 48% [yaitu bunga 2% per bulan, maksimal 24 bulan]. Untuk apa Wajib Pajak membayar sanksi lebih tinggi???

Itulah kebingungan saya :-)

Laporan tersendiri dikaitkan dengan pemeriksaan ada di UU No. 28 Tahun 2007. Di UU KUP sebelumnya Pasal 8 ayat (4) tidak dihubungkan dengan pemeriksaan. Artinya, di UU KUP terdahulu hanya mengatur bahwa Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan sebelum skp terbit ditambah sanksi 50%.

Saya masih ingat kuliah Pak Gunadi di Salemba bahwa maksud Pasal 8 ayat (4) adalah SPT Pembetulan dan semangat sanksi kenaikan 50% adalah penghargaan atas kejujuran Wajib Pajak membetulkan SPT-nya. Kenapa harus diberi penghargaan? Karena Wajib Pajak mau melakukan "koreksi" atas SPT-nya sebelum dikoreksi oleh fiskus sehingga fiskus tidak perlu repot-repot melakukan pemeriksaan. Sanksi ko dianggap penghargaan?

Dulu begini urutannya :
Pasal 8 (1) mengatur boleh SPT Pembetulan sebelum 2 tahun dan sebelum pemeriksaan.

Pasal 8 (2) mengatur sanksi 2% per bulan atas kurang bayar. Sanksi ini paling tinggi 48% karena di ayat (1) ada pembatasan dua tahun dan akan sama dengan sanksi bunga hasil pemeriksaan.

Pasal 8 (3) jika sudah diperiksa melakukan SPT Pembetulan maka sanksi 200% [atau dua kali] dari kurang bayar. Fungsi SPT Pembetulan ini adalah supaya tidak disidik.

Pasal 8 (4) walaupun lebih 2 tahun dari akhir tahun pajak, SPT Pembetulan boleh disampaikan asal "menguntungkan" fiskus.

Pasal 8 (5) mengatur sanksi 50% karena walaupun tidak diperiksa, Wajib Pajak mau "melakukan koreksi positif" atas SPT terdahulu. Bandingkan dengan sanksi SPT Pembetulan setelah dilakukan pemeriksaan yang 200%.

Seingat saya memang semua dosen baik di Kemanggisan maupun di Salemba mengatakan bahwa Pasal 8 UU KUP mengatur SPT Pembetulan. Hal ini karena waktu itu belum ada UU No. 28 Tahun 2007.

UU No. 28 Tahun 2007 ternyata memiliki aturan berbeda di pasal yang sama! Namanya juga perubahan :-)

Salaam

Komentar

Anonim mengatakan…
masih bingung... -.-"
Raden Agus Suparman mengatakan…
heheheh ..... yang masih bingung ngacung .....
Anonim mengatakan…
Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut beserta pelunasan pajak yang telah dibayar.

Dari pasal tersebut apakah pertimbangan termasuk bisa mengakui Pajak Masukan pada SPT Masa PPN yg belum ada pada waktu pemeriksaan tetapi diungkapkan dalam laporan tersendiri (asumsi kondisi pengungkapan sesuai keadaan yg sebenarnya)?
Indra Wijaya mengatakan…
MAS MOHON COPY PASTE TENTUNYA KITA TULIS SUMBERNYA SERTA KITA LINKKAN KE BLOG INI
Anonim mengatakan…
Tidak bisa. Baca PP 74 tahun 2011 pasal 8. Berlaku 1 januari 2012

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru