Pemeriksa Pajak Kini
Salam gemuruh!
Lain dulu, lain sekarang. Dunia "persilatan" sudah terbalik-balik. Dulu, pemeriksa pajak itu seperti "pendekar sakti mandraguna". Tak terkalahkan! Apalagi sebelum berlaku sistem self assessment. Konon kabarnya, jika sudah keluar jurus "pokoknya", Wajib Pajak dibuat tidak berkutik [saya sendiri tidak mengalami zaman "UU pokoknya"]. Ini bagian cerita dari mulut ke mulut.
Beralih ke zaman UU KUP, pemeriksa pajak sudah mulai berubah. "UU pokoknya" sudah mulai ditinggalkan walaupun penafsiran dalam suatu peraturan lebih dominan kepada si pemeriksa pajak itu sendiri. Mungkin saja pada "zaman jahiliah" ini Wajib Pajak tetap merasa ada "arogansi" pemeriksa pajak. Sampai dengan tahun 2010 ini, masih ada yang melaporkan pemeriksa pajak yang arogan. Walaupun saya yakin arogansi sekarang jauh lebih sopan daripada "zaman jahiliah".
Pada zaman reformasi sekarang, pemeriksa pajak tentu saja lebih profesional! Sekarang, untuk diangkat jadi fungsional pemeriksa pajak harus melalui pendidikan khusus calon fungsional pemeriksa pajak. Pemeriksa pajak yang sudah jadi fungsional pun diberikan berbagai macam diklat. Bahkan pendidikan bagi fungsional pemeriksa pajak sekarang tidak hanya berjenjang, tetapi (juga) sudah spesialisasi.
"Zaman jahiliah" dulu, pemeriksa pajak banyak yang "sakti". Tidak hanya "sakti" bagi Wajib Pajak tetapi "sakti" bagi sesama pegawai juga. Tetapi di zaman reformasi sekarang "orang sakti" sudah menjadi tinggal cerita. Saya kira (Kepatuhan Internal di) KITSDA sekarang sudah lebih "sakti" dari siapapun di DJP.
Bukan hanya hilang "kesaktiannya", pemeriksa pajak sekarang banyak diberikan pagar-pagar untuk memastikan apa yang dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Pagarnya tidak hanya satu, tapi banyak. Berikut pagar yang saya maksud :
REVIU
Memang tidak semua pemeriksaan pajak dilakukan reviu. Ada alasan tertentu, mengapa intruksi pemeriksaan diterbitkan dengan mengharuskan dilakukan reviu. Biarlah itu menjadi urusan penerbit intruksi.
Reviu dilakukan sebelum SPHP terbit. Materi SPHP dibahas dulu dalam forum reviu. Pejabat yang melakukan reviu biasanya berhak meminta pemeriksa pajak untuk melakukan prosedur-prosedur tertentu jika dianggap belum cukup atau tidak dilakukan. Selain itu, materi hasil pemeriksaan bisa bertambah setelah dilakukan reviu.
TIM PEMBAHAS
Jika reviu dilakukan sebelum SPHP, maka Tim Pembahas bekerja setelah SPHP. Itu pun jika diminta oleh Wajib Pajak. Tim Pembahas akan mengkaji pendapat pemeriksa pajak dan Wajib Pajak. Atas sengketa itu kemudian Tim Pembahas memberikan pendapat.
Materi yang diangkat menjadi ketetapan pajak adalah materi yang diberikan oleh Tim Pembahas. Artinya, bisa jadi hasil pemeriksaan dikoreksi oleh Tim Pembahas. Tentu saja Tim Pembahas bisa setuju dengan Wajib Pajak, setuju dengan pemeriksa pajak, atau berpendapat lain.
PEER REVIEW
Ini adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat yang secara hirarki organisasi lebih tinggi. Artinya, pemeriksaan di KPP akan direviu oleh Kanwil. Begitu juga administrasi pemeriksaan pajak di Kanwil akan direviu oleh Kantor Pusat.
Pelaksanaan peer review [telaah sejawat] dilakukan setelah proses pemeriksaan selesai. Walaupun tidak akan merubah materi ketetapan pajak, tetapi hasil peer review akan dijadikan evaluasi untuk pemeriksa pajak itu sendiri. Baik dari segi prosedur pemeriksaan maupun penerapan ketentuan perpajakan.
KUESIONER
Sebenarnya kuesioner ini sudah lama ada. Tetapi pada prakteknya seperti disembunyikan. Pemeriksa tidak memberitahu, Wajib Pajak pun takut-takut memberikan jawaban. Apalagi formulir kuesioner tidak disediakan oleh pemeriksa pajak.
Kedepan, kuesioner ini akan diwajibkan bagi pemeriksa pajak untuk disampaikan kepada Wajib Pajak. Bahkan lembar kuesioner ini direncanakan akan disampaikan bersamaan dengan penyampaian pemberitahuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak. Fungsi kuesioner ini akan menjadi salah satu media pengawasan perilaku pemeriksa pajak di lapangan.
Tentu saja selain yang disebutkan diatas,ada lagi lembaga yang dapat "mengawasi" perilaku pemeriksa pajak. Bahkan sekarang DJP sedang gencar-gencar menerapkan whistle blower. Ini bagian dari pekerjaan KITSDA yang secara rutin mengawasi kepatuhan internal.
Jadi, sekarang tidak perlu takut berhadapan dengan pemeriksa pajak :-)
Salaam
Lain dulu, lain sekarang. Dunia "persilatan" sudah terbalik-balik. Dulu, pemeriksa pajak itu seperti "pendekar sakti mandraguna". Tak terkalahkan! Apalagi sebelum berlaku sistem self assessment. Konon kabarnya, jika sudah keluar jurus "pokoknya", Wajib Pajak dibuat tidak berkutik [saya sendiri tidak mengalami zaman "UU pokoknya"]. Ini bagian cerita dari mulut ke mulut.
