Sisi lain perseteruan Ditjen Pajak dan BPK
Menarik untuk menyimak drama perseteruan yang terjadi saat ini antara Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Perseteruan bermula dari ketidakpuasan BPK atas Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan ketiga UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP 2007) yang baru saja diberlakukan pada awal tahun 2008 ini.
BPK merasa bahwa salah satu pasal dalam UU KUP 2007 tersebut membatasi ruang geraknya untuk mengaudit Ditjen Pajak terkait dengan penerimaan negara dari sektor pajak. Untuk dapat mengaudit penerimaan pajak tentunya BPK harus dapat mengakses (baca: memeriksa) informasi transaksi keuangan dan non keuangan wajib pajak.
Adapun pasal yang dipermasalahkan oleh BPK adalah Pasal 34 ayat (2a) huruf b, yang menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli yang dapat memberikan informasi wajib pajak kepada BPK terlebih dahulu harus ditetapkan (mendapat izin) oleh Menteri Keuangan.
BPK keberatan dengan klausal tersebut karena membatasi hak konstitusional mereka untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara seperti dinyatakan dalam Pasal 23 E UUD 1945. Atas pembatasan hak konstitusional mereka ini, BPK mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi.
Tetapi, benarkah hanya sebatas per-izinan yang dipermasalahkan BPK dalam uji materi tersebut? Apakah ada tujuan lainnya? Pertanyaan ini muncul karena terkait dengan hasil temuan BPK selama ini yang belum maksimal dalam memeriksa potensi penerimaan negara dari sektor pajak.
Kenapa belum maksimal? Karena bagaimana bisa maksimal kalau hanya sebatas memeriksa informasi wajib pajak yang tersedia di Ditjen Pajak.
Terhadap keinginan BPK untuk dapat memeriksa informasi wajib pajak yang tersedia di Ditjen Pajak, Ditjen Pajak mempersilahkan BPK sepanjang ada izin dari Menteri Keuangan.
Kenapa harus izin Menteri Keuangan? Dalam berbagai pemberitaan, alasan yang dikemukan oleh Ditjen Pajak adalah dalam rangka menjaga kerahasiaan informasi wajib pajak. Hal ini disebabkan karena wajib pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas informasi yang telah disampaikannya kepada Ditjen Pajak.
Akan tetapi, apakah hanya hak kerahasiaan informasi saja yang hanya diperhatikan dalam perseteruan Ditjen Pajak dan BPK ini? Bagaimana dengan hak-hak wajib pajak lainnya?
Hak wajib pajak
Objek utama dalam perseteruan ini adalah wajib pajak, yaitu untuk memastikan apakah wajib pajak telah melaporkan kewajiban perpajakan mereka dengan benar. Hal ini didasarkan atas sistem pemungutan pajak yang dianut oleh Indonesia yaitu self assessment yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung pajaknya sendiri. Oleh karena itu, sudah sewajarnya ada pemeriksaan pajak untuk memastikan apakah perhitungan wajib pajak sudah benar.
Untuk itu, atas kuasa Pasal 29 ayat (I) UU KUP 2007, Ditjen Pajak diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan pajak. Disisi lain, BPK juga berwenang untuk mengaudit Ditjen Pajak untuk memastikan apakah ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak dari hasil pemeriksaan tersebut telah benar.
Masalahnya, bagaimana dengan hak-hak wajib pajak yang menjadi objek pemeriksaan ini? Ada beberapa permasalahan (tidak sekedar kerahasian informasi saja) yang harus diperhatikan dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.
Misalnya, pertama, bagaimana jika dari hasil pemeriksaan BPK tersebut temyata mengakibatkan jumlah ketetapan pajak bertambah, di mana hasil pemeriksaan BPK tersebut tidak didapat dari data baru atau data semula yang belum terungkap, apakah atas wajib pajak tersebut harus diperiksa ulang atau langsung dikeluarkan ketetapan pajak?
Kedua, bila wajib pajak tidak setuju dengan hasil temuan BPK, bagaimana mekanisme formal wajib pajak untuk menyanggah hasil temuan tersebut? Ketiga, wajib pajak juga perlu tahu, lembaga pemerintah mana saja yang bisa melakukan pemeriksaan atas informasi dan kewajiban perpajakan mereka?
Keempat, dalam kondisi bagaimana informasi wajib pajak yang ada di Ditjen Pajak boleh diperiksa oleh lembaga pemerintahan lainnya? Jadi, dari sisi hak-hak wajib pajak, tidak hanya kerahasiaan informasi saja yang menjadi isu yang perlu dibahas antara Ditjen Pajak dan BPK, ada hak-hak wajib pajak lainnya yang harus diperhatikan seperti hak untuk mendapatkan kepastian hukum.
Ibarat mata uang yang mempunyai dua sisi, wajib pajak juga mempunyai dua sisi yaitu kewajiban dan hak. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menyangkut wewenang pemerintah untuk menuntut kewajiban perpajakan wajib pajak seharusnya diimbangi dengan pemberian hak-hak mereka. Sisi inilah yang terlupakan dalam perseteruan antara Ditjen Pajak dan BPK.
Bisnis Indonesia, 05 Februari 2008
Disalin dari : http://10.9.13.215/441/content/view/509/1/
Perseteruan bermula dari ketidakpuasan BPK atas Undang-undang No. 28 tahun 2007 tentang Perubahan ketiga UU No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP 2007) yang baru saja diberlakukan pada awal tahun 2008 ini.
BPK merasa bahwa salah satu pasal dalam UU KUP 2007 tersebut membatasi ruang geraknya untuk mengaudit Ditjen Pajak terkait dengan penerimaan negara dari sektor pajak. Untuk dapat mengaudit penerimaan pajak tentunya BPK harus dapat mengakses (baca: memeriksa) informasi transaksi keuangan dan non keuangan wajib pajak.
Adapun pasal yang dipermasalahkan oleh BPK adalah Pasal 34 ayat (2a) huruf b, yang menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli yang dapat memberikan informasi wajib pajak kepada BPK terlebih dahulu harus ditetapkan (mendapat izin) oleh Menteri Keuangan.
BPK keberatan dengan klausal tersebut karena membatasi hak konstitusional mereka untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara seperti dinyatakan dalam Pasal 23 E UUD 1945. Atas pembatasan hak konstitusional mereka ini, BPK mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi.
Tetapi, benarkah hanya sebatas per-izinan yang dipermasalahkan BPK dalam uji materi tersebut? Apakah ada tujuan lainnya? Pertanyaan ini muncul karena terkait dengan hasil temuan BPK selama ini yang belum maksimal dalam memeriksa potensi penerimaan negara dari sektor pajak.
Kenapa belum maksimal? Karena bagaimana bisa maksimal kalau hanya sebatas memeriksa informasi wajib pajak yang tersedia di Ditjen Pajak.
Terhadap keinginan BPK untuk dapat memeriksa informasi wajib pajak yang tersedia di Ditjen Pajak, Ditjen Pajak mempersilahkan BPK sepanjang ada izin dari Menteri Keuangan.
Kenapa harus izin Menteri Keuangan? Dalam berbagai pemberitaan, alasan yang dikemukan oleh Ditjen Pajak adalah dalam rangka menjaga kerahasiaan informasi wajib pajak. Hal ini disebabkan karena wajib pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas informasi yang telah disampaikannya kepada Ditjen Pajak.
Akan tetapi, apakah hanya hak kerahasiaan informasi saja yang hanya diperhatikan dalam perseteruan Ditjen Pajak dan BPK ini? Bagaimana dengan hak-hak wajib pajak lainnya?
Hak wajib pajak
Objek utama dalam perseteruan ini adalah wajib pajak, yaitu untuk memastikan apakah wajib pajak telah melaporkan kewajiban perpajakan mereka dengan benar. Hal ini didasarkan atas sistem pemungutan pajak yang dianut oleh Indonesia yaitu self assessment yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung pajaknya sendiri. Oleh karena itu, sudah sewajarnya ada pemeriksaan pajak untuk memastikan apakah perhitungan wajib pajak sudah benar.
Untuk itu, atas kuasa Pasal 29 ayat (I) UU KUP 2007, Ditjen Pajak diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan pajak. Disisi lain, BPK juga berwenang untuk mengaudit Ditjen Pajak untuk memastikan apakah ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak dari hasil pemeriksaan tersebut telah benar.
Masalahnya, bagaimana dengan hak-hak wajib pajak yang menjadi objek pemeriksaan ini? Ada beberapa permasalahan (tidak sekedar kerahasian informasi saja) yang harus diperhatikan dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.
Misalnya, pertama, bagaimana jika dari hasil pemeriksaan BPK tersebut temyata mengakibatkan jumlah ketetapan pajak bertambah, di mana hasil pemeriksaan BPK tersebut tidak didapat dari data baru atau data semula yang belum terungkap, apakah atas wajib pajak tersebut harus diperiksa ulang atau langsung dikeluarkan ketetapan pajak?
Kedua, bila wajib pajak tidak setuju dengan hasil temuan BPK, bagaimana mekanisme formal wajib pajak untuk menyanggah hasil temuan tersebut? Ketiga, wajib pajak juga perlu tahu, lembaga pemerintah mana saja yang bisa melakukan pemeriksaan atas informasi dan kewajiban perpajakan mereka?
Keempat, dalam kondisi bagaimana informasi wajib pajak yang ada di Ditjen Pajak boleh diperiksa oleh lembaga pemerintahan lainnya? Jadi, dari sisi hak-hak wajib pajak, tidak hanya kerahasiaan informasi saja yang menjadi isu yang perlu dibahas antara Ditjen Pajak dan BPK, ada hak-hak wajib pajak lainnya yang harus diperhatikan seperti hak untuk mendapatkan kepastian hukum.
Ibarat mata uang yang mempunyai dua sisi, wajib pajak juga mempunyai dua sisi yaitu kewajiban dan hak. Oleh karena itu, segala sesuatu yang menyangkut wewenang pemerintah untuk menuntut kewajiban perpajakan wajib pajak seharusnya diimbangi dengan pemberian hak-hak mereka. Sisi inilah yang terlupakan dalam perseteruan antara Ditjen Pajak dan BPK.
Bisnis Indonesia, 05 Februari 2008
Disalin dari : http://10.9.13.215/441/content/view/509/1/
Komentar