Beralih ke zaman UU KUP, pemeriksa pajak sudah mulai berubah. "UU pokoknya" sudah mulai ditinggalkan walaupun penafsiran dalam suatu peraturan lebih dominan kepada si pemeriksa pajak itu sendiri. Mungkin saja pada "zaman jahiliah" ini Wajib Pajak tetap merasa ada "arogansi" pemeriksa pajak. Sampai dengan tahun 2010 ini, masih ada yang melaporkan pemeriksa pajak yang arogan. Walaupun saya yakin arogansi sekarang jauh lebih sopan daripada "zaman jahiliah".
Pada zaman reformasi sekarang, pemeriksa pajak tentu saja lebih profesional! Sekarang, untuk diangkat jadi fungsional pemeriksa pajak harus melalui pendidikan khusus calon fungsional pemeriksa pajak. Pemeriksa pajak yang sudah jadi fungsional pun diberikan berbagai macam diklat. Bahkan pendidikan bagi fungsional pemeriksa pajak sekarang tidak hanya berjenjang, tetapi (juga) sudah spesialisasi.
"Zaman jahiliah" dulu, pemeriksa pajak banyak yang "sakti". Tidak hanya "sakti" bagi Wajib Pajak tetapi "sakti" bagi sesama pegawai juga. Tetapi di zaman reformasi sekarang "orang sakti" sudah menjadi tinggal cerita. Saya kira (Kepatuhan Internal di) KITSDA sekarang sudah lebih "sakti" dari siapapun di DJP.
Bukan hanya hilang "kesaktiannya", pemeriksa pajak sekarang banyak diberikan pagar-pagar untuk memastikan apa yang dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Pagarnya tidak hanya satu, tapi banyak. Berikut pagar yang saya maksud :
REVIU
Memang tidak semua pemeriksaan pajak dilakukan reviu. Ada alasan tertentu, mengapa intruksi pemeriksaan diterbitkan dengan mengharuskan dilakukan reviu. Biarlah itu menjadi urusan penerbit intruksi.
Reviu dilakukan sebelum SPHP terbit. Materi SPHP dibahas dulu dalam forum reviu. Pejabat yang melakukan reviu biasanya berhak meminta pemeriksa pajak untuk melakukan prosedur-prosedur tertentu jika dianggap belum cukup atau tidak dilakukan. Selain itu, materi hasil pemeriksaan bisa bertambah setelah dilakukan reviu.
TIM PEMBAHAS
Jika reviu dilakukan sebelum SPHP, maka Tim Pembahas bekerja setelah SPHP. Itu pun jika diminta oleh Wajib Pajak. Tim Pembahas akan mengkaji pendapat pemeriksa pajak dan Wajib Pajak. Atas sengketa itu kemudian Tim Pembahas memberikan pendapat.
Materi yang diangkat menjadi ketetapan pajak adalah materi yang diberikan oleh Tim Pembahas. Artinya, bisa jadi hasil pemeriksaan dikoreksi oleh Tim Pembahas. Tentu saja Tim Pembahas bisa setuju dengan Wajib Pajak, setuju dengan pemeriksa pajak, atau berpendapat lain.
PEER REVIEW
Ini adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat yang secara hirarki organisasi lebih tinggi. Artinya, pemeriksaan di KPP akan direviu oleh Kanwil. Begitu juga administrasi pemeriksaan pajak di Kanwil akan direviu oleh Kantor Pusat.
Pelaksanaan peer review [telaah sejawat] dilakukan setelah proses pemeriksaan selesai. Walaupun tidak akan merubah materi ketetapan pajak, tetapi hasil peer review akan dijadikan evaluasi untuk pemeriksa pajak itu sendiri. Baik dari segi prosedur pemeriksaan maupun penerapan ketentuan perpajakan.
KUESIONER
Sebenarnya kuesioner ini sudah lama ada. Tetapi pada prakteknya seperti disembunyikan. Pemeriksa tidak memberitahu, Wajib Pajak pun takut-takut memberikan jawaban. Apalagi formulir kuesioner tidak disediakan oleh pemeriksa pajak.
Kedepan, kuesioner ini akan diwajibkan bagi pemeriksa pajak untuk disampaikan kepada Wajib Pajak. Bahkan lembar kuesioner ini direncanakan akan disampaikan bersamaan dengan penyampaian pemberitahuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak. Fungsi kuesioner ini akan menjadi salah satu media pengawasan perilaku pemeriksa pajak di lapangan.
Tentu saja selain yang disebutkan diatas,ada lagi lembaga yang dapat "mengawasi" perilaku pemeriksa pajak. Bahkan sekarang DJP sedang gencar-gencar menerapkan whistle blower. Ini bagian dari pekerjaan KITSDA yang secara rutin mengawasi kepatuhan internal.
Jadi, sekarang tidak perlu takut berhadapan dengan pemeriksa pajak :-)
Salaam
Komentar
dinyatakan bahwa telaah sejawat (peer review) tidak berefek merubah SKP. Pertanyaannya: apabila dalam melakukan telaah, tim peer review menemukan koreksi atas LPP pemeriksa yang diakibatkan kekurangcermatan pemeriksa, mekanismenya gimana? apakah usul pemeriksaan ulang?
Kalau hasil peer review menunjukkan pemeriksa tidak professional, maka hanya menjadi catatan saja. Mungkin akan menjadi acuan penempatan bagi si fungsional pemeriksa. Atau bisa juga diberi sanksi jika unit kepatuhan internal telah melakukan pemeriksaan atas si pejabat tersebut.